Selasa 05 Jan 2016 17:00 WIB

Kala Perempuan Hadir Dan Terlibat Di Desa

Red:

Tata kelola desa mengalami perubahan sejak dikeluar kannya UU Nomor 6 Ta hun 2014 tentang Desa. Setidak nya ada tiga hal penting yang tercantum dalam pa sal-pasal UU tersebut yakni tentang pen ting nya partisipasi warga untuk terlibat da lam tata kelola desa, musyawarah desa sebagai ruang partisipasi warga, dan alokasi dana desa dari pemerintah pusat untuk desa.

UU Desa tersebut membuka kesempatan yang luas bagi masyarakat desa untuk terlibat dalam forum-forum perencanaan pembangunan yang ada di desa. Namun, terbukanya peluang partisipasi warga desa tidak sepenuhnya bisa didapatkan oleh kelompok perempuan di desa. Sejumlah hambatan menghadang mereka.

Padahal, secara formal perempuan merupakan salah satu unsur masyarakat yang harus diundang dalam musyawarah desa (PP Nomor 43/2014). Namun, dalam praktiknya perempuan masih mangalami berbagai hambatan untuk berpartisipasi.

Perkara keberpihakan UU Desa terhadap kaum perempuan juga disebutkan oleh Staf Ahli Menteri Bidang Hubungan Antar lem baga Kementerian Desa, Pem bangunan Dae rah Tertinggal, dan Trasmig rasi, Lili Romli, yang hadir sebagai pembicara pada diskusi Memperkuat Partispasi Warga dalam Tata Kelola Desa: Men dorong Kepemimpinan Perempuan yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP UI di Jakarta 14 Desember 2015 lalu.

Lili menyebut UU Desa menetapkan asas partisipasi, kesetaraan, dan pemberdayaan. Ketiga asas sebagai fondasi pembangunan desa yang inklusif, yang meng akomodasi nilai kesetaraan gender melalui partisipasi dan pemberdayaan perempuan. Pasal 26 dan 63, tambah dia, menekankan bentuk pemerintahan desa yang berkeadil an gender.

Bentuk keberpihakan UU Desa terhadap perempuan, lanjut Lili, juga tergambar da lam Pasal 58 ayat 1 yang menyebutkan komposisi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang merupakan cermin dari demokratisasi di desa mesti mempertimbangkan aspek gender. "Semua ini menunjukkan keseriusan pemerintah untuk meningkatkan kualitas hidup perempuan yang ada di wilayah perdesaan," kata Lili.

Namun, diakui Lili, sejumlah hambatan menghadang kelompok perempuan dalam upaya partisipasi membangun desa. Ham batan tersebut antara lain tradisi, sikap, dan prasangka yang menolak partisipasi perempuan dalam kegiatan ekonomi, sosial, dan politik. "Juga ada hambatan legal. Serta keterbatasan akses terhadap pendidikan formal yang berdampak pada tingginya jumlah buta huruf pada perempuan."

Sejumlah hambatan

Untuk menghadirkan dan melibatkan perempuan dalam forum-forum partisipasi warga di desa, Puskapol UI melaksanakan program penguatan partisipasi kelompok perempuan dalam tata kelola desa sejak Desember 2014 hingga Desember 2015. Wilayah sasarannya ada di tiga desa yaitu Sidomulyo (Kota Batu, Jawa Timur), Belabori (Gowa, Sulawesi Selatan) dan Noelbaki (Kupang, NTT).

Sejumlah pengalaman muncul ketika kelompok perempuan di tiga desa itu hadir, menginisiasi temu warga, dan aktif mela kukan pengumpulan aspirasi warga. Mere ka menemui berbagai hambatan dan tantangan. Ada yang positif, tapi ada juga yang resisten dan menganggap kaum perempuan tidak perlu mengurusi pembangunan desa. Temuan riset Puskapol UI di tiga desa itu menunjukkan sejumlah hambatan bagi keterlibatan perempuan dalam forumforum partisipas i warga. Budaya patriarki masih sangat kuat menghambat peran serta perempuan.

"Ketika kita tinggal di satu desa di tem pat tinggal kita sendiri, kita di situ seperti terbelenggu tidak bisa bergerak. Kadang mau bergerak begini, kadang orang itu bertanya, 'kamu itu siapa?' ('kon iku sopo?') yang akhir nya bikin kita down. Jadi, kadang pe ran perempuan itu disepelekan bahkan oleh sesama perempuan," kata salah satu perempuan peserta riset Puskapol di Kota Batu.

Menteri Desa, Pembangun an Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Mar wan Jafar, mengakui praktik pelaksanaan musyawarah desa cenderung patriarki. Peran perempuan mengalami marginalisasi ketika mereka menyampaikan usulan yang berkaitan dengan kepentingan tubuh, nalar, dan keberlangsungan hidupnya.

Beban ganda yang disandang kaum perempuan juga menjadi hambatan. Perempuan di desa selain mengurus rumah tangga juga mengurus sawah atau ladang. Waktu di ladang biasanya dimulai pagi hingga sore hari. Kondisi tersebut tidak memungkinkan perempuan menghadiri forum-forum warga desa yang biasanya dilaksanakan pada malam hari.

Faktor untuk mendapatkan izin suami juga menjadi penghambat yang lain ketika perempuan ingin berperan serta dalam forum-forum warga desa. "Saat akan meng ikuti pertemuan di desa, suami akan bilang ke istrinya: aku kan kerja, kau yang di ru mah, kau yang urus anak," ungkap peserta riset di Kota Kupang.

Stigma bahwasannya perempuan lebih rendah kemampuannya dari laki-laki juga sudah mengurat berakar dalam budaya di tengah-tengah masyarakat. "Kalau urusan pembangunan itu urusan bapak-bapak, mama-mama hanya di dapur saja," kata peserta dari Kupang, menirukan tudingan miring kaum laki-laki kepada kaum perempuan. "Perempuan bisa apa sih. Paling hanya omong doang tidak bisa membuktikan apa-apa," timpal rekan peserta tadi, menyebutkan stigma yang merendahkan perempuan.

Infrastruktur juga menjadi hambatan perempuan untuk aktif dalam forum-forum desa. Penerangan jalan yang tidak memadai menimbulkan masalah keamanan untuk berjalan di malam hari. Kegiatan musya warah yang berlangsung hingga malam hari sulit dihadiri oleh kebanyakan perempuan.

Hambatan lainnya bagi perempuan un tuk terlibat dalam kegiatan desa adalah ma salah mobilitas yang terbatas karena kendala transportasi. "Di sini tidak ada angkutan umum, kadang ibu-bu kalau mau kumpul harus dijemput pakai motor satu-satu. Kalau jalan ya cukup jauh, jaraknya bisa sampai 5 kilometer, belum lagi kondisi jalan yang naik turun," ungkap peserta dari Gowa, Sulsel.

Riset Puskapol UI menemukan minimnya pengetahuan tentang tata kelola desa juga menjadi penghambat. Kegiatan-kegiat an yang diadakan bagi kelompok perempuan selama ini hanya sebatas pengem bang an keterampilan. Misalnya keterampilan membuat produk industri rumahan. Se men tara kegiatan pendidikan politik, khu susnya mengenai tata kelola desa, sangat jarang bahkan tidak pernah dilakukan.

Hambatan berikutnya adalah terbatasnya akses informasi terhadap peraturan desa (perdes). Minimnya akses informasi tentang perdes Ini khususnya tentang RPJDes dan APBDes, sehingga kelompok perempuan mengalami kesulitan dalam mengadvokasi kebutuhan mereka.

Kurangnya pelibatan perempuan juga menjadi hambatan yang tak kalah pentingnya. Keterlibatan perempuan hanya dimaknai sebatas mengundang perwakilan PKK. Padahal, masih ada kelompok-kelompok perempuan lain di desa.

Sangat penting

Wakil Direktur Puskapol UI, Anna Margret, dalam paparan hasil riset pihaknya di Jakarta 14 Desember 2015 lalu menyebut keterlibatan perempuan dalam partisipasi warga di desa sangat penting. Ini karena kebutuhan khas perempuan seringkali terabaikan dalam perumusan daftar kebutuhan warga.

Selain itu, lanjut Anna, perempuan terlatih untuk merencanakan dan mengelola kegiatan maupun keuangan rumah tangga, mencari jalan keluar dari kesulitan rumah tangga, dan membuat keputusan untuk pemeliharaan ataupun perawatan.

Hal lain yang membuat keterlibatan perempuan dalam partisipasi warga di desa dinilai sangat penting adalah karena perempuan terbiasa melakukan kegiatan mencatat, mendata, mengelola uang, mengatur waktu, menentukan prioritas, dan mengambil keputusan untuk urusan rumah tangganya.

Oleh karena pentingnya keterlibatan perempuan dalam partisipasi warga di desa, sementara selama ini keterlibatan tersebut terbilang masih rendah, maka perlu caracara untuk meningkatkan keterlibatan tersebut. Bagaimana caranya?

"Puskapol UI membagi caranya dalam tiga tahapan: hadir, terlibat, dan memim pin," jelas Anna. Pertama, membentuk orga nisasi untuk perempuan berkumpul dan belajar. Ini adalah tahapan hadir. Ke dua, melibatkan perempuan secara aktif da lam kegiatan organisasi dan dalam forumforum partisipasi warga. Ini dinamakan tahapan terlibat. Ketiga, mendorong perempuan mengisi kepemimpinan dalam orga nisasi dan forum-forum partisipasi warga. Inilah tahapan memimpin.

Sedangkan strateginya, lanjut Anna, Puskapol UI menawarkan tiga langkah juga, yakni tahu, mampu, dan awasi. Pada ta hap an mampu, perempuan melakukan pe me ta an kebutuhan warga (survei warga) dan me lakukan sosialisasi hasil survei serta meminta masukan warga dalam acara temu warga.

Selanjutnya, adalah tahapan mampu berperan aktif dalam musyawarah desa. Antara lan mampu menyampaikan daftar aspirasi warga, mampu menyepakati prog ram atau kegiatan untuk pembanguna desa, serta mampu menghasilkan dokumen seba gai rujukan RPJMDes, RKPDes, dan APBDes. Strategi berikutnya adalah pengawasan oleh warga. Dokumen yang dihasilkan menjadi rujukan warga dalam melakukan pengawasan untuk memastikan pem bangunan desa sesuai kebutuhan warga.

Sebagai upaya untuk mendorong kepe mimpinan perempuan di desa, Puskapol UI merekomendasikan peningkatan kapasitas kelompok-kelompok perempuan di desa, terutama dalam pengetahuan tentang tata kelola desa. Selain itu, juga perlu perluasan pelibatan kelompok-kelompok perempuan, tidak hanya PKK, dalam forum-forum partisipasi warga.

Rekomendasi lainnya yakni mendorong penguatan partisipasi warga desa (Tahu- Mampu-Awasi) untuk dapat memetakan kebutuhan warga (Tahu), memperjuangkan kebutuhan bersama masuk dalam RKP dan APBDes (Mampu), dan memastikan agar kebijakan pemerintah desa sesuai dengan kebutuhan warga (Awasi) agar dialokasikan secara rutin dalam anggaran desa.

Implementasi UU Desa, termasuk yang terkait dengan terbukanya kesempatan bagi warga untuk berpartisipasi –khususnya yang dialami kaum perempuan, memang masih mengalami berbagai hambatan. Namun, ada optimisme di situ karena selama ini sebenarnya kelompok perempuan sudah terbiasa dengan tugas-tugas domestik. Hanya saja masyarakat –terutama di desa yang kental dengan budaya patriarki—belum terbiasa melihat perempuan aktif bermasyarakat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement