Rabu 23 Nov 2016 17:00 WIB

Arifsyah Nasution, Pengampanye Laut Greenpeace Indonesia: Menjaga Potensi Ikan Indonesia

Red:

Indonesia dikenal memiliki sumber daya laut yang luas. Kekayaan ikan di laut Indonesia memunculkan berbagai metode penangkapan. Termasuk model illegal fishing. Praktik penangkapan ikan yang ilegal memiliki dampak serius terhadap keberlangsungan potensi ikan di Indonesia pada masa depan. Konsumen juga diajak peka untuk menelusuri asal-usul ikan yang mereka konsumsi agar ada kesadaran proses penangkapan ikan sudah dilakukan dengan benar sejak awal. Apa saja permasalahan potensi laut di Indonesia? Dan apa saja yang harus dikawal masyarakat sipil? Berikut penuturan Pengampanye Laut Greenpeace Indonesia Arifsyah Nasution kepada wartawan Republika Dian Erika Nugraheny.

Keberlangsungan sumber daya perikanan sering dikaitkan dengan pola konsumsi ikan tuna masyarakat Indonesia. Bagaimanakah kondisi sebenarnya saat ini?

Dua masalah utama saat ini terkait keberlanjutan perikanan tuna di Indonesia adalah destructive fishing, akibat penggunaan rumpon ilegal oleh kapal ikan jaring (purse seines) dan penggunaan bom ikan, terutama yang dilaporkan masih terjadi di NTT. Kedua, tentang ketidakjelasan asal-usul ikan menyebabkan informasi dan pengetahuan publik rendah mengenai asal-usul produk ikan. Jika informasi asal-usul ikan tidak jelas, maka potensi "pencucian ikan" hasil tangkapan ilegal dicampur dengan ikan legal sangat mungkin terjadi.

Seberapa penting keterbukaan informasi bagi konsumen dan keberlanjutan sumber daya perikanan?

Informasi soal asal-usul ikan sesuai UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Pada pasal 4 menyebut, salah satu hak konsumen adalah mendapatkan informasi jelas tentang asal-usul produk. Sebab faktanya, hampir 100 persen produsen ikan kalengan masih gunakan bom ataupun rumpon. Rumpon merupakan penangkapan ikan menggunakan basis jaring. Dengan rumpon, ikan-ikan lain seperti tongkol, bahkan hiu dan ikan-ikan kecil ikut tertangkap. Kondisi ini memang memicu kepunahan ikan, baik tuna maupun ikan-ikan lain.

Berdasarkan penelusuran Greenpeace Indonesia bagaimana kondisi rawan kepunahan akibat penangkapan berbasis jaring itu ?

Ada dua jenis ikan tuna yang jumlahnya mengalami pengurangan populasi, yakni tuna mata besar dan tuna sirip kuning. Berdasarkan data regional pengurangan populasi sekitar 16 persen. Ini merupakan pantauan pada 2014 - 2015. Data merujuk kepada Indian Ocean Tuna Comission.

Dalam 15 tahun terakhir di Indonesia, penempatan rumpon secara sembarangan tanpa izin semakin marak. Keberadaan rumpon-rumpon ilegal itu disebabkan penegakan dan kepatuhan terhadap aturan yang lemah. Pemanfaatan rumpon yang tidak terkendali juga menimbulkan berbagai masalah termasuk konflik antarnelayan.

Jadi, penangkapan yang tanpa wawasan keberlangsungan sumber daya ikan mengganggu ketahanan pangan ?

Benar. Sebab ada risiko kepunahan ikan tuna dan ikan-ikan lain yang terdampak penangkapan dengan rumpon. Kawanan ikan yang berkumpul bukan hanya ikan-ikan yang akan ditangkap seperti kelompok tuna, cakalang dan tongkol, melainkan juga jenis-jenis yang bukan target di antaranya hiu, penyu, dan lumba-lumba. Oleh karena itu, penangkapan ikan di sekitar rumpon memperbesar peluang tertangkapnya jenis bukan target atau sering disebut juga sebagai tangkapan sampingan atau tangkapan yang tidak diinginkan.

Tidak hanya itu, ikan-ikan target yang berkumpul tersebut sebagian besar tidak dalam ukuran layak tangkap, sehingga penangkapan ikan mengandalkan rumpon memperbesar peluang tertangkapnya ikan-ikan yang belum dewasa (juvenile).

Apa yang disarankan untuk mencegah kepunahan ?

Poinnya bukan soal tidak boleh menangkap, melainkan soal cara menangkapnya. Kami sarankan ada pengurangan jumlah kapal jaring di Indonesia. Pemerintah harus evaluasi ketat berapa rumpon yang boleh digunakan. 

Berdasarkan Peraturan Menteri Nomor 26 Tahun 2014, satu kapal ikan hanya boleh menggunakan tiga rumpon. Padahal, temuan di lapangan ada 10 rumpon yang dibawa satu kapal. Di kawasan Indonesia timur bahkan, ada temuan rumpon yang tidak berizin karena dibawa oleh kapal-kapal yang tidak berizin.

Berdasarkan data izin pusat per 3 November 2014, kapal penangkap ikan dengan alat tangkap purse seines di atas 30GT mencapai 1602 kapal. Kementerian Kelautan Perikanan memperkirakan setiap kapal ikan memiliki dan menempatkan hingga 15 rumpon di perairan laut, baik legal maupun ilegal.

Sehingga diperkirakan jumlah rumpon yang ditempatkan oleh purse seines mencapai 24.030 unit. Angka estimasi tersebut hanya rumpon yang ditempatkan oleh kapal purse seines izin pusat saja, belum termasuk izin kapal purse seines di bawah 30GT yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah, oleh kapal dengan alat tangkap lainnya. Belum termasuk rumpon yang ditempatkan oleh perseorangan ataupun perusahaan yang sebenarnya tidak memiliki kapal ikan.

Jika diperkirakan secara nasional, berdasarkan statistik KKP tahun 2011, jumlah purse seines mencapai 32.040 kapal, sehingga keberadaan rumpon di seluruh perairan Indonesia baik legal maupun ilegal yang hanya terkait dengan purse seines saja dapat mencapai 480.600 unit.

Bagaimana usulan konkret pembatasan penggunaan rumpon ?

Rumpon sebaiknya didaftar. Kapal tak berizin tidak boleh membawa rumpon. Semakin banyak rumpon akan memicu kompetisi. Akibatnya, mereka saling putus rumpon juga sehingga tidak terkontrol.

Terlalu banyak rumpon juga mengacaukan pencatatan hasil tangkapan. Daftar laporan tangkapan menjadi tidak jelas karena sulit terdeteksi kapal mana yang membawa hasil rumpon yang mana.

Kami mendesak agar pemerintah dapat sepenuhnya kembali memegang kendali dan perlu segera menjalankan kebijakan penataan rumpon sesuai Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan Nomor 26/2014 tentang Rumpon.

Dari sisi kebijakan, Greenpeace mencatat sejumlah kemajuan yang dicapai oleh KKP, yakni membatasi kepemilikan rumpon hanya tiga unit per kapal ikan. Masa berlaku pemanfaatan rumpon disesuaikan dengan izin Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) setiap kapal.

Pemanfaatan setiap rumpon secara khusus hanya oleh kapal ikan terkait. Mengindikasikan pengaturan lebih lanjut dalam pembatasan pemanfaatan rumpon berdasarkan waktu dan wilayah penangkapan ikan. Terakhir, mewajibkan setiap kapal ikan melaporkan frekuensi dan hasil penangkapan dari pemanfaatan rumpon.

Greenpeace fokus juga pada penjagaan hiu dari kepunahan?

Hiu punya peran kunci menjaga kesehatan laut. Hiu sejatinya bukan hanya predator, melainkan juga dokter yang memastikan keseimbangan rantai makanan di laut terjaga sehingga berbagai jenis ikan lainnya berada dalam jumlah lestari. Keberadaan hiu berarti kelimpahan ikan di lautan.

Namun, ironis sekali kini hiu menghadapi ancaman kepunahan. Tidak kurang dari 100 juta ekor hiu diburu setiap tahunnya. Lebih dari 25 persen jenis hiu di dunia menghadapi ancaman tragis, yakni kepunahan. Dari 136 jenis hiu dan pari yang bisa dijumpai di Indonesia 66 persen di antaranya pun adalah jenis-jenis yang menghadapi ancaman yang sama, punah untuk selamanya.

Ancaman kepunahan hiu dipicu oleh berbagai keadaan, seperti penangkapan ikan berlebih dan tidak bertanggungjawab, adanya mata rantai perdagangan, dan tingginya permintaan pasar terhadap produk hiu serta lemahnya kebijakan perlindungan hiu.

Peraturan soal pelestarian hiu bagaimana?

Sebenarnya perlu diapresiasi, lahirnya sejumlah peraturan kebijakan perlindungan berbagai jenis hiu dalam 15 tahun terakhir. Hal ini menandakan Indonesia memiliki komitmen menjaga kelestarian sumber daya ikan di lautan. Akan tetapi, perangkat kebijakan yang ada tersebut saat ini belum kuat dan efektif.

Di lapangan dengan mudah dapat kita lihat bahwa semua jenis hiu, baik yang dilindungi maupun jenis yang sedang terancam kepunahan, bisa saja tertangkap ataupun sengaja menjadi target penangkapan.

Pendekatan perlindungan jenis hiu tanpa didukung oleh keterwakilan perlindungan habitat penting bagi hiu juga jelas tidak menyelesaikan masalah ini. Sebab, dapat mengakibatkan eskploitasi hiu terus berlangsung secara berlebihan dan menjadi semakin sulit dikendalikan.

Sebenarnya masalah ini sangat serius karena saat ini Indonesia adalah salah satu pemasok utama sirip hiu, bagi pemenuhan permintaan di pasar global. Prestasi buruk sebagai pemburu dan pembunuh hiu terbesar dunia ini tentu tidak patut dibanggakan apalagi dipertahankan.

Apa tuntutan Greenpeace?

Kita harus membalik prestasi buruk tersebut dengan sebuah keberanian dan keteladanan. Indonesia perlu melindungi hiu dan habitat penting hiu di lautan lebih kuat lagi dari sebelumnya.

Agar perubahan itu terjadi, kita perlu mengingatkan dan mendukung pemerintah memperkuat kebijakan perlindungan hiu, di antaranya dengan cara segera melakukan penghentian ekspor dan impor sirip hiu, daging hiu, dan bagian tubuh hiu lainnya. Hal lainnya yang perlu didukung adalah memprioritaskan pendekatan perlindungan habitat penting bagi hiu dalam skala luas.      ed: Hafidz Muftisany

***

Menelusuri Asal Usul Ikan

Masyarakat perlu paham asal-usul ikan dan bagaimana ikan yang mereka konsumsi ditangkap. Kesadaran ini dinilai akan menumbuhkan kepedulian masyarakat soal pelestarian ikan konsumsi di Indonesia.

Pengampanye Laut Greenpeace Indonesia, Arifsyah Nasution mengatakan, total produksi ikan laut Indonesia mencapai satu juta ton per tahun. Dari jumlah itu, konsumsi dalam negeri disebut tetap stabil di angka 70 persen per tahunnya.

Arif menjelaskan, sekitar 30 persen hasil ikan per tahun menjadi konsumsi pasar ekspor. Jumlah tersebut didominasi kelompok ikan jenis  TCT (Tuna, Cakalang, Tongkol), seperti tuna sirip kuning (yellowfin), tuna mata besar (Bigeye), tuna albakora (Albacore),  cakalang (Skipjack), lisong (bullet tuna), tongkol krai (frigate tuna), tongkol komo (kawakawa), dan tongkol abu-abu (longtail tuna).

"Sementara itu, ada sekitar 70 persen konsumsi tuna untuk pasar dalam negeri. Persentase konsumsi dalam negeri ini cenderung tetap, sedangkan konsumsi pasar ekspor ada kecenderungan bertambah," ujar Arif kepada Republika, Senin (21/11).

Kedua pasar sama-sama memanfaatkan tuna dalam bentuk kalengan. Sementara itu, merujuk kepada proses penangkapan yang masih banyak menggunakan rumpon dan bom ikan, maka pemerintah perlu menjaga ketahanan pangan dari dua sisi.

Pertama, menurut dia, pemerintah diharap konsisten menjalankan aturan pembatasan penggunaan rumpon. Berdasarkan Keputusan Menteri  KKP Nomor 107/2016, Indonesia sudah memiliki Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP)  Tuna, Cakalang, dan Tongkol (TCT) sebagai rangkuman rencana aksi untuk memastikan Perikanan Tuna di Indonesia berkelanjutan.

Kedua, pemerintah harus menyosialisasikan konsumsi berwawasan kelangsungan sumber daya ikan. Masyarakat berhak mengetahui asal ikan yang dikonsumsi.

"Masyarakat berhak tahu dari mana ikan didapatkan, dengan cara apa penangkapannya. Ini penting agar wawasan masyarakat tentang menjaga keberlangsungan sumber daya ikan terbentuk," ujar Arif.

Saat ini kesadaran masyarakat tentang konsumsi ikan berwawasan kelanjutan sumber daya sudah mulai ada. Hal itu tampak dari mulai adanya individu yang langsung membeli ikan dari nelayan.

Jika hal ini didorong dengan sosialisasi pemerintah, pihaknya yakin kesadaran masyarakat semakin bertambah. Selain itu, sosialisasi juga perlu dilakukan oleh pihak produsen pengalengan ikan.

Greenpeace Indonesia menyarankan ada satu sistem informasi yang bisa diakses oleh konsumen. Melalui sistem ini, produsen dapat memberi tahu asal dan sistem penangkapan ikan.

Informasi dapat diketahui dari barcode yang tercantum di kaleng kemasan ikan. Dari kaleng tersebut konsumen dapat mengonfirmasi kepada produsen lewat call center yang tersedia.  "Di pabrik sebaiknya ada sistem terpadu untuk penelusuran data asal-usul ikan. Kami mendorong sistem ini diberlakukan hingga dapat diterapkan secara penuh pada 2020 mendatang," kata Arif.         Oleh Dian Erika Nugraheny, ed: Hafidz Muftisany

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement