Rabu 28 Sep 2016 18:00 WIB

Prof Euis Sunarti, Guru Besar Departemen Ilmu Keluarga Institut Pertanian Bogor (IPB): Bahaya Laten Mengancam Keluarga

Red:

Hampir separuh keluarga di Indonesia mendapat ancaman laten tak bisa menjalankan fungsinya dengan baik. Keluarga belum dilihat sebagai acuan dasar pengambilan keputusan strategis oleh negara. Akibatnya, beragam masalah keluarga menunggu di hilir. Salah satunya, keluarga terkena dampak risiko perbuatan asusila, seperti perzinaan dan pemerkosaan. Lingkungan kurang kondusif untuk keluarga ini membuat guru besar Departemen Ilmu Keluarga Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Euis Sunarti, tak tinggal diam. Beragam aksi untuk memperjuangkan nilai keluarga ia lakukan. Salah satunya, lewat uji materiil pasal kesusilaan di KUHP. Apa saja buah pemikirannya? Berikut tuturan lengkapnya kepada wartawan Republika, Hafidz Muftisany, beberapa waktu lalu.

Apa saja bentuk ancaman terhadap keluarga?

Bicara ancaman sebenarnya ada kerentanan, ada ancaman, ada keterpaparan, dan risiko. Risiko paling tinggi yaitu kehancuran keluarga, keluarga retak ditunjukkan dengan perceraian atau tidak cerai. Namun, kehidupan tidak berkualitas penuh persoalan. Berbagai masalah kecil hingga besar, seperti perselingkungan, terjangkit HIV, dan lain-lain, menyebabkan fungsi keluarga tidak berjalan.

Bahaya laten adalah tidak ada jaminan dari negara untuk keluarga dalam menjalankan fungsi dan tugasnya. Menurut data, dari 66 juta keluarga di Indonesia 43 persennya atau 28,5 juta keluarga masuk kategori prasejahtera dan Keluarga Sejahtera Tingkat I (KS I). Mereka baru bisa makan tiga kali sehari dan hanya memenuhi kebutuhan yang paling dasar. Untuk kebutuhan pendidikan, lebih mengandalkan subsidi. Kemampuan keluarga ini sangat rendah, apalagi untuk berkembang, tidak bisa.

Apakah kita bisa mengharapkan yang 43 persen ini bisa menjalankan peran sebagai institusi pembangun masyarakat yang berkualitas dan mayarakat madani? Tidak bisa. Maka, peran pemerintah sangat sentral. Pemerintah harus menjamin keluarga mampu menjalankan fungsi dan perannya.

Belum menghitung yang Keluarga Sejahtera Tingkat II (KS II). Sehingga, sebenarnya lebih dari 50 persen (keluarga) tidak mampu mengontrol dirinya, sehingga butuh bantuan dari luar, dalam hal ini pemerintah. Keluarga ini hanya fokus kepada pemenuhan dasar, sehingga fungsi lain, seperti mengasuh anak dan menjalankan fungsi agama semakin tidak bisa, sebab semua energi tumpah untuk memenuhi kebutuhan pokok.

Ini ancaman awal, keluarga tidak bisa menjalankan fungsinya dan pemerintah tak bisa menjamin itu, maka akan muncul masalah lain. Ketika suami istri bekerja karena tidak punya pilihan. Akibatnya, dengan bekerja penuh pagi hingga malam, Sabtu dan Ahad lembur, maka fungsi lain yang sama pentingnya tidak bisa dilaksanakan. Sekadar melindungi anak dari lingkungan yang tidak baik pun tidak bisa. Kenapa ada kasus prostitusi gay, karena keluarganya bersikap abai, ketidakmampuan, dan sistem yang ada tidak memungkinkan keluarga menjalankan fungsinya yang paling dasar.

Saat , semakin sulit keluarga untuk sejahtera. Dahulu, kepala keluarga guru SD, kerja jam 7 hingga jam 1 pulang, itu bisa meng-cover istri dan dua anaknya sampai SMA. Kalau sekarang, kepala keluarga guru SD tanpa istri bekerja tidak bisa meraih fungsi itu. Suami dan istri sudah bekerja, tapi kok tidak sejahtera? Ada yang tidak beres dengan kebijakan pemerintah.

Akibatnya, yang lain terabaikan, sehingga mengajarkan anak memiliki keterampilan hidup atau sekadar kemampuan dasar yang memerlukan pendamping tidak bisa. Sekarang, energi orang tua sudah habis. Mengajari anak mana yang pantas dan mana yang tidak oleh generasi penerus sudah mulai memudar. Lantas, bagaimana keluarga bisa melindungi anak?

Untuk saat ini, keluarga yang mau belum tentu bisa melindungi, apalagi keluarga yang tidak memiliki kapasitas. Banyak anak yang tidak tahu cara hidup. Hal ini bisa menurunkan peradaban. Kalau tidak segera menguatkan keluarga yang tidak berdaya ini, maka akan muncul ancaman lain. Sekarang muncul anak-anak yang tidak mampu mengatakan tidak untuk rokok, mabuk, dan kongkow tidak bermanfaat, sehingga peluang bahaya siap muncul.

Berbagai masalah moral diakibatkan ketidakmampuan keluarga memenuhi kebutuhan dasar?

Pasti. Ditambah lingkungan eksternal tidak kondusif yang meningkatkan kerentanan, sehingga terpapar risiko. Risiko itu rumusnya kalau kapasitas rendah, keterpaparan tinggi ya, pasti risiko juga tinggi. Anak-anak yang terpapar risiko ini sudah tinggi sekarang. Bayangkan sekian tahun ke depan bagaimana me-/recovery-nya? Apalagi kalau sudah rusak.

Apakah makna keluarga dalam masyarakat modern mengalami pergeseran?

Iya ada, tapi seberapa besar? Kita tak punya data yang memadai. Salah satu kritik saya terhadap pembangunan keluarga ini adalah setengah hati. Bagaimana bisa membangun keluarga dengan roadmap yang jelas, jika tak punya data yang jelas

Di kita, lembaga yang menjadi leading sector pembangunan keluarga, misalnya BKKBN. BKKBN itu ingin mencapai beyond family. Namun, gerakannya dibatasi berbagai aturan yang ringkih dan sangat terbatas. Misalnya, PP Nomor 87 Tahun 2014, peran keluarga banyak diberikan ke kementerian yang tidak langsung berpengaruh terhadap entitas keluarga.

Apakah kecenderungan anak muda tak ingin membentuk keluarga sudah muncul?

Ada, tapi angkanya masih kecil. Mayoritas masih menginginkan hidup normal berdua, memiliki anak, tapi mereka tidak tahu caranya bagaimana. Ada anak muda yang takut berkeluarga, tapi masih ada nilai sehingga mereka tetap ingin berkeluarga.

Memang belum ada penelitian khusus tentang ini. Namun, ada pengamatan dari penelitian terpisah-pisah. Mayoritas masih ingin membentuk sebuah keluarga. Hanya segelintir yang memilih tidak berkeluarga.

Namun, bagaimana gambaran menjalaninya masih meragukan. Generasi muda banyak yang tidak memiliki kemampuan dan kesiapan. Sebab, mereka banyak mendapat gambaran contoh-contoh keluarga yang tidak mampu berkomitmen.

Dahulu, ramai uji materiil di Mahkamah Konstitusi (MK) tentang menaikkan usia pernikahan. Kemudian, muncul perdebatan. Semua orang tentu menginginkan orang yang menikah memiliki kesiapan yang lebih baik. Namun, sekarang anak-anak cepat akil balig, pertumbuhan mereka lebih cepat. Kemampuan untuk berhubungan seksual sudah cepat. Ada tuntutan harus menunda menikah lebih lama karena usia menikah ditingkatkan, di sisi lain dia terpapar yang menggoda dia untuk tidak selamat. Jika ingin meningkatkan usia pernikahan, harus menjamin anak-anak punya lingkungan yang selamat, bisa menjamin tidak?

Jika saya punya anak, tahu akan tidak selamat di lingkungan lebih baik dinikahkan lebih awal. Kontrol pengambil kebijakan untuk bisa menjamin keluarga yang memiliki ketahanan harus ditingkatkan. Orang tua tidak punya waktu untuk sekadar melindungi dan mengajari anak menghadapi situasi

Anak-anak sekarang membesarkan dirinya lebih awal, banyak yang lonely crowd. Saya melakukan penelitian tahun 2015 di Bogor, sudah tampak kerusakan anak karena orang tua yang tidak melakukan fungsinya dengan baik.

Apakah tidak adanya jaminan lingkungan yang baik, menjadi salah satu alasan melakukan uji materiil pasal kesusilaan di KUHP?

Betul sekali, kalau mau melindungi generasi tidak bisa diam. Lingkungan harus diciptakan, tidak bisa mengharapkan begitu saja. Apalagi, soal LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender), perzinaan, dan pemerkosaan datanya sudah sangat mengkhawatirkan. Ada temuan data perzinaan luar biasa. Ada satu desa di Ciamis, angka perselingkuhannya mencapai 70 persen warga. Itu desa yang jauh dari kota. Hubungan seks bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja. Maaf, melihat ada yang mandi di sungai bisa dilakukan di sana.

Kerusakan di masyarakat sudah terjadi, kita tidak bisa diam, apalagi LGBT berjuang membenarkan haknya. Mungkin keluarga saya masih selamat, tapi keluarga sekitar mungkin tidak selamat. Kita tidak bisa melihat hanya keluarga sendiri. Jika keluarga-keluarga lain terpapar maka akan memberikan pengaruh juga terhadap keluarga kita.

Di Bogor angka lelaki suka lelaki (LSL) pada Juni 2015 sebanyak 6.600. Pada bulan Februari 2016 sudah 8.000 hanya di 10 kecamatan di Kabupaten Bogor. Di sana by name by address bisa dibayangkan riilnya. Itu data orang yang mendapatkan layanan HIV AIDS. Belum lagi yang tidak terdaftar, belum pasangannya atau korbannya, prediksinya bisa dua kali lipat. Coba saja, jika angka ribuan dikalikan dua di satu wilayah yang kecil di 10 dari 40 kecamatan. Apa kita tak melihat ini sebagai ancaman? Seberapa peka kita melihat ini sebagai ancaman. Lajunya sangat tinggi, apalagi dihitung eksponensial, satu titik mungkin sangat banyak.

Kita ingin memiliki keluarga sakinah mawadah warahmah. Anak-anak bisa tumbuh baik. Jika kita cuek, diam terhadap lingkungan yang seperti ini, ya tidak bisa. Lingkungan harus kita perjuangkan. Mungkin yang berjuang cukup sedikit, tapi yang sedikit ini butuh dukungan dari sebanyak mungkin orang.

Bagaimana soal argumen pemohon tidak menderita kerugian secara langsung?

Kami yang mewakili, memang alhamdulillah tidak ada yang terkena pemerkosaan atau perzinaan. Kalau kerugian ya kami dirugikan. Kami merasa cemas dan terintimidasi. Kami rugi karena menderita ketidaknyamanan dengan perkembangan fenomena yang ada sehingga tidak tenang hidup ini. Ada kemungkinan keluarga kita akan terdampak, apakah itu bukan kerugian?

Kami merasa terintimidasi karena lembaga yang kita harapkan melindungi mayoritas masyarakat Indonesia, justru berpretensi melindungi yang kita anggap merugikan. Mereka berdalih melindungi yang minoritas, lalu bagaimana dengan mayoritas? Tentu jauh lebih berhak dilindungi.

Kami jelas terintimidasi. Fenomena ini bukan menyebar begitu saja. Ini gerakan kok, jelas ada dokumennya, ada strategi, ada sasaran masuk ke lembaga negara, dan memiliki pendampingan hukum yang kuat. Didukung hampir 150 organisasi. Bayangkan, itu besar sekali tidak main-main. Bagaimana kita tidak terintimidasi? Itu kerugian yang langsung dirasakan.

Konstitusi menjamin rasa aman warga negara. Jika rasa aman itu sudah tercabut maka itu kerugian. Sekarang, rasa aman sudah tercabut. Kalau kita punya anak perempuan, dengan membaca di media-media soal pemerkosaan, perzinaan, dan sebagainya. Mereka belum pulang saat azan Isya kita sudah deg-degan. Itu kerugian langsung.

Sejauh mana kebijakan negara boleh masuk ke dalam institusi keluarga?

Adanya UU KDRT adalah intevensi pemerintah. Jadi, tergantung tujuan dan metodenya. Selama bisa menimbulkan kemaslahatan dan dengan cara proporsional. Soal imbauan KB, misalnya. Keputusan punya anak atau tidak. itu kan keputusan paling dasar seseorang. Namun, dengan imbauan KB, orang-orang merasa bersalah jika punya anak ketiga. Itu sebenarnya juga bentuk intervensi. Selama ada justifikasi dan cara yang memadai, imbauan sebagai bagian dari intervensi itu tidak masalah.

Selain uji materiil, apa yang sudah dilakukan secara pribadi?

Kita lakukan advokasi ke pengambil kebijakan di kementerian, lembaga negara yang relevan, kemudian mempersiapakan SDM untuk mengisi itu di kampus, lalu ke masyarakat melalui pembinaan. Ya, menjalankan Tri Darma, melakukan kajian dasar, pengambilan rekomendasi dijadikan advokasi ke kementerian lembaga, serta pendidikan menyiapkan generasi penerus dan wawasan yang baik dan pengabdian.

Di Jawa Barat saya mengawal perda untuk pembangunan ketahanan keluarga. Itu mungkin satu-satunya perda di tingkat provinsi yang mengatur keluarga. Dalam perda tersebut, ada nilai yang lebih tinggi dari UU atau permen, sebab di sana saya masukkan keluarga sebagai basis kebijakan publik. Jadi, semua SKPD harus memerhatikan keluarga saat mengeluarkan programnya, jangan sampai ada program ketahanan keluarga ada juga yang melemahkan keluarga. 

***

Satu-satunya Guru Besar Ilmu Keluarga 

Indonesia kekurangan ahli keluarga. Akademisi di bidang ilmu keluarga juga tak banyak. Bahkan, Indonesia hanya punya satu guru besar di bidang ketahanan dan pemberdayaan keluarga. Sosok itu adalah Prof Euis Sunarti.

Euis menjelaskan, ilmu keluarga di Indonesia masih dipandang sebelah mata. "Di negara-negara berkembang, ilmu soal keluarga belum menjadi ilmu sains," kata Euis kepada Republika beberapa waktu lalu.

Di luar negeri, kata dia, ilmu soal keluarga masuk dalam jajaran keilmuan yang diakui. Penerapan ilmu keluarga juga berkelindan dengan berbagai disiplin ilmu. Kajian ilmu keluarga mencakup ilmu sosiologi, antropologi, dan ekonomi dalam institusi bernama keluarga.

Dia menyebutkan, hanya Institut Pertanian Bogor (IPB) yang memiliki departemen khusus yang mempelajari soal keluarga. Awalnya, departemen ini dibentuk pada tahun 70-an yang fokus kepada peningkatan kesejahteraan petani dan nelayan. "Saat itu belum menjadi sains, kini sudah fokus mempelajari soal keluarga," kata wanita yang menjadi dosen IPB sejak tahun 1987 ini.

Menurut Euis, seharusnya banyak universitas yang mengembangkan ilmu keluarga sebagai ilmu sains. Sebab, di dalamnya terdapat peran keluarga dalam pengambilan sebuah kebijakan negara. "Ada family sciences. Ilmu ini mungkin dianggap tidak prospektif, kesannya belajar di sini hanya jadi ibu rumah tangga. Padahal tidak," katanya.

Masih minimnya ahli dan ketertarikan kepada ilmu keluarga, Euis mengakui, berdampak terhadap pembangunan yang meninggalkan keluarga sebagai subjek. Idealnya, kata dia, di Bapennas atau Bappeda ada satu orang ahli keluarga. Sehingga bisa mengharmonisasikan kebijakan yang mendukung fungsi keluarga di lintas kementerian. "Pembangunan keluarga di Indonesia setengah hati," ujarnya mengkritik.

Sebenarnya Indonesia adalah negara yang memiliki kebijakan keluarga secara eksplisit. Bagi Euis ini kelebihan, mengingat banyak negara yang tidak memiliki kebijakan yang eksplisit seperti undang-undang (UU) yang mengatur soal keluarga. "Masalahnya yang tidak punya UU lebih care soal keluarga dibanding kita. Jadi, lebih baik mana?" ujarnya.

Ia mencontohkan, pembahasan soal keluarga tidak masuk ke kementerian yang bersinggungan dengan ekonomi, seperti Kemenkeu, Kementerian Koperasi, atau Kementerian Pertanian. Padahal, kata dia, keluargalah yang paling terkena dampak dari kebijakan ekonomi yang kurang berjalan baik.

Menjadi guru besar ilmu keluarga bukan berarti menjadikan keluarga Euis penuh dengan aturan. Ibu dari empat anak ini mengaku menerapkan asas demokrasi kepada anak-anaknya. Menurut dia, anak-anaknya mendapatkan hak bersuara. Meskipun untuk hal-hal yang besar orang tua punya peran dan otoritas untuk memberikan arahan.

Meski aktivitasnya sebagai akademisi dan aktivis menggunung, ia selalu mewajibkan diri mengajari anak-anaknya membaca Alquran. Berkolaborasi dengan sang suami, Euis ingin memastikan nilai-nilai agama diajarkan oleh orang tua, bukan diserahkan kepada orang lain. "Selepas itu, setelah kurikulum sekolah Islam lebih baik bisa kita lepas. Tapi untuk dasar kita yang handle dengan suami," katanya.  Oleh Hafidz Muftisany 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement