Selasa 21 Feb 2012 11:29 WIB

Sekatenan, Kebangkitan Budaya & Persatuan Umat Islam

Salah satu grup shalawatan tengah mempertontonkan kebolehannya
Foto: Foto-foto: Khoirul Anwar
Salah satu grup shalawatan tengah mempertontonkan kebolehannya

“Ono ing sasi maulud, miyasipun Kanjeng Nabi, ing tanggal kalih welas (12) dinten isnen pun prengati. Tahun pil, tahun gajah...”

Bait-bait dalam Bahasa Jawa tersebut merupakan syair yang dilantunkan oleh Paguyuban Shalawatan Emprak, Pesantren Kaliopak, Yogyakarta di Convention Hall, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (9/2). Aksi Paguyuban Shalawatan ini dalam rangka menyemarakkan acara “Sekatenan, Kebangkitan Budaya & Persatuan Umat Islam”, yang diadakan oleh Laboratorium Masjid UIN Sunan Kalijaga bekerja sama dengan Atase Kebudayaan Republik Islam Iran, dan Institute Rausan Fikr Yogyakarta.

Paguyuban Shalawatan Emprak merupakan grup shalawatan dengan para personil yang sudah paruh baya dan biasa membawakan syair dalam Bahasa Jawa. Sebenarnya, syair tersebut tidak lain terjemahan dari Kitab Al-Barzanzi yang sering didendangkan dalam Bahasa Arab di dunia pesantren.

Dalam perjalanannya, Paguyuban ini mengalami pasang surut sebab keberadaan para persoilnya yang sudah “sepuh-sepuh”. Sehingga, bila ada salah satu personilnya yang meninggal dunia, akan sulit sekali mencari penggantinya. Namun, paguyuban ini bertekad untuk eksis dengan melakukan kaderisasi generasi muda. Grup ini sendiri, biasanya tampil dalam acara sekatenan di Keraton Ngayogyakarta setiap bulan Maulud.

Selain Paguyuban Shalawatan Emprak, acara ini turut disemarakkan oleh Grup Shalawatan Al-Mizan UIN Sunan Kalijaga dan kesenian tradisional Iran. Kedua grup yang terakhir disebutkan, menggunakan alat-alat musik yang memadukan alat-alat modern dengan syair-syair berbahasa Arab, sehingga sangat berbeda dengan grup emprak.

Tentunya, penampilan dari grup-grup kesenian tersebut dengan aneka warna berbeda semakin menunjukkan kekayaan budaya Islam. Sehingga, “momentum ini bisa menjadi pemersatu umat Islam untuk mencapai kejayaan di masa yang akan datang,” kata Ketua Laboratorium Masjid UIN Sunan Kalijaga dalam sambutannya.

Kyai Jadul Maula (Perwakilan dari PWNU Yogyakarta), dalam orasi kebudayaannya mengatakan bahwa antara Islam Nusantara dengan masyarakat Iran, khususnya Persia, mempunyai kaitan erat. "Serat Subakir" merupakan salah satu manuskrip yang mengisahkan bagaimana hubungan erat antara kebudayaan Jawa dengan Persia.

Dahulu kala, kondisi Jawa masih wingit, gung liwang liwung, dihuni oleh dedemit. Melihat kondisi tersebut, Raja Persia (tidak disebutkan namanya) mengirimkan 40 ribu KK (kepala keluarga) ke tanah Jawa. Namun, delegasi ini tidak mampu mengatasi keadaan sehingga diutuslah Syekh Subakir untuk mengatasinya. Syekh Subakir membuat pagar spiritual di tanah Jawa. Masyarakat Jawa sendiri mengakui Syekh Subakir sebagai orang yang babad tanah Jawa, dengan memberi tumbal di Gunung Tidar.

Selain Serat Subakir, Kitab Tajussalatin, merupakan kitab yang tidak bisa lepas dari campur tangan proses Islamisasi Nusantara. Kitab Tajussalatin sendiri merupakan kitab moral yang diperuntukkan bagi para pemimpin maupun raja. Yasidipura I mengubah Kitab Tajussalatin dalam bentuk macapat pada tahun 1726 M, sebagai pegangan untuk para raja di tanah Jawa kala itu.

Indonesia dan Iran merupakan negara yang mayoritas penduduknya memeluk Islam serta berpotensi untuk menuju kejayaan umat. Indonesia sendiri memiliki keanekaragaman budaya dan sumber daya alam yang melimpah sehingga dapat dimanfaatkan untuk membangun umat Islam yang sejahtera dan peradaban Islam yang gemilang.

“Imam Khomaeni selalu menyerukan agar umat Islam menemukan jatidirinya. Umat Islam harus bersatu untuk membangun peradaban Islam yang luhur. Solusinya adalah umat Islam harus kembali pada Al-Qur’an dan Islam,” begitu sambutan Perwakilan Atase Kebudayaan Republik Islam Iran dalam, pidatonya yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.

Ayatullah Dr. Bi Ozor Syirazi (ulama Iran), dalam ceramah di sesi terakhir acara, mengatakan sangat terkesan dengan masyarakat Indonesia yang ramah, selalu tersenyum dan mengucapkan salam setiap kali berpapasan. Beliau juga menceritakan tentang respon masyarakat Barat terhadap Islam, khususnya kitab suci Al-Qur’an. Masyarakat Barat selalu saja mencari titik lemah Islam dengan cara menelaah Al-Qur’an dengan satu tujuan, untuk mengatakan bahwa Al-Qur’an tidak lain hanyalah karya tulis Nabi Muhammad. Usaha itu ternyata sia-sia belaka, sebaliknya, mereka malah semakin mempercayai bahwa Al-Qur’an memang betul kalam Ilahi, yang keotentikannya tidak diragukan lagi.

Khoirul Anwar

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement