Senin 06 Oct 2014 14:00 WIB

Lacak Jaringan Ulama Betawi

Red:

Ahad (05/10) umat Islam sedunia melakukan shalat Idul Adha 1435 Hijriyah. Di Jakarta, shalat Idul Adha dipusatkan di Masjid Istiqlal yang dihadiri Presiden dan dipadati ribuan kaum Muslimin dan Muslmat.

 

Untuk memperingati hari raya kurban, kami akan hadirkan artikel berjudul "Melacak Jaringan Ulama Betawi". Letnan Gubernur Jenderal Raffles dalam tulisannya History of Java pernah memuji dakwah ulama Betawi saat ia memegang tampuk pemerintahan pada awal abad ke-19. Tapi, sayangnya sangat sedikit tulisan yang mengangkat kiprah mereka pada masa itu.

Pokoknya, seperti dikemukakan almarhum Kepala Jakarta Islamic Centre dr H Djaelani, banyak penulisan Islam di Jakarta yang tidak mengangkat peran para ulama Betawi. Termasuk, sejarawan dan cendekiawan Muslim.

Dia menyatakan prihatin terhadap andil para ulama dan warga Betawi dalam pembentukan Indonesia modern. Alasannya, sangat minim tentang referensi Islam di Jakarta. Yang jelas, ulama besar almarhum Hamka sangat memuji kiprah orang Betawi terhadap Islam.

Dia yang selama belasan tahun tinggal di Jakarta memuji sikap warga Betawi terhadap agamanya. Hamka memisalkan hubungan mereka dengan penjajah, seperti minyak dan air, walaupun dikocok, tetap tidak bisa bersatu dan bercampur. Padahal, warga Betawi yang paling banyak merasakan pahit getirnya penjajahan.

Menurut sejawan Ridwan Saidi, ulama Betawi menjadi sesuatu yang penting jika dikaitkan dengan persoalan kepemimpinan di Betawi sejak terbentuknya etnis ini sampai sekarang. Pemimpin etnis Betawi yang disegani dan diikuti kepemimpinannya adalah Guru dan Mualim (kepemimpinan ulama). Sedangkan, pemimpin Betawi yang disegani adalah ulama.

Saya kerap menyaksikan begitu besarnya pengaruh ulama dan mualim di masyarakat Betawi. Di masa-masa lalu, bila terjadi keributan antarkampung, biasanya akan berakhir bila ditangani ulama dan jagoan. Menunjukkan bagaimana mereka sangat disegani.

Dari kedua kelompok Betawi ini, ulamalah yang memiliki perhatian paling besar kala itu. Hal ini bisa dimaklumi karena religiusitas orang Betawi yang tinggi dan melekat dalam siklus hidupnya membuat mereka ketergantungan mereka dengan ulamanya juga begitu tinggi.

Dalam melawan penjajah orang Betawi sangat tinggi, sejak zaman JP Coen sampai sampai zaman prakemerdekaan. Kisah si Pitung dan Entong Gendut begitu melegenda. Bahkan, tidak sedikit ulama Betawi yang terlibat dalam revolusi fisik 1945.

Dalam revolusi fisik ini para ulama di kampung-kampung mengikutsertakan masyarakatnya untuk mengangkat senjata yang kala itu dikenal dengan istilah bambu runcing melawan penjajah yang senjatanya jauh lebih modern.

Di masyarakat Betawi, ada tiga jenis institusi pendidikan yang dijadikan tempat untuk mendidik anak-anak mereka dibidang agama, yaitu pondok pesantren, madrasah, dan majelis taklim. Dari ketiga institusi ini, pondok pesantren merupakan institusi pendidikan tertua di Jakarta, yaitu sejak abad ke-14 dengan berdirinya Pesantren Syeh Quro.

Menurut buku Ulama Betawi, ada dua model pondok pesantren, yaitu pondok pesantren salafi dan pondok pesantren modern. Pesantren salafi menerapkan pola tradisional di mana para santri bekerja untuk kiai mereka. Sebagian besar pesantren salafi menyediakan asrama sebagai tempat tinggal para santrinya dengan membebankan biaya yang rendah, bahkan tanpa biaya sama sekali. 

Madrasah di Indonesia dipandang sebagai perkembangan lebih lanjut atau pembaruan dari lembaga pesantren. Khusus di Betawi, madrasah yang pertama di bangun adalah Jamiatul Khair di Pekojan, Jakarta Barat, yang ketika itu pada 1901 merupakan kampung Arab. Puluhan ulama Betawi yang terkenal pernah mendapat pendidikan di Jamiatul Khair.

Beberapa tahun kemudian berdirilah Madrasah Unwanul Falah di Kwitang yang dipimpin ulama karismatik Habib Ali Alhabsyi. Kemudian, madrasah di Betawi makin berkembang di berbagai kampung, di antaranya, Madrasah Asyafiiyah pimpinan KH Abdullah Syafi’ie, ulama Betawi. Sementara, KH Tohir Rohili juga mendirikan pesantren modern. Baik Asyafiiyah maupun Tahiriyah, banyak mengirimkan muridnya ke Mesir dan Timur Tengah.

Masih banyak lagi ulama Betawi yang memiliki pesantren dan jangn dilupakan ada dua tokoh putri yang berperan dalam pendidikan, masing-masing Hj Tuti Alawiyah dan Hj Suryani Tahir. Kini, pendidikan Islam juga berkembang melalui televisi-televisi. rep:alwi shahab ed: dewi mardiani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement