Ahad 15 Jan 2017 16:00 WIB

Mencari Sastra Sunda di Kota Garut

Red:

Toko itu terlihat berbeda, tampak  manis di lingkungannya, di Jalan Ciledug, Kota Garut. Toko Merpati tulisan warna merah nama toko itu dalam huruf bersambung khas gaya retro. Begitu pula desain tokonya. Garis-garis pada dinding serta sebidang kecil bata timbul dan tenggelam di bagian atas toko.

Buku-buku yang dipajang pada etalase jelas menyatakan bahwa toko itu menjual buku. Suasana agak suram di dalam.

Di dalam toko buku itu seolah kita masuk ke dalam era empat hingga lima dasawarsa silam. Mengingatkan suasana di dalam toko buku terkenal seperti Gunung Agung di Tugu, Yogyakarta.  Toko dengan buku yang tertata rapi dalam lemari etalase berbingkai kayu cokelat tua. Buku-buku itu dijajarkan bersebelahan hingga jelas terlihat wajah depan sampulnya.

Yah, beginilah toko buku pada masa saya kecil dulu, kata Asih Setiasih, sang pemilik Toko Merpati. Ia juga yang melayani pengunjung yang datang mencari buku atau sekadar melihat-lihat koleksinya.

Asih selalu siap mendengarkan permintaan buku yang dicari pengunjung dan mencarikan yang dimaksud. Sebab, terkadang permintaan itu tak langsung menunjuk pada judul buku atau nama penulis yang tepat.

Mencari Mangle

Sebagian besar buku di toko yang dibangun pada 1960-an ini tentang Sunda, sastra Sunda, legenda kawasan Sunda, dan tentunya berbahasa Sunda. Beberapa judul buku tentang Kabayan. Karya sastrawan Sunda juga bisa ditemukan di tempat ini.

Sebut saja di antaranya Aan Merdeka Permana, Ajip Rosidi, Samsoedi, Tatang Sumarsono, Usep Romli, Ahmad Bakri, Aam Amilia, dan Yoseph Iskandar.

Sebagian buku  pun ada dalam bahasa Indonesia, seperti  Kerajaan Galuh karya Her Suganda, buku-buku karya Saleh Danasasmita Menelusuri Prasasti Batutulis, Menemukan Kerajaan Sunda, dan Mencari Gerbang Pakuan.

Namun,  buku-buku puisi karya WS Rendra, Taufik Ismail, Chairil Anwar, dan kawan-kawan pun tampak terpajang pada posisi yang mudah terlihat.

Meski tergolong sepi, Toko Merpati tetap berpengunjung, terutama pada musim liburan. Itu saatnya para perantau atau mereka yang berwisata ke Garut. Mereka umumnya memang mencari buku-buku tentang Sunda, katanya.

Umumnya pengunjung tokonya datang dari Garut dan sekitarnya, Bandung, dan Cirebon. Ada juga dari kota yang lebih jauh lagi.

Namun, pengalaman yang mengesankan bagi Asih adalah saat seorang dari Bandung, datang khusus ke Garut untuk menyambangi tokonya untuk membeli majalah Mangle, majalah yang terbit sejak 1957. Rupanya orang tersebut tak menemukan lagi  majalah berbahasa Sunda yang ia cari itu di Bandung. Ia pun disarankan ke Toko Merpati, Garut.

Memang Mangle selalu ada di sini, kata Asih tentang majalah berbahasa Sunda yang berumur panjang itu. Tak heran bila majalah yang didirikan di Bogor itu ditempatkan pada tempat yang mudah  terlihat bersama dengan tabloid berbahasa Sunda, Galura, grup Pikiran Rakyat.

Sudah beberapa tahun terakhir ini Asih tak lagi menggunakan tenaga pelayan toko. Sebab, selain pengunjung toko tergolong tak banyak, tak mudah mempekerjakan orang tanpa pengetahuan tentang buku.

"Kalau orang mencari buku tertentu, dia langsung bilang nggak ada. Padahal, sebenarnya ada, kasihan orang yang sudah capek-capek mencari tidak mendapatkannya, ujar ibu dua anak ini, Begitulah orang kalau bekerja tidak dengan hati dan tidak punya pengetahuan.

Karena itu, wanita yang awal tahun ini tepat berusia 54 tahun itu memutuskan melayani sendiri pengunjung dan calon pembeli.

Tak heran pula toko ini sebagian waktu tampak tertutup. Maklum, si empunya toko bekerja di Badan Keluarga Berencana Pembedayaan Perempuan Garut.  Jadi, saya buka toko sepulang dari kantor, ujarnya seraya tertawa.

Ia tak mengandalkan operasional sehari-hari toko pada sang suami, Asep Wawan Setiawan,  yang setiap hari sudah sibuk mengurusi pabrik batu bata presnya, tidak juga pada kedua anaknya yang masih kuliah dan sekolah. Tapi, saya senang menjalaninya. Soalnya saya cinta buku.

Titipan penerbit

Masa keemasan toko bukunya telah jauh berlalu. Pukulan telak terasa saat buku-buku sekolah tak lagi dijual lewat toko buku sekitar 15 tahun silam. Sejak buku-buku langsung didrop ke sekolah-sekolah, tidak ada lagi orang yang beli di toko buku, ujar Asih lirih.

Namun, cucu pembatik garutan pertama di Garut ini tak ingin warisan orang tuanya gulung tikar. Ia ingat pesan orang tuanya Sapingi dan Enunguntuk mempertahankan toko yang mereka bangun sendiri itu. Karena itu, bagaimanapun amanah harus dijaga, katanya sambil tersenyum.

Buku-buku tulis pun bukan menjadi sumber penghasilan toko. Sebab, banyak toko yang sudah menjual buku-buku tulis dan alat-alat keperluan sekolah.  Bersaing dengan mereka dinilainya tiada guna. Jadi, saya hanya menerima buku-buku titipan penerbit, ujar dia.

Penerbit Gramedia adalah salah satu di antara penerbit besar yang  tetap menitipkan bukunya ke Toko Merpati. Ada juga penerbit sastra seperti Pustaka Jaya. Asih pun menerima buku-buku yang diterbitkan sendiri oleh sang penulis.

Tak hanya merekam sejarah turun naiknya bisnis perbukuan, toko tua berdesain manis  yang dirancang pamannya, Ir Nuroni, dari Bandung pada 1954 itu merekam hampir seluruh sejarah hidup Asih. Sebab, di situ pula ia tinggal bersama keluarganya hingga kini.

Cucu dari pengikut Pangeran Diponegoro yang hijrah ke Garut ini berharap tokonya bisa berumur panjang. Hal yang membuatnya gembira, keinginan sang anak untuk terlibat mengelola toko setamat kuliah.

Dia bilang, 'Bagaimana menyatukan jualan minuman dengan  toko  buku?' Saya pikir itu baik, katanya sambil tersenyum optimistis.     Oleh Nina Chairani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement