Jumat 30 Dec 2011 14:16 WIB

MUI Jabar: Ahmadiyah Tetap Ahmadiyah, Bukan Islam

Rep: Friska Yolandha/ Red: Djibril Muhammad
Aksi unjuk rasa menuntut pembubaran Ahmadiyah.
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Aksi unjuk rasa menuntut pembubaran Ahmadiyah.

REPUBLIKA.CO.ID, SUMEDANG – Majelis Ulama Indonesia (MUI) Wilayah III menyatakan aliran Ahmadiyah adalah sebagai Ahmadiyah. Mereka sepakat Ahmadiyah tidak termasuk dalam Islam.

"Seperti di negara lain, Ahmadiyah adalah Ahmadiyah saja," tutur Ketua MUI Jawa Barat, Fariz Usman, kepada Republika, usai menghadiri penutupan Rapat Koordinasi Antardaerah Wilayah III di Hotel Puri Khatulistiwa, Sumedang, Jumat (30/12).

Fariz mengungkapkan ditolaknya Ahmadiyah sebagai aliran Islam adalah tidak sesuainya ajaran-ajaran Ahmadiyah seperti ajaran Islam secara umum. Islam bukannya eksklusif, tutur Fariz, namun Ahmadiyah sudah menyimpang dari ajaran-ajaran Islam. Karena itulah MUI sepakat aliran tersebut merupakan kepercayan tersendiri.

Ahmadiyah memiliki imam dan iman sendiri, tidak sama dengan Islam. Fariz bercerita, ia pernah mengajukan diri menjadi imam dalam sebuah masjid Ahmadiyah. Namun para jemaat menolak karena ia dipandang tidak sesuai dengan kriteria imam Ahmadiyah. Hal ini, tutur Fariz, sudah bertentangan dengan Islam. Dalam Islam, imam dapat berasal dari mana saja.

Hanya sayangnya, Ahmadiyah menafsirkan Islam sepotong-sepotong. Akibatnya ajaran Islam menjadi menyimpang dan hal tersebut membuat Islam buruk di mata non-Muslim. Oleh karena itulah Ahmadiyah boleh berkembang namun tidak boleh mengatasnamakan Islam. Karena, tutur Fariz, hal tersebut jelas bertentangan.

Indonesia merupakan agama yang toleransi beragamanya tinggi, karena Indonesia tidak hanya terdiri dari satu agama. Hal tersebut tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29. Mantan Presiden RI, Abdurahman Wahid, pernah menyatakan Kong Hu Cu sebagai kepercayaan orang Cina. Begitu pula nanti Ahmadyah juga bisa dilakukan hal serupa. "Tapi kalau sudah membawa-bawa Islam, itu masalah," tegasnya.

Keputusan wilayah III yang terdiri dari Provinsi Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan DI Yogyakarta ini diapresiasi oleh Menteri Agama RI, Suryadharma Ali. Menurutnya hal ini merupakan sikap tegas bagi Ahmadiyah oleh komunitas Islam. "Hal ini juga menjadi jawaban atas kebingungan masyarakat," tuturnya.

Ahmadiyah, lanjutnya, adalah seperti orang yang merusak lambang atau simbol orang lain. Misalnya Indonesia yang lambang negaranya adalah burung garuda yang menghadapkan kepalanya ke kanan. Apabila ada oknum yang sengaja membuat patung yang sama, namun mebuat kepalanya menghadap ke kiri, maka masyarakat Indonesia akan marah. Begitu pula dengan Islam.

Namun Ali mengingatkan perbedaan ini jangan sampai menimbulkan tindakan anarkis di sekitar lingkungan. Hal ini seharusnya membuat masyarakat lebih toleran dan meningkatkan kerukunan antarumat beragama.

Indonesia, merupakan negara yang toleransinya terhadap agama paling besar, tutur Ali. "Coba sebutkan negara mana yang meliburkan semua hari raya keagamaan serta Presidennya ikut merayakan," tantang Ali.

Terkait kerukunan umat beragama, Ali menyebutkan ada beberapa faktor yang berhubungan dengan pengrusakan kerukunan umat beragama. Hal pertama adalah izin mendirikan bangunan.

Masalah keagamaan banyak mencuat ketika sebuah gereja tidak memiliki izin untuk berdiri, seperti di Purwakarta atau kompleks Yasmin. Hal ini, tutur Ali, adalah murni karena bangunan tersebut tidak memiliki izin, bukan karena ada provokator yang tidak mau ada gereja dibangun di sana.

Masalah seperti ini bukanlah masalah Kementerian Agama, melainkan Wali Kota atau Bupatinya. Kalau tidak bisa, laporan langsung diajukan kepada Gubernur, atau yang paling tinggi kepada Kementerian Dalam Negeri. "Kalau Menteri Agama turun tangan soal itu bisa ditertawakan," kata Ali.

Permasalahan kedua adalah persoalan agama yang disebabkan oleh penodaan. Ia mecontohkan kasus yang baru saja terjadi, pembakaran pesantren Syiah. Berdasarkan laporan yang didapatkan, kelompok Syiah tersebut sudah beberapa kali ditegur secara halus oleh

masyarakat setempat. Namun teguran tersebut tidak juga diindahkan. Hal ini menimbulkan keresahan di masyarakat yang berujung pada tindakan anarkis.

Hal serupa juga terjadi ketika muncul aliran baru yang mengatasnamakan satu agama tertentu seperti kasus Lia Aminuddin dan Imam Tantowi. Hal ini jelas-jelas telah menodai agama sehingga menimbulkan reaksi keras dari masyarakat penganut agama tersebut.

Beragama di Indonesia harus bebas, tutur Ali. Namun kebebasan tersebut bukan kebebasan mutlak karena hal itu hanya dimiliki oleh Allah SWT. Kebebasan beragama juga jangan diartikan kebebasan yang mengganggu ketenteraman dan toleransi agama.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement