Kamis 07 Jan 2016 17:00 WIB

Kisah Guru Tunanetra Berbagi Ilmu

Red:

Muhammad Soleh (37 tahun) merapikan reglet berwarna biru miliknya. Ia memasukkan alat untuk menuliskan huruf braille (sistem tulisan sentuh yang membantu tunanetra membaca) itu ke dalam tas hitam yang disandangnya.

Kegiatan belajar mengajar di SLB ABCD Sejahtera, Gunung Batu, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, telah berakhir. Namun, Soleh, tunanetra yang sejak 2009 telah mengajar di sana, masih berada di sekolah untuk rapat bersama kepala sekolah dan staf pengajar lain.

"Jam belajar mengajar kami pukul 07.30 sampai 14.00 WIB," kata Soleh kepada Republika saat ditemui di sekolah tersebut, Rabu (6/1).

Soleh adalah sarjana teologi Islam lulusan Universitas Islam Bandung tahun 2005. Ia diperbantukan menjadi pengajar di SLB Sejahtera oleh Kementerian Agama setelah mengambil Akta 4 sebagai persiapan menjadi guru.

Meski latar belakang pendidikannya terkait perbandingan agama, Soleh tetap mengajar materi umum sekolah dasar (SD). Tahun ini Soleh mengajar kelas 3 SD yang hanya berisi satu siswa difabel netra bernama Azril.

Sebelumnya, Soleh juga mengajar tingkat akhir SD, SMP, dan SMA di sekolah yang sama. Sebanyak 101 siswa dalam 18 kelas di SLB ABCD Sejahtera dikategorikan berdasarkan kebutuhannya: klasifikasi A tunanetra, B tunarungu, C tunagrahita, dan D tunadaksa.

Pria kelahiran Jakarta itu mengajarkan materi yang sama dengan kurikulum di sekolah konvensional. Hanya, cara yang digunakan disesuaikan dengan kebutuhan khusus yang dimiliki anak.

Soleh yang siang itu mengenakan kemeja merah marun mengatakan, siswa yang kini ia ajar termasuk kategori low vision atau kurang awas. Artinya, muridnya masih dapat melihat walau tak sempurna. "Jadi, sebetulnya bisa mengajar pakai CCTV khusus netra yang bisa memperbesar huruf," kata sulung dua bersaudara itu.

Berbeda dengan Soleh yang telah kehilangan penglihatan sejak lahir, sang siswa Azril belum lama mengalami kekurangan penglihatan. Karena itu, Soleh harus ekstra keras dan sabar mengajari bocah sembilan tahun itu cara menulis dan membaca huruf braille.

Setiap pukul 06.30 pagi, Soleh berangkat dari kediamannya di Perumahan Griya Dramaga Asri, Cinangneng, Kabupaten Bogor, menuju sekolah. Ia harus dua kali berganti angkot, dengan satu kali transit di terminal.

Soleh mengaku tak menghadapi kendala berarti selama menempuh perjalanan seorang diri. Namun, beberapa kali ia juga mengalami hal kurang menyenangkan.

Salah satunya, saat macet berkepanjangan, sopir angkot yang ditumpangi Soleh tak sabar dan ingin berputar arah. Ia meminta Soleh turun berpindah ke angkot lain tanpa menyadari Soleh tak dapat melihat.

Karena kondisi khususnya, Soleh juga tak dapat membedakan uang. Sebelum berangkat menuju dan dari sekolah, ia akan bertanya kepada orang tua dan koleganya terlebih dahulu untuk membedakan uang yang akan digunakan membayar angkot. "Zaman sekarang ukuran masing-masing pecahan uang makin mirip, saya terakhir bisa membedakan bentuk uang pada pertengahan tahun 1998," ungkapnya tergelak.

Kali lain, Soleh yang menunggu angkot pulang dan mengenakan pakaian batik berlengan panjang dikira akan berangkat memijat. Ia mafhum sebab citra umum seorang tunanetra berprofesi sebagai tukang pijat.

Padahal, kata Soleh, banyak tunanetra yang mampu berkiprah dan berkarya di segala bidang. Pria yang menempuh studi SD sampai SMA di SLB Pajajaran Bandung itu berharap, kesetaraan di Indonesia bisa membaik di masa mendatang dalam hal pendidikan, pekerjaan, dan aksesibilitas.

Misalnya, pemerintah memfasilitasi rekan difabel yang ingin masuk sekolah umum dengan memperbanyak sekolah inklusi. Pemerintah juga diminta memperbanyak buku-buku braille untuk difabel netra. "Menurut saya, kesetaraan belum sepenuhnya tercapai, apalagi dalam bidang lapangan pekerjaan yang tersedia bagi kami," kata putra pasangan Zakaria (62) dan Amalia (61).

Selama mengajar, Soleh didampingi seorang guru awas (sebutan untuk yang dapat melihat) bernama Daden Wiguna (46). Daden melengkapi pengajaran yang tak bisa diberikan Soleh.

Salah satunya, Daden mengajarkan orientasi mobilitas (OM) untuk para siswa. Orientasi itu memungkinkan siswa difabel netra mandiri tanpa bantuan dari sekitar. "Diajarkan bisa memakai tongkat, mencuci baju, menyetrika sendiri, dan kebutuhan-kebutuhan mendasar lain," kata Daden. n c34 ed: endro yuwanto

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement