Kamis 02 Jun 2016 11:00 WIB

Survei Pun Libatkan Ekonom

Red:

Oleh Rakhmat Hadi Sucipto

 

Lembaga survei Ipsos-MORI bekerja sama dengan surat kabar the Observer menyebutkan, sembilan dari 10 ekonom top yang bekerja di sektor finansial, bisnis UKM, dan lingkungan akademi Kota London, Inggris, yakin ekonomi Inggris tak akan lebih baik bila negara ini keluar dari Uni Eropa. Hasil survei yang melibatkan 639 ekonom ini juga menemu kan data, 88 persen responden menyatakan ke luarnya Inggris dari Uni Eropa dan meninggalkan pasar tunggal kawasan tersebut akan meng akibatkan prospek buruk pada pertumbuhan ekonomi Inggris dalam lima tahun ke depan.

Namun, ada 4,0 persen responden yang yakin produk domestik bruto Inggris akan meningkat karena terkena dampak positif setelah keluar dari Uni Eropa. Ada 7,0 persen responden yang yakin Brexit tak akan berpengaruh luas terhadap pada PDB.

Responden yakin 67 persen dampak buruk ini muncul secara langsung karena Inggris tak lagi bisa memanfaatkan pasar tunggal Uni Eropa. Lalu, 67 persen ekonom juga berpikir investasi Inggris akan merosot.

Kemudian, 72 persen ekonom menilai Inggris akan mengalami dampak buruk bila keluar dari Uni Eropa pada 10 hingga 20 tahun ke depan. Hanya 11 persen yang menyebutkan akan muncul dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi Inggris apabila negara ini tak lagi bersama Uni Eropa.

Bagaimana dengan pendapatan rumah tangga di negara ini? Survei tersebut meng ungkapkan, 73 persen ekonom yakin pendapatan rumah tangga di Inggris akan menurun pada 10 hingga 20 tahun ke depan bila Brexit benar-benar terjadi. Ada 10 persen yang beranggapan pen dapat an rumah tangga di sana justru akan mening kat dan 13 persen menyatakan pendapatan rumah tangga tak akan terpengaruh dengan keluarnya Inggris dari Uni Eropa.

Opini terhadap pengangguran di Inggris se ba gai dampak dari Brexit juga beragam. Tercatat 45 persen ekonom berpikir tingkat pengangguran di Inggris akan melonjak dalam 10 hingga 20 tahun mendatang bila Inggris keluar dari Uni Eropa dan meninggalkan pasar bebas kawasan ini. Akan tetapi, 33 persen responden menyebut kan tingkat pengangguran di negara ini tak akan ter pengaruh dengan keputusannya meninggal kan Uni Eropa.

Bahkan, ada 17 persen responden yang beranggapan tingkat pengangguran di Inggris justru akan merosot bila negara ini pergi dari Uni Eropa. Dalam jangka pendek, 68 persen ekonom menilai langkah Inggris meninggalkan Uni Eropa dan pasar tunggal kawasan ini akan meningkatkan risiko perekonomian yang serius. Namun, 22 persen responden lainnya berpikir langkah itu tak akan membuat perbedaan dan 8,0 persen berpendapat perginya Inggris dari Uni Eropa justru akan mengurangi risiko ekonomi.

Surat kabar the Observer tersebut menyata kan, responden yang terlibat dalam survei adalah anggota badan perwakilan profesi yang paling dihormati di Inggris, yaitu the Royal Economic Society dan the Society of Business Economists. Sampelnya para ekonom yang kredibel. Mereka berharap mendapatkan gambaran yang lebih representatif dengan mengambil sampel dari para ekonom.

Dengan melibatkan para ekonom, mereka bisa meyakinkan masyarakat tentang dampak dari keputusan yang akan diambil pada referendum 23 Juni nanti. Mereka yakin keputusan tetap bersama UE atau perginya Inggris dari UE akan langsung berimbas pada sektor ekonomi.

Intinya, kubu setuju Brexit menyatakan Inggris akan terbebas dari regulasi dan jebakan lainnya yang kini diterapkan Uni Eropa sehingga negara ini mampu menegosiasikan keinginannya sendiri tanpa harus menyenangkan 27 negara anggota lainnya. Namun, mereka yang tak setuju dengan Brexit menyebutkan ekonomi Inggris justru akan menderita, nilai mata uang poundsterling akan melemah, serta berimbas pada penciptaan lapangan pekerjaan dan pendapatan tenaga kerja.

Matthew Elliott, chief executive Vote Leave, mengatakan ada ekonom yang menggiring publik agar Inggris beralih ke euro. "Ada konsensus tersembunyi dari para ekonom yang mendukung Inggris agar tak lagi menggunakan poundsterling pada 15 tahun yang lalu. Mereka salah dan sekarang terbukti mereka salah," ujarnya, seperti dilaporkan Reuters beberapa waktu lalu. Mereka yang tak sepakat dengan Brexit, termasuk Perdana Menteri Inggris David Cameron, pun balik menuduh dengan menyatakan jajak pendapat ini hanya pandangan yang luar biasa dari para ekonom. "Yang menjelaskan meninggalkan Uni Eropa akan merugikan ekonomi kita, mengganggu lapangan kerja, dan meningkatkan harga berbagai barang," ungkap Cameron.

Paul Johnson, direktur independen Institute for Fiscal Studies, sepertinya lebih condong ke kubu yang tak setuju Brexit berdasarkan pernyataannya. Johnson mengungkapkan, temuan dari survei itu belum pernah terjadi sebelumnya. "Ini sangat luar biasa," kata Johnson. "Tidak diragukan lagi ini bisa mencerminkan tingkat kesepakatan dari banyak ekonom tentang manfaat perdagangan bebas dan biaya ketidakpastian pertumbuhan ekonomi."

Michael Gove dan Boris Johnson, pemimpin kampanye Brexit (Vote Leave), menuding Perdana Menteri Cameron dan rekan-rekannya telah ber usaha menakuti-nakuti rakyat dengan pernyataan mereka selama ini. Beberapa hari lalu, Vote Leave juga menuduh Institute for Fiscal Studies telah me nerima dana untuk mengampanyekan anti-Brexit.

Sementara itu, survei yang dilakukan oleh Irish SMEs (para pelaku UKM di Irlandia) meng ungkapkan hengkangnya Inggris dari Uni Eropa tak akan berdampak langsung pada bisnis me reka (46 persen). Hanya 43 persen yang menyatakan khawatir dengan dampak dari Brexit ini. Lalu, survei dari perusahaan perangkat lunak Big Red Cloud menemukan data, kurang dari 50 persen pemilik bisnis yang merasa Brexit akan menjadi bencana bagi perekonomian Irlandia. Akan tetapi, dari jumlah itu hanya 20 persen yang yakin Brexit akan berdampak langsung.

Inggris memang harus siap dengan keputus an apa pun nantinya. Khususnya bagi pemerintah, harus mampu memberikan perubahan dan me ning katkan keyakinan: ekonomi harus dibangun dengan kebersamaan. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement