Jumat 08 Aug 2014 12:00 WIB

Berburu Uang di Negeri Orang

Red:

Oleh:Muhammad subarkah -- Tiga belas ekor sapi perah asyik memakan rumput gajah yang disediakan di sebuah pelataran samping sebuah rumah mungil di Desa Jombok, Kecamatan Nganang, Kabupaten Malang. Kenikmatan para sapi tak terusik meski di dekatnya seorang perempuan mungil sibuk membersihkan kandang. Kotoran sapi mulai dikumpulkan untuk segera dimasukkan ke dalam lubang. Setelah itu, lantai kandang disiram dan disikat dengan sapu lidi. Sesekali sapi mengeluh. Sedangkan, si perempuan mungil sesekali mengusap keringat yang membanjiri mukanya dengan handuk kecil.

‘’Iya, inilah kegiatan saya setelah pulang kampung atau tak lagi menjadi TKI. Kami punya usaha ternak sapi perah kecil-kecilan. Lumayanlah untuk menyambung hidup,’’ kata si perempuan mungil yang mengaku bernama Jumiasih (31 tahun). Dia mengatakan, dalam satu hari hasil perahan sapinya mencapai 70 liter. Seluruh produksi susu sapinya sudah ada yang membeli, yakni sebuah perusahaan susu terkenal yang berbasis di Jawa Timur. Setiap satu liter susu sapi murni dihargai Rp 4.500. "Lumayanlah. Minimal balik modal. Paling tidak sehari saya dapat penghasilan bersih Rp 100 ribu. Ini syukur sekali,’’ ujarnya.

Jumiarsih adalah salah satu contoh dari sekian banyak mantan TKI yang sukses. Hidup relatif baik. Tak telantar serta hidup tak keruan sepulang dari merantau bekerja di luar negeri. Pada masa yang mulai beranjak tua, dia hidup tenteram bersama suaminya yang setia. Meski masih ada kekurangan, yakni belum diberi momongan, Jumiarsih tetap merasa perlu terus bersyukur. Hidup sebagai peternak sapi perah adalah impian yang tak pernah terbayangkan sewaktu kecil. Hidup dengan cukup sandang dan pangan itulah impian sederhananya dahulu. Apalagi, dia menyadari kedua orang tuanya adalah petani gurem biasa yang kerjanya berladang atau menjadi buruh tani biasa.

‘’Meski majikan saya baik dan terus meminta saya agar balik, saya merasa lebih tenteram di kampung sekarang. Malah kalau ada kesempatan, saya ingin datang ke sana dengan tujuan hanya untuk berkunjung biasa,’’ kata Jumiarsih yang mengaku cukup lama menjadi TKI sebuah rumah tangga milik orang keturunan Tionghoa di Singapura. Menurut dia, hidup di kampung yang sejuk lebih menyenangkan daripada hidup dan bekerja di sebuah apartemen di negeri jiran mungil dan hiruk-pikuk itu. "Hidup bersama sapi perah milik sendiri ternyata lebih menenteramkan,’’ katanya sembari tersenyum simpul.

 

                                                                      ******

Sampai hari ini, dengan jumlah TKI yang mencapai 6,5 juta orang dan tersebar di 142 negara, memang merupakan potensi devisa yang menggiurkan. Paling tidak dalam setahun mereka mengirimkan uang ke Tanah Air hingga sekitar Rp 120 triliun. Para TKI ini berasal dari 392 kabupaten/kota. Jumlah ini tentu sudah mayoritas karena Indonesia hanya mempunyai  590 kabupaten dan kota.

Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Gatot Abdullah Mansyur mengatakan, persoalan TKI memang harus bisa dikelola dengan baik. Ini penting agar potensi TKI bisa dijadikan wadah solusi sebagian persoalan yang membelit bangsa Indonesia. Dengan kata lain, TKI itu harus terus dapat dijaga agar segala kerja keras dan hasil keringatnya dapat menjadi sarana pengentasan kehidupan sosial rakyat agar bisa terbebas dari belenggu keterbelakangan.

‘’Dari sekian banyak yang pernah menjadi TKI, banyak di antara mereka yang berhasil meningkatkan taraf hidup. Bukan hanya menjadi wiraswastawan yang sukses, malah sudah banyak di antara mereka mampu menyenyam pendidikan tinggi. Di antara mereka malah ada yang jadi dosen dan mendapar gelar doktor. Ini tentu membanggkan. Tapi, harus diakui banyak juga yang belum berhasil. Akibatnya, mereka terus bolak-balik menjadi TKI. Nah, ini yang tidak diharapkan,’’ kata Gatot ketika berdialog dengan puluhan para calon TKI yang akan bekerja di Hong Kong dan Taiwan, di Surabaya, akhir Juli silam.

Hal yang paling disayangkan, lanjut Gatot, ketika mendapat gaji yang lumayan banyak di antara para TKI yang tengah bekerja di luar negeri itu yang menjadi lupa diri. Entah mengapa mereka tiba-tiba saja hidup dengan boros atau konsumtif. Mereka tak peduli menabung. Mereka di sana malah hidup berfoya-foya.

‘’Pola hidup TKI yang konsumtif saya tahu kini mengidap sebagian TKI kita yang bekerja di Hong Kong. Sekarang di sana lagi ngetren kebiasaan memperingati hari ulang tahun yang diupacarakan secara mewah. Untuk setiap perayaan, para TKI menghabiskan biaya hingga sekitar 10 ribu dolar Hong Kong dan untuk biaya konsumsinya hingga 5.000 dolar Hong Kong. Nah, kalau ditotal biaya sebesar ini sama nilainya dengan enam bulan gaji mereka. Pola hidup seperti inilah yang harus mereka bisa hindari,’’ Gatot mencontohkan.

Menurut Gatot, bekerja di luar negeri sebaiknya dilakukan hanya sekali. Dan, ini harus bisa dilakukan dengan sukses, baik secara finansial, segi kesehatan fisik, dan kemantapan rohani. Jadi, setelah menjadi TKI, mereka itu harus bisa mengabdi dan bekerja di Tanah Air sendiri dengan berwirausaha secara mandiri dari modal menabung selama bekerja di luar negeri itu.

"Salah satu contohnya bisa dilihat pada sosok Nuryati Solapari. Dia mantan TKI dari Arab Saudi asal Banten yang kini menjadi dosen dan tengah mengejar cita-cita menjadi doktor dan profesor. Di tempat lain pun banyak sekali yang sukses. Di Malang, misalnya, banyak TKI yang menjadi pengusaha sapi perah. Sekali lagi TKI sukses adalah bukan TKI yang bolak-balik bekerja di luar negeri. TKI sukses adalah TKI yang mampu mandiri ketika hidup di tanah airnya sendiri,’’ katanya.

‘’Ke depan, seiring datangnya era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), maka mau tidak mau TKI harus bisa mewujudkan dirinya sebagai sosok pekerja yang profesional. Untuk itu, ke depan Balai Latihan Kerja yang ada di setiap kabupaten harus diberdayakan dan ditingkatkan mutunya. Kalau bisa malah Balai Latihan Kerja itu dikelola oleh negara agar bisa dikontrol standar mutu pengajarannya,’’ kata Gatot kembali.

 

                                                                   ******

Terkait kehidupan para TKI, Koordintor Formigran Indonesia Jamaludin mengakui, banyak di antara para mantan TKI memang kemudian bisa hidup dengan sukses dan mandiri. Namun, harus diakui pula banyak di antara mereka kehidupannya tidak bertambah baik. Akibatnya, masuk akal bila banyak di antara mereka kemudian menjadi ‘TKI abadi’, yakni terus-menerus bekerja di luar negeri.

‘’Yang paling memprihatinkan adalah tingginya angka atau kasus perceraian di kalangan para TKI. Saya bisa pastikan di mana sebuah daerah punya jumlah TKI yang besar, di situ pasti angka perceraiannya tinggi. Di Malang, misalnya, angka perceraian di sini tertinggi se-Indonesia. Dan, ini penyebabnya karena banyak warganya yang  terpisah dengan keluarganya karena harus  bekerja di luar negeri,’’ kata Jamaludin.

Dari hasil kajian data Kementerian Pemberdayaan Perempuan diketahui, permasalahan TKI yang mengalami perceraian cukup tinggi, terutama di daerah perdesaan. Angka perceraiannya  berkisar tiga-empat kali lipat dari kasus perceraiannya pada keluarga biasa. Bahkan, di wilayah yang menjadi pemasok utama TKI, seperti di Nusa Tenggara Barat dan Lampung, angka perceraiannya malah semakin tinggi saja, yakni mencapai empat-lima kali lipat.

‘’Jika tak ada upaya pembinaan dan pencegahan serius, maka persoalan  ini akan terus membesar. Apalagi, fakta menyatakan dari tahun ke tahun jumlah TKI yang pergi ke luar negeri semakin banyak. Maka, angka perceraiannya pun dikhawatirkan akan bisa meledak. Berburu uang di negeri orang tak menjamin menghasilkan kebahagiaan,’’ ujar Jamaludin menandaskan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement