Senin 02 May 2016 17:00 WIB

Tanpa Inovasi, Mati

Red:

Oleh Siwi Tri Puji B

Bulan lalu, Yahoo mengatakan akan menutup kantornya di lima lokasi, dan mempertimbangkan "alternatif strategis" untuk bisnis inti internetnya. Dalam bahasa sederhana, itu berarti bisnis terus merugi dan lebih baik dilego. Pelopor web sejak tahun 1990-an ini jatuh pada saat dunia maya justru tengah berjaya, dan sahamnya turun 36 persen sepanjang tahun lalu. Marissa Mayer, yang bergabung sebagai CEO setelah hengkang dari Google pada tahun 2012, benar-benar dalam kesulitan.

Nasib hampir mirip dengan Yahoo dialami BlackBerry, ponsel yang pernah menjadi simbol status di antara eksekutif perusahaan di seluruh dunia. Beberapa tahun berjaya, mereka menye rah dengan serbuan iPhone dan Android. Merek ini dengan cepat loyo. Minggu lalu, per usahaan ini melakukan pemutusan hubung an kerja ratusan pegawainya di Kanada dan Amerika Serikat.

BlackBerry dan Yahoo membuat sistem operasi sendiri tahun lalu, tapi terlalu terlambat. Android dan sistem operasi iOS telah jauh melesat di depan. Keduanya menyusul Nokia, merek ponsel papan atas di era akhir 1990-an hingga awal 2000-an. Nokia terakhir dicaplok Microsoft yang mengintegrasikannya dengan merek Lumia. Ribuan karyawan Nokia telah diberhentikan sejak saat itu. Tak ada lagi nama Nokia dalam bisnis ponsel pintar, karena untuk selanjutnya, nama Lumia yang akan dipakai.

Yahoo awalnya unggul sebagai mesin pencarian tapi Google mengalahkannya kemudian. Fitur Google yang kaya membuat pengguna lari dari Yahoo. Terakhir, 'mahkota' Yahoo sebagai penyedia layanan email nomor wahid juga dicuri perusahaan yang semula sempat ditawarkan pada Yahoo untuk dibeli itu.

Blackberry di sisi lain, hanya menawarkan keamanan. Keterbatasan layanan yang diberi kan perangkat itu, bandingkan dengan sistem operasi iOS atau Android yang kaya, membuat pelanggan lari. Tanpa inovasi, Blackberry di ambang kehancuran.

Nokia jauh sebelumnya, telah lebih dulu sekarat. Platform Symbian kian tertinggal oleh Android dan iOS. Predikatnya sebagai ponsel peringkat atas terdegradasi dengan cepat. Pelajaran dari ketiga perusahaan ini adalah: sebuah merek tidak dapat bertahan di posisi atas kecuali mereka rajin berinovasi dan mengikuti perubahan zaman, apalagi di era internet yang supercepat. Perubahan tak hanya dalam fitur-fitur produk, tapi juga katagori perusahaan itu sendiri. Tanpa inovasi dan penyegaran produk, merek yang arogan tidak memiliki tempat tampaknya.

Menyerah sebelum kalah

Kesepakatan Nokia dengan Microsoft pada 2013 dianggap sebagai semacam 'kudeta' bagi perusahaan ponsel asal Finlandia ini. Kesepakatan senilai 7,2 miliar dolar AS ini juga menunjukkan seberapa jauh dan cepat perusahaan pembuat ponsel juara satu di dunia ini jatuh hanya dalam beberapa tahun setelah puncak kejayaannya.

Saat kesepakatan diteken, Nokia hanya me nguasai tiga persen dari pasar smartphone global dan kapitalisasi pasar hanya seperlima dari apa yang mereka capai pada tahun 2007. Apa yang terjadi dengan Nokia bukan rahasia: Apple dan Android mencuri pasarnya. Mereka terlambat membaca peluang dan pelit berinovasi. Padahal pada awalnya, perusahaan ini adalah perusahaan yang dimanis dan jeli melihat tren dunia.

Nokia adalah perusahaan yang adaptif, ber gerak dalam berbagai bisnis mulai dari kertas, listrik, dan karet, semua beroperasi di bawah payung Nokia. Awal 1990, mengantisipasi mun culnya ponsel, mereka memutuskan menekuni bisnis telekomunikasi.

Tahun 1996, mereka muncul dengan ponsel cerdas pertama di dunia. Mereka juga memba ngun prototipe ponsel layar sentuh serta ponsel berfasilitas internet pada akhir tahun sembilan puluhan. Mereka menghabiskan sejumlah besar uang pada penelitian dan pengembangan. Pendek kata, apa yang orang inginkan tentang ponsel, mereka bisa mewujudkan.

Harus diakui, Nokia merupakan perusahaan yang terbaik yang menemukan cara untuk meng ubah ponsel menjadi aksesoris mode dan bagian gaya hidup. Siapa yang tak memiliki ponsel Nokia terbaru dianggap ketinggalan za man. Namun, mereka terlalu asyik di ranah ini.

Mereka memaku diri sebagai sebuah perusahaan perangkat keras ketimbang perusahaan pe rangkat lunak. Mereka memperbanyak tenaga yang ahli dalam membangun perangkat fisik, tapi miskin orang yang ahli dalam program yang dibe namkan pada alat-alat itu. Pada akhirnya, perusahaan meremehkan pentingnya perangkat lunak, termasuk aplikasi pada smartphone. Perusahaan didominasi oleh insinyur hardware, sementara ahli perangkat lunak terpinggirkan.

Bukan hanya itu, di sisi ini Nokia juga gagal untuk mengenali pentingnya software. Mereka juga meremehkan betapa pen tingnya transisi ke smartphone. Nokia menjadi kasus klasik dari sebuah perusahaan yang terpesona oleh keberhasilan masa lalu.

Nokia berbangga dengan penghasilan lebih dari lima puluh persen dari semua keuntungan di industri ponsel pada tahun 2007, dan sebagian besar keuntungan tidak datang dari smartphone. Sementara di sisi lain, era smartphone sedang menyeruak, dengan keunggulan layar sentuhnya. Keengganan institusional untuk bertransisi ke era baru ponsel menjadi awal mula ambruknya bisnis raja ponsel dunia ini. Saat itu, petinggi Nokia masih yakin pada kekuatan mereknya. Lama setelah peluncuran iPhone, Nokia tetap bersikeras bahwa desain hardware mereka unggul dan akan menang di hati para pengguna.

Baru setelah bisnis mulai terseok karena pengguna banyak beralih ke ponsel cerdas, mereka meluncurkan ponsel berbasis Windows pada 2011. Terlambat sudah. Pengguna sudah sangat dimanjakan oleh iPhone dan Android, yang memenuhi semua ekspektasi mereka tentang ponsel cerdas: cepat, berbasis internet, layar sentuh, desain modern. Konsumen seolah menghukum mereka karena hanya membuat ponsel yang 'begitu-begitu' saja.

Era teknologi informasi yang berlari cepat mengajarkan pada kita melalui Nokia: bahwa ino vasi harus dilakukan secara terus-menerus dan selera pasar harus didengar. Terlambat menyadari dan menjual produk yang tidak me madai, untuk Nokia, adalah kombinasi mema tikan.

Raksasa yang terhempas

"Satu Raksasa Teknologi Naik, Yang Lainnya Terhempas," demikian judul halaman depan Financial Times. Media ini menyoroti penawaran saham perdana (IPO) Twitter pada tahun 2004, dan BlackBerry yang pamornya meredup. Perusahaan asal Kanada ini memba talkan rencana untuk menjual dirinya senilai 4,7 miliar dolar AS dan lebih memilih berutang 1 miliar dolar AS untuk berbenah.

Blackberry dengan layanan unggulan BBM berada di puncak kejayaan pada 2009-2010. Popularitasnya mulai meredup ketika layanan pesan instan mobile menyeruak di seluruh dunia, termasuk WhatsApp, Line, WeChat, dan KakaoTalk. Tidak seperti BBM, layanan pesan ini bisa diakses di beberapa platform selain BlackBerry, hal yang menarik jutaan pengguna baru setiap bulan.

Salah satu yang membuat kesal RIM, per usahaan induk Blackberry, adalah Kik Mes senger. Kik lahir dari tangan mahasiswa Uni versity of Waterloo, Ted Livingston, yang pernah magang di RIM. Pada tahun 2009 Livingston memutuskan keluar dari RIM dan mengembangkan aplikasi baru. Rencana awal adalah untuk mengembangkan layanan musik-sharing yang bekerja dengan BBM, tapi setelah beberapa bulan, ia malah memutuskan untuk membuat aplikasi chatting mirip BBM, tapi yang bekerja pada semua smartphone.

Sebetulnya, Livingston pernah mengajukan usul ini pada RIM. Ia mendekati mantan atasannya di awal 2010 dan mendorong RIM untuk memperluas BBM agar bisa bekerja pada pe rangkat non-BlackBerry.

Tetapi perusahaan tidak tertarik. "Mereka benar-benar menolak dan mereka mengatakan, 'Tidak, kami tidak akan melakukan itu'," kata Livingston dalam sebuah wawancara tahun 2013. "Orang-orang membeli BlackBerry untuk BBM." Livingston meluncurkan Kik Messenger pada bulan April 2010 dan diluncurkan ulang pada Oktober tahun yang sama. Setelah 15 hari, Kik diunduh 1 juta pengguna. RIM menggugat Kik dengan tuduhan melanggar hak kekayaan intelektualnya.

Di luar persoalan dengan Kik Messenger, bisnis Blackberry mulai terseok. Kini pangsa pasar mereka di ranah ponsel cerdas hanya 3 persen, jauh di bawah iPhone dan ponsel berbasis Android Samsung.

Guardian dalam ulasannya menyebut Blackberry gagal mengikuti perkembangan zaman. Koran ini menyamakan perusahaan teknologi dengan spesies dalam biologi: tanpa kemampuan beradaptasi, maka akan mati. Pendeknya, jika Anda gagal beradaptasi, maka Anda akan terhapus oleh sejarah.

Contoh yang jelas adalah Apple, yang pada tahun 1997 berada di ambang kebangkrutan. Steve Jobs sat itu menggunakan koneksi industrinya (terutama Bill Gates) untuk menstabilkan perusahaan dan mulai membangunnya kembali. Mereka membuat iPod, yang kemudian diterima dengan baik oleh pasar.

Tapi pada tahun 2005, Jobs mengakui bahwa membuat iPod tidak akan cukup: orang butuh alat untuk mendengarkan musik, tapi bisa untuk menelepon juga. Ia memerintahkan para insinyurnya untuk berinovasi menciptakan produk itu.

Jika Apple tidak bergeser dari membuat iPod ke iPhone, yang berarti pergeseran fokus bisnis, maka perusahaan akan tetap sempoyong an di akhir tahun. Namun pada kuartal pertama setelah diluncurkan pada 2007 Mac dan iPhone menyumbang sekitar 6 miliar dolar AS ke kantong perusahaan.

Jadi, kesuksesan dalam bisnis teknologi tidak bisa diramalkan, tapi kematian bisa. Begitu mereka asyik menikmati posisinya tanpa melakukan hal baru, maka ajal kian dekat. Walaupun, masalah bukan semata-mata bahwa mereka miskin ide, tapi juga tentang mengambil pilihan yang salah. Mereka tidak gagal beradaptasi; mereka gagal untuk membuat adaptasi yang benar. Itu sebabnya ada semacam pakem di dunia teknologi saat ini — setelah melihat jatuh-bangunnya perusahaan yang bergerak di bidang itu — yaitu bahwa hidup matinya perusahaan akan dilihat dalam lima tahun pertama perjalanannya. Tetap bertahan setelah itu, maka artinya selamat. Bisa jadi benar — jika berkaca pada Google, Twitter, atau Facebook — bisa jadi salah, jika berkaca pada Yahoo.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement