Rabu 14 Jan 2015 15:00 WIB

Jangan Biarkan Mereka Menganggur

Red:

Kenaikan harga bahan kebutuhan pokok mulai dirasakan masyarakat di seluruh penjuru Tanah Air. Ongkos transportasi, makanan, dan biaya hidup lainnya melaju mengikuti biaya produksi.

Untuk mengimbangi semakin mahalnya biaya hidup, khususnya di kota-kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan para pekerja menuntut kenaikan upah (gaji) bulanan. Bahkan, sampai sekarang teriakan tuntutan itu masih terus bergelora di beberapa daerah.

Di satu sisi, para pengelola perusahaan masih belum rela menaikkan upah karyawan, mengingat melemahnya daya beli masyarakat. Kalaupun terpaksa menaikkan upah sesuai dengan keputusan pemerintah setempat, pengusaha kini tengah berpikir untuk mengurangi jumlah karyawan.  Pemutusan hubungan kerja (PHK) pun menjadi pilihan. Hal ini tentu akan melahirkan pengangguran baru.

Masalah pengangguran sesungguhnya bukan hanya tanggung jawab pemerintah. Semua stakeholder, seperti kalangan dunia usaha diharapkan turut berpartisipasi menekan angka  pengangguran demi terjaganya stabilitas sosial dan ekonomi masyarakat.

Salah satu peran dunia usaha dalam menekan atau mengurangi pengangguran adalah melalui program tanggung jawab sosial (CSR). Lewat program tersebut, perusahaan bisa melakukan pelatihan keahlian dan keterampilan atau bahkan memberikan bantuan pendanaan bagi generasi muda untuk bisa mandiri kelak.

Namun, kalangan swasta kurang sependapat kalau mereka juga dibebani pekerjaan untuk mengurangi pengangguran. Ketua Komite Tetap Tanggung Jawab Sosial Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) Siddharta Moersjid menegaskan pengangguran bukanlah tanggung jawab perusahaan.

"Itu kan bukan tanggung jawab perusahaan. Perusahaan itu sudah cukup kebingungan dengan biaya produksi yang meningkat. Masa menekan jumlah pengangguran ditibanin lagi ke perusahaan," katanya kepada Republika, akhir pekan lalu.

Harus tahu diri

Siddharta mengungkapkan CSR jika diartikan dalam bahasa yang sederhana adalah tahu diri. Menurutnya, tak hanya perusahaan yang memiliki CSR, pemerintahan bahkan masyarakat pun harus memiliki CSR atau rasa tahu diri tersebut. "Kalau meningkatnya jumlah pengangguran sebagai dampak kenaikan BBM, pemerintah harusnya sudah mengetahui dampak tersebut sebelum mengambil keputusan."

Siddharta menegaskan semua harus berjalan sesuai porsinya. Perusahaan bukan tidak bisa berperan dalam memerangi pengangguran. Tetapi, yang wajib bagi perusahaan hanyalah mempertahankan seluruh karyawannya agar tidak menjadi pengangguran.

Untuk itu, Siddharta mengungkapkan, pelatihan kepada setiap karyawan agar lebih kreatif dan produktif adalah langkah tepat suatu perusahaan untuk memagari karyawannya agar terus bisa bertahan. Memberi pelatihan kepada masyarakat untuk membantu pengembangan wirausaha bukanlah tanggung jawab perusahaan. "Bagaimana bisa? Perusahaan itu sudah terbebani dengan meningkatnya biaya produksi. Masa masih harus memikirkan nasib orang lain," ujarnya.

Lebih jauh Siddharta mengatakan, bukan tidak mungkin ada perusahaan yang memberikan pelatihan dan mencetak masyarakat yang kreatif. Akan tetapi, jangan diartikan itu sebagai kewajiban perusahaan. "Kalaupun ada, itu hanya sedekah perusahaan. Sedekah kan hukumnya nggak wajib, tapi sunah."

Untuk program CSR yang menjadi tanggung jawab perusahaan, menurutnya, sudah tertera dalam SNI ISO 26000 tahun 2013. Tanggung jawab tersebut meliputi accountability, transparency, enhical behaviour, respect for the rule of law, respect for stakeholder interests, respect for international norms of behavior, dan respect for human right.

Berdasarkan hal tersebut, tanggung jawab sosial sudah jelas. Karena itu, dia melanjutkan, jangan ada oknum yang berusaha memeras perusahaan dengan memaksa menjalankan program yang bukan tanggung jawabnya.

Namun, banyak juga perusahaan yang turut berpartisipasi untuk menekan angka pengangguran. Melalui program CSR, PT Samsung Electronics Indonesia (SEIN), misalnya, membangun Rumah Belajar Samsung di Tanjung Morawa, Sumatra Utara. Di rumah ini, sedikitnya 300 anak putus sekolah dari 33 kabupaten/kota di Sumatra Utara mengikuti pelatihan (kursus) keterampilan bidang elektronik dan teknologi informasi (TI). Selama enam bulan, mereka  menimba ilmu keahlian dari instruktur yang sudah memperoleh sertifikasi dari pihak Samsung. "Rumah Belajar Samsung ini memberikan kesempatan bagi para pemuda untuk masa depan yang lebih baik dengan pelatihan keterampilan elektronik," ujar Vice President Corp Busines and Corp Affair PT Samsung Electronics Indonesia (SEIN) Kang Hyun Lee, belum lama ini.

Pembangunan Rumah Belajar tersebut merupakan program CSR PT SAIN bekerja sama dengan Yayasan Cinta Anak Bangsa (YCAB). Sebelumnya, perusahaan elektronik asal Korea Selatan ini telah membangun sekolah serupa di Jakarta dan Cikarang, Bekasi, Jawa Barat. Dengan  beroperasinya Rumah Belajar di Tanjung Morawa itu, diharapkan sebanyak 900 anak didik akan dihasilkan menjadi teknisi elektronik dalam setahun ke depan.

Pembangunan rumah belajar itu bertujuan untuk membantu anak-anak putus sekolah, khususnya mereka yang kurang mampu di Sumut, untuk mendapatkan pelatihan keterampilan elektronik selama enam bulan. Melalui kursus ini, peserta diharapkan memililki keahlian sebagai bekal untuk mencari pekerjaan bahkan menjadi wirausaha.

"Kami percaya masa depan anak muda dibangun melalui pendidikan yang mereka dapatkan sejak kecil. Melalui Rumah Belajar Samsung pun masa depan mereka akan bisa lebih terang," ungkapnya.

Sekretaris Yayasan Cinta Anak Bangsa M Farhan mengatakan, pihaknya bersama Samsung berusaha mewujudkan impian anak-anak putus sekolah dan yang memiliki keterbatasan ekonomi untuk menjadi orang hebat yang memiliki budi pekerti, jujur, berkualitas, dan berdedikasi tinggi. C93

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement