Rabu 21 Sep 2016 11:00 WIB

Muhammad Syarif Bando, Kepala Perpustakaan Nasional: Menuju Perpustakaan Digital

Red:

Foto  Republika / Darmawan  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Muhammad Syarif Bando resmi menjabat sebagai kepala Perpustakaan Nasional Indonesia (Perpusnas) pada 8 Juni 2016 lalu. Pria asal Sulawesi Selatan ini menggantikan kepala Perpusnas sebelumnya, Sri Sularsih. Setelah menjalani sekitar tiga bulan pertama masa tugasnya, Syarif mengungkapkan keinginannya untuk melanjutkan program digitalisasi buku-buku koleksi Perpusnas. Menurutnya, program ini sejalan dengan cita-cita Perpusnas mengubah konsep lama perpustakaan menjadi penyedia informasi yang memudahkan pembelajaran masyarakat di era digital. Berikut wawancara wartawan Republika Dian Erika Nugraheny bersama Syarif pada awal September lalu.

Menurut data dari UNESCO pada 2015, persentase minat baca Indonesia hanya 0,1 persen. Apakah kondisinya memang demikian?

Menurut saya, tidak tepat seperti itu kondisinya. Yang terjadi bukan semata-mata karena masyarakat Indonesia tidak suka membaca. Namun, budaya membaca di negara kita belum menjadi suatu hal yang otonom.

Berdasarkan pengalaman kami, di beberapa wilayah Indonesia, justru masyarakat sangat ingin mendapat bahan bacaan yang memadai. Saya contohkan di Sulawesi, ketika ada satu tenaga perpustakaan berkeliling dengan perahu. Dia berkeliling menggunakan perahu di kawasan pedalaman Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan. Anak-anak di sana sangat menanti kedatangannya. Mereka selalu bertanya, kapan perahu buku keliling datang lagi? Anak-anak senang disediakan bahan bacaan. Ini menandakan, masih ada keinginan kuat dari masyarakat untuk membaca.

Kondisinya lain dengan di Pulau Jawa, yang mana akses pada perpustakaan dan toko buku sangat mudah dijangkau. Di beberapa kota di Jawa, seperti Yogyakarta dan Bandung, minat baca masyarakat masih tinggi, khususnya di kalangan remaja, mahasiswa, dan kaum muda lainnya.

Lalu, bagaimana cara ideal untuk meningkatkan minat baca masyarakat ?

Minimal harus ada tujuh hal yang tersedia. Pertama, tersedianya bahan bacaan yang memadai. Kedua, bahan-bahan bacaan itu mesti sesuai dengan latar belakang dan minat si pembaca. Artinya, jangan menyediakan bahan bacaan yang bukan menjadi minat atau bidang dia.

Seperti olahragawan, mestinya harus disediakan buku tentang referensi dalam bidang olahraga, bukan seni. Ketiga, adanya rasio yang seimbang antara buku dan jumlah penduduk di suatu daerah. Keempat, tersedianya wahana untuk mendapatkan bahan bacaan berupa taman baca atau perpustakaan yang dekat dengan masyarakat.

Kelima, ada penulis dan penerbit yang produktif menghasilkan bahan bacaan. Keenam, distribusi bahan bacaan secara merata ke seluruh wilayah. Terakhir, adanya upaya peningkatan layanan digitalisasi bahan bacaan. Bahan bacaan yang sudah diubah bentuknya dari buku ke digital mestinya ditampilkan secara penuh, bukan hanya sampul dan abstraknya.

Siapa yang mestinya membantu penanaman budaya membaca sehingga bisa meningkatkan minat membaca?

Orang-orang yang memiliki perhatian dan dedikasi terhadap keberlangsungan budaya membaca. Mereka ini yang mampu menyampaikan pesan bahwa dengan membaca, ada banyak perubahan positif yang bisa dilakukan. Membaca itu mengubah dan memperkaya pola pikir sehingga bisa memperbaiki sikap masyarakat.

Kalau dari pemangku kepentingan, tentu Perpusnas punya peran membantu meningkatkan budaya membaca dengan menyediakan bahan bacaan sebanyak-banyaknya, baik berupa buku yang tercetak maupun bahan bacaan digital. Di daerah, kami dibantu oleh kawan-kawan pengantar buku keliling, seperti yang dilakukan di Sulawesi dan kawasan pedalaman Gunung Slamet, Jawa Tengah. Kami juga dibantu oleh TNI AD dan TNI AL untuk distribusi buku ke pulau-pulau terluar dan kawasan perbatasan Indonesia. Para tentara ini juga mengajar membaca kepada anak-anak pedalaman yang belum bisa membaca.

Apa saja kendala dan tantangan untuk meningkatkan minat membaca masyarakat?

Secara umum ada tiga, yakni menyediakan sumber bacaan bagi masyarakat sesuai dengan perkembangan zaman, distribusi buku bacaan ke seluruh wilayah Indonesia hingga ke wilayah perbatasan, dan memperkecil rasio antara penduduk dan buku bacaan. Kondisi di Indonesia saat ini adalah langka bahan bacaan di mana satu buku dibaca oleh 15 penduduk.

Jika dibandingkan dengan negara lain di kawasan Asia dan Eropa, seperti Jepang atau Swedia yang telah maju, satu penduduk bisa membaca 17 buku. Jadi, dalam beberapa tahun mendatang, kita menargetkan ada peningkatan kondisi di mana satu buku dapat dibaca oleh 10 penduduk. Dengan begitu, sebaran buku sudah bisa mencapai sekitar 10 persen dari jumlah penduduk Indonesia atau buku sudah dapat dinikmati oleh 25 juta penduduk Indonesia.

Apakah Perpusnas meyakini program Indonesia Cerdas Membaca 2019 dapat terlaksana secara maksimal?

Saya optimistis kami bisa menyukseskan pelaksanaan program itu. Kami kini telah mengupayakan untuk mengubah paradigma lama perpustakaaan sebagai tempat berkumpulnya buku-buku menjadi perpustakaan modern yang lebih mudah diakses di era digital. Kedua, distribusi buku ke seluruh perpustakaan, baik tingkat provinsi, kabupaten, kecamatan, hingga sekolah terus kami lakukan. Kami utamakan buku-buku ilmu terapan dan keterampilan. Kedua buku ini sangat diminati masyarakat karena memberikan ilmu yang aplikatif. Dari situ, minat baca mereka akan meluas pada bahan bacaan lain.

Mengubah paradigma perpustakaan yang dimaksud seperti apa realisasinya? 

Pada masa lalu, konsep perpustakaan adalah mengumpulkan buku sebanyak-banyaknya kemudian ditaruh di rak, dikunci, sehingga koleksi buku tak jarang penuh debu. Konsep seperti ini tentu harus diubah sesuai dengan perkembangan zaman. Di era digital ini, informasi dari buku semestinya juga mudah diakses lewat dunia maya. Artinya, kami mesti menyiapkan bahan bacaan yang mudah diakses secara digital. Maka, kami pun telah melakukan digitalisasi koleksi buku, baik buku lama, naskah kuno, maupun buku terbitan terbaru. Prinsip Perpusnas ke depannya adalah menyediakan informasi sebanyak-banyaknya yang mudah dijangkau masyarakat serta memberikan manfaat.

Saat ini, kami telah memiliki sekitar 1.000 manuskrip yang sudah dialihkan bentuknya dari buku menjadi format digital. Manuskrip terdiri atas buku langka, naskah kuno, maupun buku terbitan lama. Semua koleksi dalam format digital sudah dapat dibaca secara online melalui laman www.perpusnas.go.id.

Adakah acuan persentase pengguna internet Indonesia yang mengakses dunia maya untuk membaca buku digital?

Data acuan yang kami gunakan merujuk pada 8,1 pengguna internet di Indonesia usia anak hingga dewasa. Selain mengakses game online dan media sosial, ternyata ada 78 persen pengguna internet yang mengakses informasi ilmu pengetahuan lewat bahan bacaan digital. Ini yang memacu kami agar dapat menyediakan media pembelajaran digital yang dapat diakses secara luas oleh masyarakat Indonesia.

Target ke depan untuk proses digitalisasi buku seperti apa?

Target kami, pada 2017 sudah ada sekitar 600 ribu judul buku yang dapat diakses secara digital dalam bentuk full content. Tahun depan, kami berencana menambah sekitar 400 judul buku dalam format digital. Namun, itu pun tergantung kemampuan penerbit. Kami telah berkomunikasi dengan Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) untuk penambahan koleksi buku. Kami minta IKAPI memberikan referensi judul buku apa saja yang dapat kami beli hak ciptanya agar dapat disediakan dalam bentuk digital dan diakses lewat laman Perpusnas. Dengan begitu, akan semakin banyak koleksi buku yang bisa dijangkau oleh msyarakat luas tanpa harus datang ke perpustakaan.

Apakah kegiatan Perpusnas ikut terhambat karena pemotongan anggaran?

Terkait pemotongan anggaran, kami melakukan berbagai penyesuaian. Namun, anggaran sebesar Rp 500 miliar bagi Perpusnas itu kecil mengingat kami harus membina sekitar 250 ribu perpustakaan di seluruh Indonesia, baik perpustakaan sekolah dasar hingga perguruan tinggi, perpustakaan daerah hingga yang ada di kecamatan, dan perpustakaan milik swasta. Untuk itu, kami telah berupaya mengajukan audiensi kepada Komisi X DPR agar pada 2017 anggaran bagi kami dikembalikan seperti semula.

Sementara itu, untuk menyiasati penganggaran selanjutnya, kami sedang menyusun sistem anggaran berbasis data. Semua hal keperluan Perpusnas, baik soal penambahan koleksi, digitalisasi, dan keperkuan administrasi sudah sesuai dengan pendataan. Kami usahakan agar rasio antara anggaran dan keperluan pembinaan proporsional.  ed: Hafidz Muftisany

***

Memprioritaskan Digitalisasi Naskah Kuno

Kepala Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) Muhammad Syarif Bando mengatakan, pihaknya bertanggung jawab dalam pelestarian naskah kuno warisan nusantara. Saat ini ada sekitar 66.409 naskah kuno yang masih ada di Indonesia.

Syarif menuturkan, PNRI sendiri kini menyimpan sebanyak 11.409 judul naskah kuno. Sementara, sebanyak 50 ribuan judul naskah kuno lain tersebar di beberapa lembaga dan koleksi pribadi milik peneliti atau akademisi.

"Selain naskah kuno, kami pun menyimpan koleksi buku langka yang kini sudah tidak diterbitkan lagi. Perbedaan mendasar antara keduanya adalah naskah kuno ditulis dengan tulisan tangan dengan medium noncetak dan disampaikan dalam berbagai bahasa nusantara. Sementara itu, buku langka merupakan buku yang dicetak baik dalam bahasa Belanda maupun bahasa Inggris dan berisi informasi mengenai Indonesia," ujar Syarif.

Naskah kuno yang ada di Indonesia, lanjut dia, berisi ragam informasi yang cukup lengkap. Beberapa informasi di antaranya sistem kerajaan di Indonesia, tata cara perkawinan, pembagian kekuasaan pada masa kerajaan, kepercayaan masyarakat Indonesia, mantra-mantra, perihal kemaritiman, dan sebagainya.

Naskah tersebut ditulis sedikitnya dalam 20 kelompok bahasa nusantara, mulai dari Aceh, Batak, Sansekerta, Bali, Sunda, Bugis, Walio, dan beberapa bahasa nusantara lain. Selain PNRI, beberapa instansi yang kini menyimpan naskah kuno adalah UIN Syarif Hidayatullah, Fakultas Sastra Universitas Udayana, Kesultanan Siak Sri Inderapura-Riau, dan Pusat Dokumentasi Provinsi Bali.

Syarif mengakui, memang ada sejumlah koleksi naskah kuno yang kini tersimpan di luar negeri, di antaranya di British Library, Inggris, dan perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Ia menyebut naskah kuno asli yang kini tersimpan di Inggris dan Belanda, yakni naskah kuno tertua Indonesia, naskah asli Babad Diponegoro, dan naskah asli I La Galigo, sebuah kisah mitologi rakyat Sulawesi Selatan.

Meski demikian, pihaknya menampik jika jumlah naskah kuno yang tersimpan di Belanda dan Inggris lebih banyak jika dibandingkan dengan yang tersimpan di Indonesia. Dia menjelaskan, di Universitas Leiden ada sekitar 26 ribu naskah kuno yang tersimpan. Sementara, koleksi naskah kuno di British Library sekitar 500 naskah.

"Menurut kami, kondisinya tidak bisa diperbandingkan. Sebab, yang ada di Leiden itu memang berada di satu lokasi. Pengarsipannya baik sehingga memudahkan orang untuk mencari referensi. Naskah kuno yang ada di Indonesia masih banyak yang tersebar. Itulah sebabnya mengapa seolah naskah yang berada di Leiden lebih lengkap," jelas Syarif.

Untuk melestarikan koleksi naskah kuno, pihak PNRI mengaku sangat berlomba dengan waktu. Kondisi naskah yang sudah berusia ratusan tahun menjadi salah satu kendala dalam perbaikan ataupun proses digitalisasi.

Dari segi teknologi, PNRI telah mengembangkan sarana teknologi konservasi, preservasi, dan digital archive systems sejak 2001 lalu. Saran yang digunakan untuk pelestarian naskah kuno, seperti leaf casting, chumber machine, sarana penjilidan, dan desidifikasi terus ditambah meski harus impor dari luar negeri. Untuk alih media, Pnri telah memiliki sarana bentuk mikrofilm dan format digital. rep: Dian Erika Nugraheny ed: Hafidz Muftisany

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement