Rabu 02 Dec 2015 12:00 WIB

Abdul Mu'ti, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah: Kembali ke Budaya Baca dan Tulis

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID,Abdul Mu'ti, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah: Kembali ke Budaya Baca dan Tulis

Sebagai negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia menghadapi tantangan dalam ihwal keumatan. Meski berjumlah besar, umat Islam dinilai belum memiliki daya saing yang tinggi. Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu'ti mengulik persoalan tersebut dan membeberkan solusinya kepada Republika. Mu'ti pun menyampaikan langkah yang akan diterapkan Muhammadiyah dalam menjawab tantangan itu. Berikut petikan wawancaranya:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bagaimana pandangan Anda terhadap kondisi umat Islam di Indonesia saat ini?

Ada paradoks keumatan. Umat Islam unggul secara kuantitas, tetapi rendah kualitas. Spiritualitas sangat kuat, tetapi lemah secara moralitas. Ada kesenjangan antara realitas dan idealisme Islam. Kesadaran berjilbab semakin populer, tetapi koruptor berjilbab juga tidak terhindarkan. Hal ini tidak berarti kerusakan akhlak, seperti korupsi, kekerasan, dan perusakan lingkungan, disebabkan oleh Islam dan pelakunya hanya umat Islam. Banyak pemeluk agama lain yang juga korup, eksploitatif, dan destruktif terhadap alam semesta. 

Umat Islam sebagai mayoritas belum mampu tampil dan menampilkan dirinya sebagai kekuatan moral, kemajuan, peradaban, dan keadaban. Selain itu, dalam realitas kehidupan kebangsaan, umat Islam tertinggal dengan pemeluk agama lain. Hal itu terutama dalam bidang ekonomi dan pendidikan. Daya saing umat Islam masih rendah.

Mengapa daya saing umat rendah?

Ada tiga masalah umat yang sangat serius. Pertama, masalah budaya yang meliputi worldview (pandangan hidup terhadap dunia sekitar), perilaku, dan tradisi. Umat Islam masih memahami agama secara fatalistis, spiritualistis, dan skripturalistis. Sebagian umat masih memisahkan urusan dunia dengan akhirat dan akidah terpisah dengan ibadah serta muamalah. Ada masalah etos kerja yang rendah dan budaya hidup yang konsumtif, boros, dan tidak efisien. Dana umat tidak teralokasi untuk hal-hal yang produktif.

Kedua, masalah pendidikan. Lembaga-lembaga pendidikan Islam masih tertinggal dibandingkan dengan lembaga pendidikan agama lain. Dilihat dari peringkatnya, akreditasi sekolah Islam atau madrasah masih rendah. Prestasi para pelajar dan mahasiswa Muslim di level nasional dan internasional masih langka. Walaupun tidak menjadi tolok ukur utama, para juara olimpiade sains, penemu, dan pengembang teknologi masih didominasi kelompok agama lain. 

Ketiga, masalah politik. Kita menyaksikan bagaimana sesama organisasi Islam saling menjatuhkan. Partai-partai Islam terpecah. Di dalam politik, sering kali terjadi "kanibalisme". Kalau ada tokoh Muslim yang tampil, yang semangat menjatuhkan juga sesama Muslim. Akibatnya, umat Islam kekurangan figur politik yang kuat.

Karena itu, harus ada usaha dan perjuangan yang lebih sistematis, sistemik, komprehensif, dan terorganisasi untuk memajukan umat dan bangsa. Sesama organisasi Islam harus saling mendukung.

Lalu, mengapa Muhammadiyah keberatan dengan Hari Santri? 

Muhammadiyah tidak mempersoalkan keputusan pemerintah tentang Hari Santri. Itu sebuah pengakuan atas kontribusi umat Islam terhadap kedaulatan Indonesia. Yang kita minta dipertimbangkan adalah tanggal 22 Oktober. Kita ingin sejarah bangsa ditulis dengan benar. Menurut hemat kami, Hari Santri lebih tepat pada 22 Juni. Pada saat itu, para tokoh Muslim bersepakat dalam perumusan dasar negara. Itulah momentum yang menentukan masa depan Indonesia. Kita tidak ingin penetapan Hari Santri bermasalah sebagaimana hari lahir Pancasila, Supersemar, dan lain sebagainya.

Apa yang bisa dilakukan untuk membangun daya saing umat?

Pertama, kita harus melakukan revolusi budaya. Kita harus membangun masyarakat ilmu dan budaya ilmiah. Kita harus mengubah budaya dengar dan bicara ke arah budaya baca dan tulis. Masyarakat harus dibiasakan berpikir dan bersikap kritis serta memiliki spirit of inquiry. Kita lemah dari produktivitas ilmiah, baik dari sisi penulisan buku, jurnal, maupun riset ilmiah. Umat perlu menginvestasikan dana lebih besar untuk pendidikan. Investasi sumber daya manusia melalui beasiswa yang kompetitif. Pendidikan gratis penting, tetapi harus ada iklim dan sistem yang mendorong para siswa dan mahasiswa untuk tetap berprestasi.

Kedua, dalam bidang ekonomi, perlu didorong budaya bekerja keras. Bantuan modal penting, tetapi yang jauh lebih penting adalah membangun jiwa kewirausahaan. Ketiga, perlu ada sinergi, komunikasi, dan kerja sama antara para tokoh Muslim, organisasi, dan partai politik. Para tokoh Muslim perlu lebih sering bertemu dan membangun relasi personal sehingga terbangun personal proximity. Organisasi Islam perlu saling bekerja sama.

Seberapa penting membangun budaya tulis dan baca di kalangan umat Islam?

Budaya baca dan tulis penting. Perintah pertama yang diterima Nabi Muhammad sejak wahyu pertama adalah membaca. Rasulullah Muhammad SAW memerintahkan kepada para sahabat untuk menuliskan wahyu. Inilah arti pentingnya kebiasaan dan budaya membaca dan menulis. Karya tulis dapat diwariskan lintas generasi dan terbuka untuk dikaji ulang. Membaca dapat dilakukan di mana saja.

Kebiasaan membaca dapat mengurangi, bahkan menghilangkan kebiasaan negatif, seperti mengobrol yang tidak perlu, menggunjing, dan lain sebagainya. Budaya membaca meniscayakan tersedianya bahan bacaan yang dihasilkan melalui kreativitas menulis. Ketika pertemuan fisik menjadi semakin sulit karena kesibukan masyarakat modern, membaca merupakan solusi yang memungkinkan seseorang belajar secara mandiri dalam waktu yang fleksibel.

Apa yang akan Muhammadiyah lakukan untuk mendorong peningkatan daya saing umat?

Muhammadiyah selama ini terus berusaha meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan dan kesehatan. Muhammadiyah senantiasa berusaha meningkatkan kualitas lembaga-lembaga pendidikan yang terbuka bagi seluruh masyarakat. Muhammadiyah mendorong riset-riset dalam berbagai bidang yang bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. n ed: andri saubani

***

Buah Pendidikan, Doa, dan Rahmat

Perspektif agama yang terbuka dan moderat menjadi hal penting bagi Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu'ti. Meski berlatar belakang keluarga Muhammadiyah, Mu'ti tak segan belajar dari lingkungan masyarakat Nahdliyyin. 

Lahir dari keluarga petani dan guru mengaji di Desa Getassrabi, Kudus, Jawa Tengah, Mu'ti mendapat keleluasaan dari ayahnya untuk menimba ilmu dari masyarakat sekitar yang mayoritas NU. "Ayah saya bangga ketika saya menjadi ketua Jamiyyah Sabilul Khairat yang di antara kegiatan rutinnya adalah tahlilan, Yasinan, dan berjanjen (membaca al-Barzanji)," kenang Mu'ti. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kader yang kini menjadi unsur penting dalam pusaran inti persyarikatan Muhammadiyah itu menilai pengalaman-pengalaman yang ia alami telah membentuk sikap terbuka dan moderat dalam beragama. Mu'ti berkisah, ayahnya pula yang telah memberikan dasar-dasar pendidikan Islam mulai dari rumah. Tak hanya itu, kedisiplinan, kerja keras, dan nalar kritis juga ia terima dari sang ayah. 

Tokoh kelahiran 2 September 1968 itu memulai pendidikan dari Madrasah Ibtidaiyah Manafiul Ulum, Madrasah Tsanawiyah Negeri, dan Madrasah Aliyah Negeri di Kudus. Setelah itu, Mu'ti melanjutkan studinya dan meraih gelar sarjana dari Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, Semarang. 

Hijrah ke Negeri Kanguru, Mu'ti mendapatkan gelar master dari School of Education, Flinders University, South Australia. Gelar akademik terakhir yang ia raih adalah doktor di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Sejumlah studi nonformal juga pernah ia jalani, di antaranya, kursus pendek di Birmingham University dalam kajian pemerintahan dan syariah serta International Visitor Leadership di Amerika Serikat. 

Mu'ti mulai aktif di Muhammadiyah pada 1987. Ketika itu, ia pertama kali menjadi anggota dan pimpinan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) komisariat Al-Faruqi IAIN Walisongo. Kiprahnya di Muhammadiyah terus berlanjut. Ia pun ikut menjadi pengurus di sayap pemuda Muhammadiyah. Ia dipercaya menjadi ketua umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah sejak 2002 hingga 2006 dan melanjutkan estafet kepemimpinan dari nama-nama besar, seperti Din Syamsuddin dan Hajriyanto Thohari. 

Pada Muktamar Muhammadiyah 2010 di Yogyakarta, Mu'ti terpilih menjadi anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Selama lima tahun kepengurusan, ia menerima amanah sebagai sekretaris. Kiprah Mu'ti di persyarikatan yang didirikan KH Ahmad Dahlan itu terus meningkat. Pada Agustus lalu, dalam Muktamar Muhammadiyah di Makassar, tim formatur menunjuknya sebagai sekretaris umum PP Muhammadiyah. 

Tak hanya di Muhammadiyah, Mu'ti juga terlibat dalam organisasi dan lembaga internasional. Ia pernah menjadi anggota Indonesia-United Kingdom Islamic Advisory Group yang dibentuk oleh Presiden SBY dan Perdana Menteri Tony Blair. Ia juga menjadi anggota Advisory Board the British Council (2006-2009) dan anggota Executive Committee Asian Conference of Religion for Peace (2010-2015).

Mu'ti mengaku, studi S-2 di Australia merupakan hal penting dalam hidupnya. Selama merantau, katanya, ia tidak hanya mematangkan karier akademik, tetapi juga kepemimpinan dan membangun jejaring nasional dan internasional. 

Sederet capaian gemilang telah Mu'ti raih. Meski begitu, seluruhnya ia kembalikan sebagai hasil dari proses panjang hidup dan dukungan yang ia terima. "Apa yang saya capai sekarang adalah buah dari pendidikan, doa orang tua, dan yang paling utama rahmat Allah SWT." ed: andri saubani 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement