Kamis 08 Mar 2012 17:26 WIB

Trade Mark Kampus yang Islami

kampus umj
Foto: umj
kampus umj

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA Kampus dengan model dan konsep yang Islami di Tanah Air ini memang cukup banyak. Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) dengan motto terkemuka, modern dan Islami, adalah salah satu kampus yang menggambarkan suasana Islami.  Motto ini dipakai UMJ sebagai prinsip yang internalized dalam menjalankan laju ikhtiar keilmuan, keimanan dan pengabdian terhadap masyarakat.

Motto tersebut dijadikan fondasi dalam menjalankan roda UMJ demi mencetak alumni yang berkualitas secara keilmuan atau pengetahuan, keimanan atau keteguhan sikap dan memiliki kepedulian sosial yang tinggi.

Dengan terminologi Islami - yang menjadi trademark nya, UMJ bermaksud untuk mencanangkan kampus yang berwawasan (kognitif), bersikap (afektif) dan beramal (kinestetik) sesuai dengan garis-garis haluan keislaman.

Islam harus dijadikan sebagai pijakan dalam berilmu dan beramal, ilmu dan amal dalam konteks dan batas-batas Islam. Hal ini, mengingat bahwa Islam pernah berada di tingkat peradaban yang sangat tinggi dengan kemajuan di bidang pengetahun, seni, filsafat dan sastra. Bukan mustahil jika peradaban tersebut dapat diraih kembali dengan prinsip dan pondasi keislaman tersebut.

Menurut Rektor UMJ Prof Dr Hj Masyitoh, MAg, hingga saat ini UMJ masih ber-istiqomah menjadikan UMJ sebagai model kampus Islami, “Ini kerja berat sekaligus amanah yang harus terus diperjuangkan guna menjadi model kampus Islami”, ungkap Masyitoh.

Untuk mewujudkan cita-cita tersebut UMJ menerapkan berbagai program kegiatan dalam mendorong upaya tersebut. Kegiatan-kegiatan seperti pembinaan keagamaan mahasiswa, yang meliputi kegiatan pembinaan baca Alquran, Pesantren Ramadhan, pembentukan karakter keislaman, menekankan mahasiswi untuk berbusana muslimah, dan lain sebagainya. Untuk tingkat dosen dan karyawan, UMJ secara berkala mengadakan pembinaan dalam bentuk Pengajian Darul Arqam, pendalaman al-Islam dan Kemuhammadiyahan, dan membiasakan menghentikan semua kegiatan ketika waktu azan tiba dan langsung mengerjakan shalat berjamaah.

“Islam itu rohmatan lil alamin, ini adalah makna keterbukaan. Artinya, Islam itu rahmat bagi seluruh alam bukan hanya untuk kaum muslimin saja. Prinsip keterbukaan inilah yang akan dijalankan UMJ dalam pergaulan global. Menjadikan kampus Islami bukan berarti tertutup atau ekslusif”, lanjut Masyitoh. Menurut rektor wanita yang cukup mampu membawa UMJ ke arah kemajuan ini, pergaulan global tersebut merupakan keniscayaan dalam interaksi antar sesama manusia. “Ini demi kemajuan pengetahuan dan kesejahteraan umat manusia”, tegasnya pada Republika. “Saya bercita-cita bahwa setiap orang akan menyatakan sebuah aforisme; belajarlah Islam hingga ke UMJ. Tentu ini tidak mudah tapi bukan hal yang mustahil pula”, sambung guru besar dalam bidang Pemikiran Islam ini.

Kegiatan-kegiatan dalam mewujudkan cita-cita ini merupakan wujud dari penanaman nilai-nilai dan semangat keislaman tersebut. Penanaman nilai-nilai dan semangat itu terus dilakukan bagi segenap pimpinan, karyawan, dosen dan mahasiswa di lingkungan UMJ. “Penanaman nilai itu tidak cukup hanya dengan pengajian tapi juga dengan memberikan contoh (uswah) perilaku yang terus-menerus”, katanya.

Dengan pembangunan nilai keislaman ini, akan menjadikan UMJ sebagai salah satu model kampus Islami. Terlebih UMJ berada di bawah naungan Persyarikatan Muhammadiyah yang notabene sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia. “Di Indonesia ini banyak sekali perguruan tinggi tetapi jika tidak dibekali dengan nilai-nilai religiusitas, maka dikhawatirkan akan terjadi penyimpangan atas nama pengetahuan dan atau teknologi”, tandas Masyitoh yang juga salah satu ketua ‘Aisyiyah ini.

Menurutnya, kemajuan pengetahuan teknologi informasi harus dikawal. Hal ini, tambahnya, agar pengguna teknologi berada di bawah kontrol kebaikan dan kebijaksanaan dalam menggunakan teknologi tersebut. Terlebih jika teknologi itu dibuat dan dibangun oleh ilmuan-ilmuan muslim. “Dalam konteks tersebut, Islam dijadikan sebagai pisau analisis-kritis dalam melihat dan mengawal kemajuan pengetahuan”, tambahnya mengingatkan.

Ilmuwan, sarjana dan pemikir yang Islami, menurut Masyitoh, adalah cendekiawan yang bertanggung jawab terhadap pengetahuannya. Para ilmuan yang tidak akan menyalahgunakan pengetahuannya untuk kepentingan yang tidak baik dan tidak akan melakukan malpraktik karena dilandasi oleh prinsip rahmat bagi seluruh alam tadi.

Masyitoh menegaskan bahwa cendekiawan seperti inilah yang ditunggu-tunggu bangsa ini. Cendekiawan sekaligus negarawan-muslim yang berjuang untuk dan atas nama agama dan negara. (adv)

sumber : UMJ
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement