Selasa 29 Mar 2011 10:23 WIB

RSBI Hanya Konsumsi Kaum Elit

Rep: Erik Purnama Putra/ Red: Djibril Muhammad

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA - Keberadaan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) milik negara hanya dinikmati orang kaya. Sementara siswa dari keluarga miskin sulit mendapat kesempatan untuk bersekolah karena terbentur biaya masuk.

"Apalagi berdirinya RSBI berstatus negeri itu didanai negara, sehingga seharusnya menjadi sekolah publik. Tapi, sekarang RSBI hanya dinikmati kaum elit semata. Ini jelas menyimpang dari konsep awal," ujar pengamat pendidikan Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Dr Soeryanto kepada Republika, Selasa (29/3).

Soeryanto menyatakan, konsep didirikannya RSBI pada 2005 lalu adalah membuat sekolah percontohan untuk menyiapkan lulusan siswa yang ingin melanjutkan ke perguruan tinggi luar negeri. Karena itu, dalam pengantar proses belajar mengajar dipilih bahasa asing (bahasa Inggris).

Itu dilakukan karena RSBI menjalin kerjasama dengan lembaga pendidikan asing yang menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa keseharian. Alhasil, setiap tes maupun model pembelajaran harus meniru sistem Amerika Serikat.

Padahal untuk kerjasama seperti itu tidak gratis. Akibatnya pengelola RSBI menarik berbagai biaya untuk bisa terus mendapat pengakuan dari lembaga asing yang menjalin kerjasama dengannya.

"Biaya kerjasama yang mahal itulah yang dibebankan sekolah kepada orang tua siswa. Karenanya, hanya orang tertentu yang bisa sekolah di RSBI," kata ketua Ikatan Alumni (IKA) Unesa ini.

Sebagai perbandingan, kata Soeryanto, adalah SMAN 5 Surabaya yang berstatus RSBI menarik iuran bulanan (SPP) sebesar Rp 400 ribu per bulan. Belum berbagai dana lain yang dibebankan kepada orang tua siswa.

Padahal biaya SPP reguler berbagai jurusan di Unesa rata-rata Rp 600 ribu per semester. Jika dibandingkan dengan Universitas Airlangga (Unair) dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya yang menarik SPP sekitar Rp 1 juta per semester masih lebih murah daripada RSBI. "Sangat tepat jika RSBI dievaluasi," katanya.

Soeryanto mengkritisi sistem pembelajaran di RSBI yang menggunakan bahasa Inggris. Menurut dia, penggunaan bahasa asing sangat tidak efektif bagi penyampaian proses transfer ilmu di kelas.

Apalagi banyak yang kurang cakap dalam penguasaan Bahasa Inggris. Akhirnya di sela mengajar mereka harus mengambil kursus (les) singkat yang membuat perhatiannya tidak tercurahkan untuk anak didiknya

Ditambah hasil riset bahwa proses belajar mengajar lebih baik jika disampaikan dengan pengantar bahasa ibu. Soeryanto menilai masalah itu harus menjadi perhatian utama yang harus dievaluasi Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas).

"Efektivitas pemahaman siswa dalam menguasai mata pelajaran lebih mudah jika disampaikan dengan bahasa Indonesia. Ini yang harus jadi perhatian," jelasnya.

Geregetan melihat RSBI yang semakin menjamur dan tidak ada ubahnya dengan sekolah umum. Serta, RSBI dijadikan simbol oleh pengelola sekolah untuk jualan ke masyarakat agar hanya orang kaya saja yang bisa sekolah di situ membuat Soeryanto mengambil kebijakan berani.

Ia mengaku akan bekerjasama dengan Unesa untuk membentuk model sekolah rintisan internasional tandingan dengan RSBI. Soeryanto memahami sekolah berkualitas konsekuensinya kadang harus mahal, tapi itu tidak selalu. Sekolah berkualitas itu, sambungnya, apabila input, process, dan output-nya bagus.

"Kami sedang kaji untuk mendirikan model sekolah unggulan terbaru agar jadi contoh RSBI. Namun, formulasinya dibuat dengan biayanya murah agar tidak jadi sekolah elit," tukasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement