Kamis 30 Apr 2015 14:00 WIB

Nurdin Abdullah (Bupati Bantaeng): Membangun Sistem dan Keteladanan

Red:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sejak kecil hingga dewasa, Nurdin Abdullah hampir tak pernah menginjakkan kakinya di Bantaeng. Padahal ayahnya, H Andi Abdullah, adalah cucu Karaeng Latippa, seorang raja yang pernah memerintah di Bantaeng. Sebagai seorang tentara, ayah Nurdin kerap berpindah-pindah tugas. 

Ayah tiga putra ini menyelesaikan S-2 dan S-3 di Universitas Kyushu, Jepang. Di Negeri Matahari Terbit itu, selain dikenal sebagai mahasiswa berotak cemerlang, ia pun menjadi presiden asosiasi mahasiswa asing dari 52 negara. Networking-nya terbangun dengan baik sehingga ia dipercaya menjadi CEO di beberapa perusahaan Jepang. Di Indonesia, ia menjadi Presiden Direktur PT Maruki Internasional Indonesia.

Setelah sempat dipinang untuk ikut pilkada sejak tahun 2003, akhirnya panggilan untuk 'pulang kampung' dan permintaan untuk mengembalikan kejayaan Bantaeng tak kuasa ditolaknya, pada Pilkada 2008. Sejuta harapan digantungkan masyarakat kepada penggemar buah-buahan ini. Lantas, bagaimana ia berusaha memenuhi harapan itu? Apa saja yang dilakukannya? Berikut wawancara wartawan Republika, Andi Nur Aminah dan Debbie Sutrisno, serta fotografer Agung Supriyanto:

Setelah terpilih menjadi bupati, apa langkah pertama yang Anda lakukan?

Bantaeng dulu masuk 169 daerah tertinggal. Persoalan paling mendasar adalah infrastruktur. Kalau kita ke pelosok, jalanannya buruk sekali. Semangat masyarakat untuk memacu pertanian selalu dihantui akses jalan. Lalu, masalah air dan serangan hama. Ada 700 hektare lahan sawah di Bantaeng kena tungro, belum saatnya berbuah sudah merah. Itu pemandangan yang hampir sama di berbagai desa. Yang lebih merepotkan, satu bulan sebelum pilkada digelar, terjadi banjir setinggi satu meter. Wah saya mimpi apa ini. Rumah jabatan terendam banjir, kalau malam tak ada lampu. Jam delapan malam sudah sangat sepi, mau makan harus jalan lumayan jauh.

Lalu, saya lakukan assessment kepala dinas. Saya harus tahu kekuatan SDM saya seperti apa. Saya tidak mengganti orang, tapi mewawancarai mereka untuk tahu kapasitas semuanya, apakah orang ini sudah tepat. Saya jelaskan, ini loh tantangan kita ke depan, tidak bisa lagi kita duduk hanya mengerjakan hal rutin di rumah, di kantor.

Saya katakan, kuncinya satu tahun, dua tahun kita masih bisa bergantung pada aktor, pada bupati. Tapi, tahun ketiga kita harus bergantung pada sistem. Bantaeng harus membangun sistem dan manajemen yang kuat. Karena, apa yang kita andalkan, kita bukan daerah tambang, tapi daerah pertanian yang tidak bisa meningkatkan PAD secara cepat.

Rumah jabatan bupati dan banyak lokasi terendam banjir, bagaimana Anda menanganinya?

Saya datangkan teman dari Jepang, dari Unhas. Kebetulan S-3 saya soal penanggulangan banjir. Setelah saya pelajari, ini tidak sulit karena sumber banjir ini ada di kota, ada di genggaman kita. Saya katakan, dalam dua tahun, banjir sudah harus selesai. Setelah survei dan bikin kajian, saya beli alat potret udara yang terbaru. Tiap hari saya pantau dan akhir solusinya kita bangun cek dam.

Namun, ternyata tak semudah membalik telapak tangan. Ada saja provokator. Saat cek dam baru dibangun, sudah didemo. Tapi, saya tak gentar, ini untuk kebaikan rakyat. Pembebasan lahan warga cukup mahal, bahkan dana pribadi saya berikan. Setelah bangunan selesai, diisukan lagi retak, tapi saya tak ambil pusing.

Cek dam ini fungsinya pengendali, jadi tidak perlu luas, yang penting fungsi pengendalinya berjalan baik. Caranya, air kita tahan, kita kontrol pengeluarannya sehingga debit air yang mengalir ke kota kita sesuaikan dengan drainase. Kita bikin pembuangan. Saat drainase levelnya sudah naik, kita buang ke sungai yang khusus untuk pembuangan. Kalau hujan, jam berapa pun saya turun ke jalan mengontrol. Kalau ada yang banjir, saya cek dari bawah sampai ke atas sehingga terlihat daerah mana yang bermasalah.

Setelah cek dam terbangun, Bantaeng sudah bebas banjirkah?

Kota Bantaeng sudah kering. Dulu bukan hanya kota yang tenggelam, sawah pun tidak terlihat. Jadi sawah puso. Dulu orang bertengkar karena butuh air, tapi sekarang mereka punya air sendiri-sendiri. Jadi, sebenarnya ini faktor kesungguhan saja. Saya ketemu camat dan lurah, saya sampaikan, ini masalah keteladanan. Sebagai pemimpin, selalulah memberikan contoh yang baik. Mau bupati turun atau tidak ke lapangan, ini sistemnya sudah terbentuk.

Bagaimana dengan bidang kesehatan, program apa saja yang Anda lakukan?

Dulu tingkat kematian ibu paling tinggi, juga angka kematian akibat penyakit lingkungan dan persoalan gizi buruk. Ini semua terjadi karena lambatnya penanganan penyakit. Pemahaman masyarakat akan kesehatan juga masih minim. Ini persoalan. Saya lantas menggagas emergency service dengan ambulans yang mobile. Dinas Kesehatan menyampaikan tak ada armada, yang punya hanya puskesmas. Itu pun kondisinya lebih mirip mobil jenazah, hanya modal tandu saja. 

Saya bangunlah Brigade Siaga Bencana (BSB). Di sana ada damkar, ambulans, dinas sosial, itu konsep. Yang saya butuhkan bagaimana masyarakat terlayani dengan cepat kalau mereka mau melahirkan dan berbagai pelayanan kesehatan. Saya mengadopsi beberapa hal dari Jepang tapi tidak 100 persen. Di Jepang, pelayanan kesehatan sangat baik, namun dalam bentuk jasa, dan bukan milik pemerintah.

Lalu, saya temui kolega di Jepang. Mereka bilang kebetulan ada ambulans yang akan 'dibuang'. Barangnya memang bekas, tapi di dalamnya lengkap dengan berbagai peralatan medis. Saya bilang oke gak apa-apa saya butuh ini.

Setelah ada BSB, apa saja hasil yang dicapai?

Yang pasti saat ini angka kematian ibu melahirkan menjadi nol. Tak ada lagi ibu meninggal karena melahirkan, sebaliknya dalam setahun ada 60 orang yang melahirkan dalam ambulans. Ternyata itu penyebabnya, faktor kecepatan. Kita punya respons time 20 menit dari panggilan. Kekuatan armada kami ada delapan dan akan membangun tiga stasiun lagi.

Tampaknya berbagai pengadaan fasilitas itu lebih banyak didukung oleh kolega Anda. Kenapa bukan dari APBD?

Dana APBD kita hanya untuk makan, pokoknya untuk program pemberdayaan. APBD Bantaeng itu yang terkecil se-Sulawesi Selatan. Awalnya Rp 281 miliar pada 2008, sekarang meningkat sekitar Rp 650 miliar, tapi ini tetap paling kecil. Jadi, untuk fasilitas umum, saya harus nyari. Pokoknya yang penting kan halal. Hasilnya pun kami bisa membantu daerah lain seperti Kabupaten Gudung Kidul, Parepare, Pinrang. Makassar sebentar lagi kita bantu untuk skylift damkar. Kalau dibeli itu bisa hampir Rp 20 miliar.

Di sektor pendidikan, apakah ada program khusus?

Kita gratiskan untuk semua hingga SMA. Kita punya harapan pendidikan ini menjadi tulang punggung keberhasilan daerah dalam mempersiapkan calon-calon pemimpin masa depan. Yang harus dibangun adalah bagaimana anak menjadikan sekolah magnet bagi dia.

Kita sedang mendorong siswa Bantaeng agar mereka belajar keluar negeri. Jadi, tinggal pilih ke negara mana. Sekarang kan juga ada LPDP dari Kemenkeu. Bagaimana bersaingnya, pertama tingkatkan kemampuan berbahasa. Pemerintah daerah sedang menyiapkan APBD untuk peningkatan bahasa, jadi siapa pun yang mau memperbaiki bahasanya akan kita dibiayai. Les bahasa gratis, anak-anak SD kita sudah mulai bisa berbahasa Inggris.

Dahulu Bantaeng hanya daerah transit dan sekarang menjadi tempat persinggahan. Pembenahan seperti apa yang Anda lakukan?

Ya, dahulu memang Bantaeng ini gelap, tapi sekarang sudah terang benderang. Yang lagi booming sekarang adalah Pantai Marina yang dulu hanya alang-alang. Kita bangun dengan sistem yang terintegrasi. Semua SKPD bertanggung jawab. PU bertanggung jawab membangun jalannya, Dinas Pariwisata untuk gazebonya, Dinas Perikanan bertanggung jawab pada tempat mancingnya, untuk sosial kita bikin BLK. Ini menjadi salah satu ikon dan destinasi unggulan di Sulsel.

Kontribusi terbesar untuk PAD di sektor apa?

Tetap pertanian yang paling besar dan ini akan terus ditingkatkan. Dari dulu orang Bantaeng cenderung tidak ingin menjadi pegawai negeri karena dengan pertanian akan lebih menguntungkan. Bayangkan, dengan menanam bawang yang harganya Rp 10 ribu per kilogram, jika panen 10 ton bisa sampai 100 juta, itu dalam waktu tiga bulan. Nah, kalau jadi pegawai dengan gaji Rp 2,5 juta, satu tahun hanya Rp 30 juta. Jadi, kita harus membuat masyarakat pertanian bergairah, caranya dengan kepedulian dari pemerintah.

Kita sudah melakukan pembibitan benih sendiri. Bawang, kentang, jagung, pupuk kita sudah sediakan. Air untuk instalasi ke kebun-kebun kita berikan. Dulu kan hanya menunggu hujan, tapi sekarang kebutuhan air bisa diatur sepanjang tahun.

Dulu, di dataran rendah, mereka tanam jagung jual jagung. Sekarang, jual benih. Dulu jagung dijual satu kilo hanya Rp 2.000, sekarang jual benih bisa mencapai Rp 50 ribu per kilogram. Padi juga begitu, kita sudah jual benih padi. Produksi benih mencapai lima ton dan ini benih unggulan semua.

Apa yang Anda lakukan untuk menjadikan masyarakat antusias membangun Bantaeng?

Ini masalah keteladan. Kita minta masyarakat tidak merokok atau buang sampah, ya kita juga harusnya tidak melakukan itu. Sederhana saja, jadi bukan hanya birokrat yang membangun kota, tapi masyarakat juga merasa jadi bagian kota ini. Inilah yang banyak menjadi perhatian. Tahun 2014 saja, ada 104 kabupaten kota yang melakukan kunjungan ke Bantaeng untuk studi banding.

Impian Anda terhadap Bantaeng ke depan?

Ke depan kita akan coba membangun kawasan industri, Bantaeng akan ada taman, utilitas, administrasi office, progress manufacture, metallurgy plat zone. Kita akan bangun kota benih berbasis teknologi, ini yang akan menjadi ikon Bantaeng. Anak-anak SMA akan kita sekolahkan di Biotrap Bogor. Yang sudah kita lakukan saat ini, ada pabrik pupuk dibangun bekerja sama dengan BPPT, kita sudah ekspor talas ke Jepang, punya industri pengolahan ikan dan diekspor ke Jepang. Kita sudah mendapatkan Adipura dari 2009-2013. Makanya, kita sekarang sedang fokus membenahi infrastruktur supaya perekonomian ini terus bergerak. Masyarakat sekarang antusias dan bersemangat. Orang Bantaeng sekarang semangat dan sudah ingin balik ke kampungnya.

Untuk 2018 nanti, kalau sudah seattle, kota ini akan bisa jadi Singapura mini. Pokoknya kita ingin ciptakan kabupaten kecil, penduduk tidak besar tapi dengan uang yang besar. Kita ingin menjadikan hidup di daerah itu nyaman, eselon II tunjangan Rp 50 juta, inginnya gaji PNS minimal Rp 15 juta, itu harapan kita. ed: Andi Nur Aminah

***

Terobosan yang telah dilakukan antara lain:

-Mencetuskan Bantaeng sebagai kabupaten benih berbasis teknologi antara lain dengan mengembangkan kultur jaringan.

-Mengembangkan kawasan agrowisata di Uluere. Kawasan ini dikelola oleh lintas sektoral untuk usaha pengembangannya. Untuk sektor pertanian fokus pada pengembangan tanaman apel, stroberi, tanaman sayuran organik, tanaman hias, dan pengembangan pembibitan melalui kultur jaringan.

-Mengembangkan industri pengolahan hasil pertanian. Misalnya, industri pengemasan hasil dan pengepakan, industri pengalengan hasil laut.

-Perbaikan kualitas ternak sapi melalui teknologi inseminasi buatan.

-Pengembangan pemanfaatkan limbah ternak menjadi biogas sebagai energi alternatif di pedesaan, menjadi pupuk organik padat dan cair.

-Membangun Brigade Siaga Bencana dengan pelayanan medis, kegawatdaruratan mobil yang siaga 24 jam.

-Menurunkan tingkat kematian ibu menjadi nol.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement