Jumat 03 Jun 2016 17:00 WIB

Lugu Ingin Maju

Red:

Oleh Selamat Ginting

 

Berkaus oblong hitam dan celana panjang hitam, Roma yang berambut hitam sedikit bergelombang, berlari kecil menuju ruang depan pertemuan. Lelaki dewasa berkulit sawo matang kehitaman dan berasal dari suku anak dalam Jambi itu tampil percaya diri.

 

"Hidup Rhoma Irama," kata sejumlah teman-temannya sesama peserta kemah sosial nasional Komunitas Adat Terpencil (KAT) mengolok-olok dirinya di sebuah hotel di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), Kamis (26/5). Tentu saja, yang dimaksud bukan Rhoma Irama yang punya julukan si raja dangdut.

 

Roma yang sesekali terlihat kebingungan itu pun mengambil mikrofon yang telah disediakan panitia, kemudian menceritakan pengalamannya sebagai peserta kemah. "Saya takut ada bunyi keras di telepon dalam kamar. Mau angkat, takut meledak," katanya dengan polos.

Tidak hanya di situ, ia pun mengakui baru pertama kali naik pesawat terbang, bahkan baru pertama kali pula naik bus dari Jambi menuju Padang. "Saya gemetar naik bus. Apalagi, naik pesawat. Sepanjang jalan tak bisa tidur, melihat ke bawah seperti mau jatuh. Ingat anak dan istri," ujarnya disambut tepuk tangan peserta.

 

Ia juga mengaku paling terkesan dengan rekannya dari Papua Barat, sesama warga komunitas adat terpencil. Kemudian, Roma menunjuk rekannya yang terus-menerus menebar senyum, Elias Orwin. Lelaki asal Papua Barat itu pun diminta untuk menceritakan pengalamannya.

 

Jika Roma lantang bersuara, lain lagi dengan Elias. Lelaki berkulit kehitaman dan berambut keriting itu lebih banyak tersenyum dan memperlihatkan giginya yang putih dan bibirnya yang kemerahan. "Sa senang di sini. Orang Kabela ramah pada kita orang."

 

Mereka adalah para peserta kemah sosial nasional KAT 2016 di Dusun Kabela, Desa Buncu, Kecamatan Sape, Kabupaten Bima, NTB, pada 23 hingga 27 Mei 2016 lalu. Para peserta berasal dari 22 kabupaten dan 21 provinsi di Indonesia.

 

Total ada sekitar 66 orang, 44 di antaranya berasal dari warga KAT. Sisanya adalah pendamping dari provinsi atau kabupaten. Total ada sekitar 100 peserta, termasuk panitia dan instruktur serta mitra kerja Kementerian Sosial.

 

Penyelenggaraan kemah ini merupakan yang kesembilan kalinya dilaksanakan. Tuan rumah dipilih dari berbagai provinsi yang masih memiliki daerah KAT. "NTB sudah dua kali menjadi tuan rumah perkemahan ini. Sebelumnya, Kabupaten Lombok Timur beberapa tahun silam," kata Direktur Pemberdayaan KAT, Hasbullah. Ia meninggalkan lokasi kemah pada Selasa (24/5) sore menuju Kota Bima.

 

Turut hadir Duta KAT Krisna Mukti ke lokasi kemah. Namun, sang duta hanya hadir sekitar 2,5 jam tanpa merasakan bermalam di lokasi terpencil sehingga tidak bisa merasakan sulitnya mandi saat sore, malam, atau pagi hari.

 

Ia juga tidak bisa merasakan sulitnya mendapatkan pasokan listrik untuk menghidupkan alat komunikasi, termasuk sulitnya mendapatkan sinyal telepon genggam di lokasi adat terpencil ini. Selain itu, juga berinteraksi dengan masyarakat secara lebih dekat.

 

Tentu, sangat disayangkan karena duta KAT tidak akan bisa menceritakan apa pun tentang perkemahan berdasarkan pengalaman di lapangan. "Saya memiliki acara lain di Sulawesi Tengah sehingga tidak bisa bermalam di lokasi KAT," ujar Krisna yang juga anggota DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Selasa (24/5) siang.

 

Sebelumnya, Bupati Bima, Indah Dhamayanti Putri, berharap kepada seluruh peserta agar sungguh-sungguh mengikuti perkemahan. Hal ini supaya para peserta dapat merasakan manfaatnya, bukan hanya cerita yang baik-baik atau buruknya.

 

"Saya berharap peserta, termasuk panitia dari Jakarta, mendapatkan pengalaman berharga dan menyampaikan apa adanya kepada masyarakat tentang warga KAT Dusun Kabela," ujar Indah Dhamayanti Putri saat pembukaan acara di sebuah hotel di Bima, Senin (23/5) malam.

 

Ramah tamah

Peserta lainnya mengaku bernama Elvis Nayatuen dari Seram, Maluku, turut bercerita. Elvis mengakui keramahtamahan warga Kabela walau warga yang rumahnya ditempati dirinya tidak bisa berbahasa Indonesia. "Kami hanya senyum-senyum dengan bahasa masing-masing," katanya.  

 

Ia merasakan adanya perbedaan soal pemanfaatan bambu. Di dusun tempatnya tinggal juga banyak pohon bambu, tapi tak banyak yang memanfaatkannya. Sedangkan di Dusun Kabela, bambu banyak digunakan untuk membuat tikar, keranjang, bahkan pagar rumah serta dinding rumah semuanya berasal dari bambu. "Saya juga merasakan nasi yang dimasak di dalam bambu," kata Elvis.

 

Begitu juga dengan Laurensius asal Mentawai, Sumatra Barat. Ia merasa kagum dengan kerja keras warga Kabela, padahal tanahnya gersang dan tidak subur. "Gotong royong membuat mereka bisa hidup," kata Laurens yang mengaku tidur di atas tikar hasil anyaman warga dan diberikan suguhan daging ayam di tempat tinggalnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement