Rabu 26 Oct 2016 18:00 WIB

Aidul Fitriciada Azhari, Ketua Komisi Yudisial: Ingin Optimalisasi Wewenang

Red:

Komisi Yudisial adalah anak kandung Reformasi. Digagas pada 1999, Komisi Yudisial lantas dikukuhkan sebagai lembaga negara melalui amandemen ketiga UUD 1945 pada 2001. Selain mengusulkan pengangkatan hakim agung, Komisi Yudisial bertugas menjaga kehormatan, keluhuran, martabat, serta perilaku hakim.

Sebagai komisi pengawas hakim, masyarakat memercayakan laporan soal tingkah laku para hakim ke Komisi Yudisial. Tetapi, berbagai kasus yang membelit para hakim seolah tak pernah surut. Komisi Yudisial pun menginginkan penguatan pada wewenang yang dimilikinya saat ini. Apa saja keinginan penguatan wewenang Komisi Yudisial? Berikut pemaparan Ketua Komisi Yudisial Aidul Fitriciada Azhari saat berkunjung ke Republika, beberapa waktu lalu.

Bagaimana tingkat laporan masyarakat ke Komisi Yudisial?

Dari Januari hingga Agustus 2016 Komisi Yudisial menerima 1.092 laporan masyarakat dan 1.257 surat tembusan. Jumlah ini hampir sama dengan laporan masyarakat pada periode Januari-31 Agustus 2015, yakni 1.052 laporan dan 1.242 surat tembusan.

Jenis perkara yang banyak diadukan dalam laporan masyrakat adalah perdata 49 persen, pidana 29 persen, tata usaha negara delapan persen, tipikor tujuh persen, pengadilan agama tiga persen, pengadilan hubungan industrial tiga persen.

Adapun yang menarik adalah jenis pidana tipikor. Meski hanya berjumlah tujuh persen dari total laporan masyarakat yang masuk, jumlah laporan mengalami peningkatan yang cukup signifikan dibanding tahun lalu. Pada periode Januari-31 Agustus 2015 rekapitulasi penerimaan perkara tipikor hanya berjumlah 17. Sementara, pada periode 2016 hingga Agustus berjumlah 74 laporan. Laporan ini berasal dari pelapor, LSM, informasi, hingga penghubung.

Kalau daerah yang paling banyak dilaporkan soal dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim (KEPPH) tertinggi masih DKI Jakarta. Lalu disusul Jawa Timur, Sumatra Utara, Jawa Barat, dan Jawa Tengah.

Tindak lanjut pelaporannya bagaimana?

Komisi Yudisial dalam menjalankan salah satu wewenangnya untuk menjaga dan menegakkan pelaksanaan KEPPH. Kami menyampaikan usulan penjatuhan sanksi terhadap hakim terlapor yang melanggar KEPPH kepada MA berupa rekomendasi. Rekomendasi ini berupa sanksi ringan sedang dan berat. Sepanjang Januari hingga Agustus, KY sudah mengeluarkan usul penjatuhan sanksi kepada MA sebanyak 28 sanksi untuk 43 hakim.

Jika rekomendasi sanksinya berat, KY dan MA menggelar Majelis Kehormatan Hakim (MKH). MKH ini forum pembelaan diri bagi hakim yang direkomendasikan KY untuk dijatuhi sanksi berat. Sidang MKH ini dijalankan berdasarkan peraturan bersama dengan MA. Sejak pertama kali sidang MKH pada 2009, KY sudah melaksanakan 45 kali sidang.

Rekomendasi sanksi masih sedikit dibanding jumlah laporan?

Komisi Yudisial tidak memiliki kewenangan eksekutorial terhadap hasil rekomendasi. Kewenangannya ada di Mahkamah Agung. Kalau kita lihat berkaitan dengan pemberhentian dalam hal ini MKH itu bersamaan diserahkan berdua dengan MA. Soal ini kita setuju. Karena sebenarnya kita menghindari pemberhentian hakim itu.

KY itu tidak hanya soal mengawasi hakim. Seolah-olah mencari-cari kesalahan hakim. Hal yang sering dilupakan KY harus melindungi dan menjaga martabat hakim atau atau bahasanya advokasi hakim. Dalam diskusi dengan Ketua MA kita pernah bahas sebaiknya bukan pemberhentian, melainkan permohonan kepada yang bersangkutan agar mengundurkan diri sehingga tidak menjatuhkan martabat hakim.

Namun, di luar soal pemberhentian, sebaiknya memang rekomendasi KY lebih bersifat eksekutorial. Tapi, ini baru gagasan KY. Nanti terserah bagaimana pemerintah dan DPR.

Sifat rekomendasi ini pertanyaan besar soalnya sifatnya tertutup. Para pihak ada yang datang ke kami minta salinan rekomendasi. Pernah ada yang sampai gebrak-gebrak meja. Kita jawab tidak bisa ini rekomendasi sifatnya tertutup, sementara putusannya di MA. Bahkan, rekomendasi ini hanya ketua MA yang bisa buka. Nah, kalau putusan KY bisa eksekutorial ini justru membantu para pencari keadilan bisa memberikan kepastian hukum.

Kapan MA memutuskan? Kepastian hukumnya tidak ada. Di (komisioner) periode kami menetapkan penyelesaian 60 hari. Bayangkan selesai di kami 60 hari masuk di MA bisa lama. Sementara, para pihak tahunya kamilah yang memutuskan. Bukan, kami hanya merekomendasikan. Silakan datang ke MA. Itu problem karena menjadi tidak efisien.

Kalau untuk pemberhentian martabat hakim harus bersamaan MKH. Misal, yang lainnya soal misconduct, beri kewenangan kepada kami. Kami tidak mengambil alih, tapi memberikan kepastian hukum. KY tugasnya menyeimbangkan antara kemandirian peradilan dan akuntabilitas peradilan. Ini juga bukan penambahan wewenang, melainkan lebih ke optimalisasi.

RUU Jabatan Hakim angin segar bagi KY?

Ya, Rancangan UU Jabatan Hakim kemarin sudah disahkan dalam sidang paripurna jadi RUU Jabatan Hakim menjadi inisiatif DPR. Saya kira 60 hari harus diserahkan ke Kemenkumham untuk disusun daftar inventarisasi masalah (DIM).

Apa yang menjadi poin penting dalam RUU Jabatan Hakim, kita di KY ingin transformasi dari sistem peradilan yang berlaku di Indonesia menjadi sistem yang lebih terbuka. Sejak tahun 1999 gagasan soal pemisahan eksekutif dan yudisial semakin kuat seiring runtuhnya Orde Baru dan itu melahirkan melahirkan gagasan one roof system, sistem peradilan dengan satu atap. Nah, sekarang sudah berlangsung 15 tahun.

One roof system ini salah satu poin pokoknya adalah pengalihan semua kewenangan yang semula dimiliki eksekutif menjadi terintegrasi dalam satu atap di bawah MA. Dengan demikian, MA memegang kekuasaan yudisial, yakni memeriksa mengadili dan memutus perkara juga kekuasaan birokrasi di dalamnya.

Ini sering menimbulkan beban birokrasi sangat besar di lingkungan peradilan. Bukan rahasia umum hakim disibukkan dengan urusan birokrasi. Apalagi, birokrasi semacam absensi, finger print, dan lainnya itu.

Akhirnya dengan beban administrasi model birokasi itu, saya kira jadi berat bebannya. Kemudian kita lakukan komparasi dengan negara lain muncul konsep shared responsibility. Jadi, dalam hal ini kita melihat one roof system terbuka dalam pembagian tanggung jawab.

Dalam konteks itu, maka kita berharap salah satu yang kita tekankan dalam RUU Jabatan Hakim adalah perubahan besar, terutama dalam transformasi dari satu atap jadi pembagian tanggung jawab.

Model komisi yudisial di dunia seperti apa?

Di dunia itu ada dua model organisasi besar Komisi Yudisial, yakni model Eropa dan Amerika. Di Amerika namanya judicial commision, sementara di Eropa judicial council dewan yudisial. Di AS terbatas pada seleksi hakim dan penegakan kode etik. Di Eropa lebih luas manajamen hakim yang lebih luas.

Kalau kita lihat fungsi-fungsi itu, KY ke depan wenenangnya tak tradisional seperti di Amerika, tapi lebih luas dan sebenarnya sudah sangat luas. Selain seleksi hakim dan pengawasan ada KY bertugas advokasi, peningkatan kesejahteraan hakim melakukan analisis terhadap putusan-putusan yang inkracht.

Kalau kita lihat di Austria, Belgia, Prancis, Jerman, dan negara-negara Eropa muncul konsep shared responsibility. One roof system sudah mulai ditinggalkan. Ini kecenderungan global. Di Belanda anggaran sepenuhnya dikelola oleh dewan yudisial.  Kalau di sini mungkin bisa jadi satu setengah sistem bukan dua. Satu setengah ini konsepnya Pak Sofian Efendi, ketua KSN. Anggaran murni dipegang MA, tapi soal kepegawaian, pengawasan, dan administrasi dibagi.

Kalau kita konstruksikan sekali lagi kalimat pengawasan dan kode etik, di sana masuk menjadi bagian dari manajemen hakim. Dalam pemahaman KY, untuk membedakannya sangat sederhana. MA dia memiliki kewenangan dalam manajemen perkara, termasuk memutus perkara. Setiap hakim harus punya kapasitas to manage and decide case. Dalam soal ini masuk ke manajemen perkara. KY lebih fokus pada manajemen hakim.

Kerja sama dengan penegak hukum bagaimana?

Kerja sama dengan lembaga penegak hukum sudah. Kerja sama dengan KPK dengan LPSK, PPATK, dan sekarang baru kemarin ketemu kepolisian berkaitan dua hal. Pertama, penguatan kewenangan menyadap. Di undang-undang, KY dapat meminta penyadapan kepada aparat penegak hukum, dalam hal ini kepolisian, dan di ayat selanjutnya aparat hukum wajib memenuhi permintaan tersebut. Kita akan bikin MoU, sejauh ini pihak kepolsiian bersedia merespons baik. Sebab, pada akhirnya kepolisian sangat berkepentingan dengan hakim yang bersih.

Proses hukum yang dimulai dari kepolisian kalau ujungnya di pengadilan tidak mewujudkan keadilan, polisi kan juga kena getahnya. Kedua, soal intelijen, kita butuhkan penguatan intelijen. KY tidak seperti mahkamah, tapi lebih mirip KPK, di dalamnya ada tim investigasi terhadap kasus kasus dugaan pelanggaran. Melakukan investigasi itu membutuhkan keahlian. Termasuk menghadirkan saksi. Sedang kita bicara dengan kepolisian.

Kalau dengan KPK sudah ada kerja sama. Ada kasus di Semarang dan Bandung kita punya informasi ini sudah bukan ranah etik sudah ranah pidana kita serahkan ke KPK dan kita lakukan tindakan hukum bersama. Koordinasi ini sering luput mungkin dua-duanya komisioner baru.     ed: Hafidz Muftisany

***

Godaan Hakim Bermacam-macam

Salah satu wewenang Komisi Yudisial adalah menjaga dan menegakkan pelaksanaan kode etik dan pedoman perilaku hakim. Tetapi, laporan masyarakat terkait perilaku hakim yang diduga menyalahi kode etik semakin tinggi. Menurut data penanganan laporan masyarakat, ada empat pelanggaran yang mendominasi dalam sidang Majelis Kehormatan Hakim (MKH) sejak 2009.

Urutan tertinggi adalah penyuapan, diikuti memainkan putusan, lalu perselingkuhan, dan terakhir indisipliner. Ketua Komisi Yudisial (KY) Aidul Fitriciada Azhari mengungkapkan, perselingkuhan memang menjadi satu masalah pelik dalam pengawasan para hakim.

Aidul mengaku KY tidak bisa 24 jam mengawasi seorang hakim. Khusus soal perselingkuhan, Aidul mengatakan, memang harus dilihat apa penyebab seorang hakim melakukan hal tersebut. Menurutnya, bisa jadi problem keluarga terpisah dalam waktu yang lama. Lalu dari segi kesejahteraan seperti perumahan yang tidak layak dan tunjangan kesehatan. "Kasus selingkuh memang banyak dilaporkan, bahkan paling banyak selain penyuapan yang diberi sanksi," ujar Aidul selepas bedah buku Komisi Yudisial di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Aidul mengakui, berita perselingkuhan hakim yang muncul di media hanya sebagian kecil yang terlihat. Aidul sepakat jika perbuatan para hakim yang terlibat perselingkuhan menjatuhkan martabat para hakim. "Itu merendahkan martabat hakim. Harusnya diberi peringatan, tapi di sisi lain kita melihat harus kita terlusuri penyebabnya, salah satunya keterpisahan keluarga," kata Aidul memaparkan.

Ia mengemukakan, seorang hakim yang terpisah dari keluarganya seperti memiliki tiga rumah tangga. Pertama, dirinya sendiri, kedua istri yang ditinggal, dan ketiga anak jika sudah kuliah dan terpisah dari orang tua. "Bayangkan ada hakim jauh di Gorontalo istrinya di Bandung. Gaji hakim berapa sih untuk membiayai pulang pergi, paling enam bulan sekali ketemu," ungkap dia.

Ia menyebut, kondisi geografis di Indonesia menyulitkan seorang hakim yang bertugas di daerah bisa berkumpul dengan kelurga. Ia mengusulkan pola rotasi berdasarkan zonasi untuk mengurangi kecenderungan pelanggaran tersebut. "Kita bicarakan pola rotasi, misalnya, rotasinya dalam satu zona saja. Kalau Sumatra, ya Sumatra saja. Kita tak ingin menyalahkan hakim saja, tapi kita lihat pola rotasi jadi masalah sendiri," ujarnya.

Selain selingkuh, dugaan penyuapan juga kerap menimpa para hakim. Aidul mengatakan, jika ranahnya suap, hal itu menjadi ranah pidana. KY, kata Aidul, juga akan menindaklanjuti perkara tersebut dalam ranah etik. "Kalau disebut suap, itu ranah pidana, silakan aparat penegak hukum. Meskipun begitu, tetap kita periksa secara etik," kata dia.

Aidul mengakui, laporan dugaan suap hakim memang banyak masuk ke KY. Tetapi, laporan yang masuk juga mesti diperiksa kebenarannya. "Saksinya mana, buktinya mana. Kita tindaklanjuti meski tidak berarti terbukti," ujar dia.   Oleh Hafidz Muftisany

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement