Jumat 11 Jul 2014 14:21 WIB

Kritik Santun Lewat Kartun

Red:

Alunan lagu "Kopi Susu" menyesaki ruang pameran Bentara Budaya Jakarta (BBJ) sore pada awal pekan ini. Irama keroncong Melayu nan syahdu menambah temaram suasana di sudut Jalan Palmerah Selatan. Lagu itu populer pada awal ‘60-an yang dinyanyikan oleh Endah Laras, seorang seniman asal Surakarta, dengan apik. Cengkoknya meliuk-liuk bak ukiran Jepara. Tak kalah dengan penyanyi aslinya, Sandra Reemer, penyanyi Belanda kelahiran Bandung.

Endah Laras didaulat sebagai penyanyi pembuka dalam peresmian pameran lukisan-kartun bertajuk "Serangan Fajar Kartun Politik". Sebuah pameran bersama oleh kartunis kawakan Indonesia, seperti Didie SW, GM Sudarta, Jitet Koestana, Rahardi Handining, dan Thomdean.

Mereka merasa gelisah dengan nasib bangsa ini ke depannya. "Alam kita luas. Lantas, mengapa negara kita masih banyak impor?" tanya Jitet saat memberikan sambutan. Beranjak dari sana, lantas para kartunis senior ini bertemu dengan Garin Nugroho, seorang seniman yang bergerak dalam dunia seni peran. Mereka bertukar ide dan konsep sehingga lahirlah sebuah pameran kartun dengan tagline "PR Presiden Indonesia 2014 - 2019; Jurus Menertawakan Diri Menjelang Pencoblosan".

Pameran yang berlangsung sampai 13 Juli ini memamerkan 63 karya seni berupa kartun dan instalasi. "Ada beberapa karya di sini yang bukan karya baru. Ada yang sebelumnya pernah memenangi penghargaan," ujar Jitet.

Ia juga mengutarakan alasan mengapa kartun dipilih sebagai media penyampai pesan dalam pameran tersebut. Kartun selama ini dianggap rendah. "Dalam pameran ini kami ingin mengemas kartun dengan nilai lebih," ujarnya. Jitet juga beranggapan bahwa kartun dianggap media yang bagus untuk menyampaikan kritikan politik secara jenaka.

Pameran ini dibuka oleh Garin Nugroho selaku pemrakarsa atas terselenggaranya pameran. Dalam pembukaannya Garin menyampaikan harapannya agar bangsa Indonesia nantinya dipimpin oleh pemimpin yang tegas. "Tak hanya tegas saat kampanye, tapi juga tegas seterusnya saat menjabat," kata Garin.

Ia juga sempat mengutarakan keresahannya tentang kondisi pemimpin selama ini yang dianggap belum mampu "menciptakan" profesi-profesi baru. "Presiden yang bagus bisa menumbuhkan kreativitas rakyatnya sehingga menumbuhkan profesi-profesi baru. Politik itu seharusnya melindungi tumbuhnya profesi. Bukan malah, politik mematikan profesi," ujarnya menjelaskan.

Berkaitan dengan pemilihan tanggal pembukaan pameran yang tepat dua hari menjelang pilpres, kepada Republika Garin beranggapan bahwa saat ini merupakan momentum yang tepat. "Justru karena jelang pilpres, ini saat yang telat untuk menjenakakan politik. Pameran ini juga bertujuan mengingatkan kepada presiden terpilih nanti akan PR yang harus dikerjakan," kata Garin. Di setiap lukisan kartun yang dipamerkan menyampaikan PR yang harus dikerjakan oleh presiden terpilih nanti.

Pameran "Serangan Fajar" ini sepertinya menyerang pemahaman para pengunjung tentang panasnya politik di negeri ini. Di tengah hiruk pikuk pencitraan yang dilakukan kedua kandidat, kita lengah akan begitu banyaknya sisa pekerjaan yang masih banyak.

Karya yang dipamerkan paling depan, tepat setelah melewati pintu masuk, yakni dua esai karya Garin Nugroho. Esai pertama berisi tentang kegelisahan Garin dalam menjawab sebuah pertanyaan, "Apakah cirri-ciri elite politik pascareformasi?" Di dalam esai yang dicetak di atas kertas A1 itu, Garin menguraikan ciri elite politik tersebut ke dalam delapan poin.

Esai Garin yang satunya lagi mengungkapkan harapan Garin agar rakyat Indonesia memilih dengan rasional-kritis, bukan hanya karena cinta monyet dan melodramatik semata.

Melewati karya Garin tadi, kita akan dimanjakan oleh puluhan lukisan kartun yang dipajang berderet memenuhi dinding ruang pamer. Ada satu karya dari Thomdean berjudul "Ekspor Koruptor" yang menggelitik. Digambarkan seorang politisi bertubuh tambun berjas hitam yang "dimasukkan" ke kardus yang diangkut alat penganjur di pelabuhan. Di kardus tertulis "High quality corruptor".

Kardus juga disinggung dalam karya Jitet Koestana yang berjudul "Rumah Kardus". Ia menggambarkan seorang nenek tua yang memunggungi tembok rumah dari kardus sisa produk impor, seperti Mc Donalds, Dell, Samsung, dan Apple. Jitet menggambarkan bahwa masih banyak kaum marjinal yang hidup dari sampah sisa rakusnya zaman.

Melihat lukisan kartun yang dipamerkan satu per satu mungkin tak cukup satu jam. Butuh pemahaman agar setiap pesan dari para seniman tersampaikan dengan baik. Garin Nugroho pada awal pameran sempat berujar, "Tiap lukisan menyampaikan PR bagi presiden nanti. Renungkan, kita butuh presiden yang sanggup mentransformasi ruang publik yang konsumtif menjadi produktif." rep:c85 ed: dewi mardiani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement