Rabu 07 Jan 2015 17:26 WIB

Tangan Swasta Ditunggu di Dearah Bencana

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID, Akhi-akhir ini, serentetan bencana kembali melanda sebagian wilayah bumi pertiwi. Mulai dari meletusnya Gunung Sinabung di Kabupaten Karo, Sumatra Utara, longsor di Banjar Negara, hingga banjir yang menggenangi Kabupaten Bandung dan Kota Serambi Makkah.

Peristiwa yang timbul akibat fenomena alam tersebut telah merugikan masyarakat hingga miliaran rupiah. Tak hanya itu, kerugian dalam bentuk hilangnya nyawa dan cacatnya anggota tubuh menjadi catatan tersendiri yang tak bisa dikalkulasikan dalam jumlah rupiah. Belum lagi, kondisi pascabencana biasanya disambut kenaikan harga kebutuhan bahan pokok di pasaran. Semua ini menggambarkan kompleksitas tanggung jawab sosial yang harus diemban setiap elemen masyarakat serta pemerintah.

Namun, peran pemerintah dan masyarakat saja kiranya belum cukup untuk memulihkan daerah yang terkena bencana. Tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR) sangat diharapkan dalam meringankan beban masyarakat yang tertimpa musibah, termasuk dalam memperbaiki dan membangun kembali sarana dan prasarana umum yang rusak akibat bencana.

Pengamat CSR, Jalal, mengungkapkan, perusahaan di Indonesia masih minim kontribusinya dalam penanganan bencana. Mereka pada umumnya hanya berperan setelah bencana datang. Padahal, idealnya perseroan juga harus berkontribusi dalam persiapan menghadapi musibah bencana. "Perusahaan hanya melakukan tanggap darurat. Datang ke lokasi, bawa makanan, pakaian, obat-obatan, setelah itu selesai," ujarnya kepada Republika.

Seyogianya, kata Jalal, perusahan tidak harus menunggu bencana untuk merealisasikan fungsi CSR, yaitu meminimalisasi dampak negatif dan memaksimalkan dampak positif. "Semestinya, perusahaan bisa berperan sejak pencegahan datangnya bencana." Jalal menambahkan, perusahaan harusnya bisa berkoordinasi dengan perusahaan lainnya terkait produk apa saja yang akan disalurkan untuk membantu para korban bencana. "Harus bagi-bagi tugas biar bantuan yang diberikan seimbang antara kebutuhan satu dengan kebutuhan lainnya," paparnya.

Peran perusahaan dalam membantu korban bencana tak hanya sampai di situ. Dibutuhkan waktu yang panjang untuk suatu daerah yang terkena bencana bisa kembali ke kondisi normal. Untuk hal ini, menurut Jalal, perusahaan bisa menjalin kerja sama dengan pemerintah pusat atau daerah sejak persiapan hingga pemulihan selesai.

"Contohnya, program yang dilakukan Danone saat gempa di Yogyakarta. Mereka membantu peternak sapi hingga pulih karena mereka sadar bahwa susu yang mereka butuhkan didapat dari peternak yang ada di sana," kata Jalal.

Menurut dia, program pemulihan yang dilakukan perusahaan bekerja sama dengan pemerintah harus lebih fokus pada pengadaan tempat tinggal. Untuk program ini, ada dua cara yang bisa dilakukan. Pertama, perusahaan memperbaiki fasilitas yang ada di lokasi bencana jika wilayah tersebut masih memungkinkan untuk ditempati. Kemungkinan lainnya adalah mencari letak geografis baru yang tidak rawan bencana, sehingga korban bisa kembali memperbaiki kehidupannya.

Kutipan "Semestinya, perusahaan bisa berperan sejak pencegahan datangnya bencana."

Sementara itu, Pimpinan Lembaga La Tofi School of CSR, LaTofi mengungkapkan, perusahaan wajib bekerja sama dengan pemerintah untuk berkontribusi memulihkan daerah bencana selama itu wilayah pemangku kepentingan perusahaan tersebut. "Itu kan sudah jadi tanggung jawab perusahaan untuk memberikan efek positif terhadap apa-apa yang ada di sekitarnya," terangnya.

LaTofi menilai bahwa sebagian besar perusahaan di Indonesia sudah sadar dan peka akan fungsi CSR. Menurutnya, perseroan sudah menjalankan tanggung jawabnya dengan berkontribusi membantu para korban bencana. "Kemarin saja yang longsor di Banjar Negara kan BRI turun tangan untuk membantu. Malahan, dirutnya sendiri lho yang turun langsung ke lapangan," ujarnya mencontohkan.

Namun, kata LaTofi, banyaknya libur panjang sedikit menghambat program kerja CSR untuk membantu korban bencana. Karena itu, ia mengharapkan agar masyarakat memaklumi keadaan tersebut.

Perlu edukasi

LaTofi mengungkapkan, pemerintah harus lebih giat memberikan edukasi tentang tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan sekitarnya. Sementara itu, Jalal menilai, Pemerintah Indonesia masih tertinggal terkait sosialisasi program CSR. Ketinggalan tersebut membuat sulit perusahaan jika mengandalkan edukasi dari pemerintah. "Yang mereka pikirkan kan hanya duitnya doang," paparnya.

Menurut Jalal, akan lebih efektif lagi jika perusahaan mau belajar ke perusahaan  di luar negeri. Paling tidak, tambahnya, perusahaan bisa memanfaatkan forum regional yang ada di tingkat Asia. "Di tingkat Asia juga ada Asian Forum on Corporate Social Responsibility. Itu sangat bagus jika dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia untuk belajar masalah CSR," katanya.c93 ed:khoirul azwar

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement