Senin 11 Aug 2014 14:30 WIB

Imaji dari Bekas Tanah Jajahan

Red:

Sejumput cengkih digenggam oleh seorang gadis berbaju biru. Kuku di jemari tangan kirinya berwarna hitam, setengah luntur karena tak ia perbarui warnanya. Dia tak bergerak, bahkan baju kurung bermotif bunga-bunga yang ia kenakan tak berkibar tertiup angin.

Tentu saja, gadis itu terkurung dalam sebuah potret berukuran A4 yang ditempel di dinding ruang pameran seluas 10 x 15 meter. Gadis berbaju kurung itu tak sendiri. Dia bersama delapan orang lain dengan kostum yang berbeda-beda. Foto mereka dipajang di atas dinding yang didekorasi dengan instalasi cengkih sungguhan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto: Yasin Habibi/Republika

Pengunjung melihat foto-foto karya Raphael Blum dalam Pameran Fotografi bertajuk "Aneka Rasa" di Galeri Nasional, Jakarta, Ahad (10/8).

 

Butiran cengkih yang keras ditempel di seluruh permukaan dinding, mengelilingi foto-foto yang terpasang. Di sudut kanan bawah, sebuah stiker kertas putih tertempel, dengan tulisan di atasnya "Aroma". Rangkaian instalasi itu berjudul "Aroma", diambil di Ambon, ibu kota Maluku.

Di sebelah kanannya "Aroma", di bawah temaram sorot lampu, ada pula potret sebuah tangan yang menggenggam buah pala. Buah yang melenakan orang-orang Eropa ratusan tahun silam. Si anak penggenggam pala mengenakan kaus bergambar Jerry, tokoh kartun dalam serial anak lawas, Tom and Jerry.

Entah sengaja atau tidak, posisi pala yang ia genggam tepat berada di bawah mulut tokoh tikus cerdik itu. "Sekilas seolah Jerry akan memakannya," ucap Desy salah satu pengunjung pameran dengan nada penasaran. Sang fotografer seolah ingin menyampaikan pesan satir: tikus pemangsa pala.

Barisan penjajah yang bertandang ke negeri Maluku berturut-turut: Portugis, Spanyol, Belanda, dia samakan dengan tikus. Merongrong buah pala, kekayaan alam Maluku yang mereka rampas. Di bawahnya kertas putih memberi tahu judul foto itu, "Delfiah dengan palah", diambil di Soya Atas, Ambon. Gadis penggenggam pala itu Delfiah namanya.

Dua instalasi seni di atas terpajang di Galeri Nasional Indonesia di bilangan Gambir, Jakarta Pusat. Hingga 16 Agustus, sebuah pameran bertajuk "Aneka Rasa" diadakan di sana. Sang seniman, Raphael Blum, menunjukkan seleranya dalam menangkap imaji manusia dalam sebuah bingkai foto.

Bukan jenis foto yang ‘terlalu seni’ yang penuh dengan semiotika dalam menangkap objek. Foto-foto yang dia pamerkan sederhana. Kumpulan potret penduduk dari bekas tanah jajahan yang dia rangkum dalam jurnal fotografi. Namun, sederhana bukan berarti tidak istimewa. Justru kesederhanaan itu menunjukkan kesahajaan sebuah foto. Blum mampu membuktikan itu.

Pameran fotografi tunggal ini merupakan buah tangan dari perjalanan Blum selama berkeliling nusantara. Bertempat di gedung C Galeri Nasional, pameran ini terbagi dalam dua ruang pamer. Ruangan pertama berisikan koleksi fotografi Blum dari Maluku dan ruangan kedua berisi potret penduduk Sumatra Utara. Bila di ruangan pertama pengunjung pameran akan bertemu dengan potret ‘manusia cengkih’, di ruangan kedua semuanya ‘berbau’ tembakau.

Menengok koleksi Blum di ruangan kedua, sepanjang dinding terpajang rekam gambar penduduk Brastagi yang hidup mereka tak jauh dari tembakau. Ada potret Rohis, seorang wanita paruh baya yang di atas kepalanya terdapat seikat daun tembakau hasil panen. Ceria, di mulutnya tersungging seutas senyum.

Di samping foto Rohis, pengunjung disuguhi gambar seorang petani tembakau lainnya. Namanya Ousmane, penduduk Batu Karang, Sumatra Utara. Menatap kamera, Ousmane menunjukkan segepok lembaran daun tembakau raksasa. Baik Rohis maupun Ousmane adalah bukti bahwa pertanian tembakau menjadi komoditi penting bagi penghuni dataran Sumatra Utara.

Dahulu, di Eropa, imaji populer tentang Maluku dan Sumatra Utara tentang pala dan tembakau adalah pemisah antara pribumi dan kulit putih, antara penjajah dan yang ditindas. Kaum kolonial memotret para petani cengkih, tembakau, dan pala hanya untuk ditampilkan dalam sampul kartu pos. Eksotisme kaum tribal dari timur (Orient) kala itu menjadi daya tarik bagi orang Barat (Oxidant). 

Raphael Blum, melalui foto-foto hasil karyanya mencoba memberikan perspektif berbeda tentang fotografi ‘rempah-rempah’. Rempah, tembakau, dan potret eksotis penduduk asli adalah komoditas yang membentuk pengetahuan tentang koloni. Penduduk asli digambarkan terpisah dari industrialisasi yang berlangsung di tanah mereka. Mereka direpresentasikan seturut keinginan pasar di Eropa, terklasifikasi dalam etnis primordial, bukan masyarakat yang termodernisasi oleh kolonialisme.

"Dari ‘rasa’, Blum melihat keanekaragaman dan secara simbolis merefleksikan peran kontemporer cengkih dan tembakau di dalam masyarakatnya. Penduduk Ambon menjadi sama dalam kategori sosialnya, tapi setiap individu berbeda tampilan visual dan ekspresinya," ujar Alexander Supartono selaku sejarawan sekaligus kurator Blum.

Melalui pameran ini, pengunjung akan dibawa sejenak ke masa lalu saat hasil bumi nusantara memikat keserakahan kolonial. Lantas dilempar ke masa kini di mana Blum menyuguhkan potret manusia modern yang lahir dari sejarah kelam. Kekuatan seri potret Blum muncul dari kerbesahajaannya menangkap aneka rasa sensasi visual dari penduduk Maluku dan Sumatra Utara yang tumbuh di bekas tanah jajahan. rep:c85 ed: dewi mardiani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement