Senin 17 Oct 2016 13:00 WIB

Rempah Nusantara, Mengubah Perjalanan Bangsa

Red:

Rempah bisa disebut sebagai salah satu saksi sejarah perjalanan panjang bangsa Indonesia. Sejarah mencatatkan rempah sebagai komoditas penting bangsa Indonesia sehingga Indonesia dikenal di kancah internasional.

Rempah pun sangat lekat dengan kehidupan bangsa Indonesia, dari dulu hingga sekarang. Masyarakat Indonesia sudah terbiasa memanfaatkan rempah untuk berbagai kebutuhan, seperti kuliner, pengobatan, ritual, sampai dengan bahan pengawet. Namun ternyata, rempah tidak hanya terlibat dalam tatanan kehidupan masyarakat Indonesia saja. Lebih dari itu, rempah juga mengubah tatanan kehidupan bangsa di dunia.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan definisi rempah, yaitu berbagai jenis tanaman yang beraroma, seperti pala, cengkih, lada, untuk memberikan bau dan rasa yang khusus pada makanan. Sejarah juga membuktikan, karena aroma itulah yang mengundang penjelajah dunia untuk mencari Indonesia.

Dari rempah pulalah kemudian terbangun hubungan dagang antarbangsa dan benua. ''Bahkan, rempah telah memicu lahirnya kolonialisme, yang mau tak mau membawa perubahan pada perkembangan peradaban dunia,'' kata Ekky Arya dari Direktorat Kelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, akhir pekan lalu.

Tentu bangsa Indonesia menyadari, kekayaan rempah-rempah telah membuat kolonialisme itu muncul. Selain menjadi berkah, adanya rempah-rempah di tanah Indonesia membuat rakyat harus merasakan pedihnya penjajahan selama berabad-abad. Sebuah ilustrasi dari Giles Milton dalam bukunya yang berjudul "Nathaniel Nutmeg", atau yang sudah dialihbahasakan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul "Pulau Run", mengatakan, "Kepulauan Banda dapat tercium wanginya sebelum pulaunya terlihat."

Berawal dari abad ke-16 saat penduduk di seluruh dunia belum mengenal rempah, lalu diperkenalkan oleh Cina dan Turki, Ekky menceritakan, Cina yang sudah aktif melakukan jual beli dengan bangsa Indonesia kemudian menjualnya ke Eropa melalui Turki. Sehingga kedua negara tersebut menjadi negara pemasok terbesar rempah pada saat itu.

Merasa sebagai negara pemasok terbesar, Cina dan Turki menawarkan harga sangat tinggi terhadap nilai jual rempah yang mereka miliki. Oleh karena itulah timbul keinginan dari beberapa bangsa di Eropa untuk mencarinya sendiri ke tempat asalnya. Dimulailah penjelajahan mencari pusat rempah tersebut ke nusantara.

Bangsa Eropa yang pertama kali sampai ke nusantara adalah Portugis, kemudian disusul dengan Spanyol, dan bangsa Eropa lainnya. Sementara orang Belanda baru sampai Banten pada 1596. Pada abad ke-16 itu, belum ada satu kekuatan pun yang berhasil memonopoli perdagangan rempah-rempah.

Menjelang abad ke-17, bangsa Belanda secara bertahap mengusir para pesaing dari Eropa dan menegakkan monopoli perdagangan rempah-rempah. Yaitu, dengan mendirikan Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) yang memiliki kapal, gudang, dan toko-toko rempah sendiri. Ekky menyebutkan, penguasaan oleh bangsa-bangsa Eropa tersebut tidak lain karena mereka menyalahgunakan keramah-tamahan penduduk nusantara.

Sejarah rempah pun menjadi poin utama pameran jalur rempah yang diselenggarakan oleh Direktorat Kelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, pada 5-16 Oktober di Bintaro Xchange Mall, Tangerang. Pameran ini mengambil tema "Rempah Mengubah Dunia." Tema itu diambil karena Kemendibud RI ingin meningkatkan pemahaman dan apresiasi masyarakat luas, khususnya kaum muda, terhadap sejarah perkembangan peradaban bangsa Indonesia melalui ikon rempah.

"Mengapa rempah? Karena rempah-rempah adalah salah satu saksi sejarah perjalanan panjang bangsa Indonesia," kata Ekky.

Lantaran ingin menceritakan jalur perjalanan rempah-rempah, dalam pameran tersebut, selain menyajikan berbagai jenis rempah, juga menyajikan benda-benda bersejarah yang ditemukan dari abad ke abad. Sebagai bukti bahwa negara-negara lain sangat terpikat dengan aroma rempah-rempah milik nusantara yang kaya rasa itu. Sehingga mereka melakukan perjalanan ke nusantara karena ingin menguasainya.

Penemuan benda-benda bersejarah di lautan, yaitu muatan kapal-kapal kuno pada periode tahun 1511-1800, yang tenggelam di perairan nusantara. Kapal tersebut diyakini mengangkut berbagai benda muatan, antara lain, sutra murni Cina, teh dari Cina, Opium dari Bengal (Bangladesh), Danuan (India), dan Turki. Bahan katun dari Amerika dan Cina, rempah dari Maluku, logam dari Eropa seperti besi, dan kulit hewan dari Inggris dan Amerika. Selama bertahun-tahun sejak tenggelamnya kapal yang membawanya, barang-barang tersebut banyak yang hancur.

Namun, ada pula yang bisa diabadikan hingga saat ini, seperti yang ditampilkan dalam pameran jalur rempah tersebut, yaitu muatan-muatan kapal yang tergolong sebagai benda berharga. Di antaranya, emas, perak, berlian, zamrud, mutiara, batu berharga, porselen, dan keramik dari Cina dan Jepang.

Pada 2012 di Karang Heluputan, Bintan, Kepulauan Riau, ditemukan keramik biru putih buatan Cina yang dibuat pada masa Dinasti Ching (abad ke-17-20). Ciri keramik itu ditunjukkan dengan tingkat ketebalan keramik yang sangat tipis dengan motif hias yang sangat indah serta kondisi glasir yang baik. Terdiri atas berbagai jenis, seperti mangkuk, piring, buli-buli, cepuk, gelas, sendok, serta beberapa wadah logam, koin, batu, alu, pipa cangklong, dan patung.

Tidak hanya itu, berbagai penemuan lain di beberapa situs juga memperkuat bukti sejarah perjalanan jalur rempah tersebut. Beberapa situs tersebut, di antaranya di Laut Jawa Cirebon, situs Batu Hitam di Belitung, situs Teluk Sumpat, dan situs Selat Gelasa di Bangka Belitung. 

Sebuah kisah unik juga terjadi pada saat itu, ketika Belanda berusaha mempertahankan sebuah pulau bernama Pulau Run yang merupakan pulau penghasil pala paling baik di sekitar Banda. Dalam buku Giles Milton itu diceritakan bagaimana Belanda menjaganya sekuat tenaga. Karena pada saat itu, harga biji dan bunga pala lebih mahal daripada harga emas dan perak.

Rupanya Inggris juga memiliki klaim atas pulau tersebut. Akhirnya, Belanda yang ingin tetap mempertahankan pulau tersebut menjadi 'milik'-nya, rela menukarkan sebuah tanah kecil di Benua Amerika dengan Pulau Run itu. Hingga kemudian terjadilah transaksi tersebut, Belanda tetap memiliki Pulau Run dan Inggris mendapat tanah kecil di Amerika Utara, yang sekarang dikenal dengan nama New York (Pulau Manhattan/ New Amsterdam).

Perjanjian itu tertuang dalam Perjanjian Breda pada 31 Juli 1667. Saat ini New York menjadi salah satu kota metropolitan paling penting di muka bumi. Sedangkan, Pulau Run bak pulau tak bertuan.      Oleh Crystal Liestia Purnama, ed: Endro Yuwanto

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement