Rabu 21 Dec 2016 17:00 WIB

Tuhan, Jangan Tinggalkan Aku (62)

Red:

"Mama dongeng, ya Nak….:"

"Sudah dongeng dari tadi…."

"Hmm, lapar, ya Cintaku?"

"Tidak, Mama," tolak si kecil bagai memahami jalan pikiran ibunya.

Perkataan ibunya hanyalah penghiburan.

Mama akan berpura-pura mencari makanan, berkeliling kamar, meyusuri setiap ubin dari satu sudut ke sudut lainnya.

Kadang sambil menggendongnya, tetapi kemudian lebih sering hanya mampu menuntunnya.

"Mama cari makanan dulu, ya…."

"Jangan, Ma, jangan. Nanti kita dipukul," pintanya terdengar memelas sekali.

Seraut wajah bocah yang mengambil garis keturunan perpaduan antara ibu dengan ayahnya, campuran Menado dan Sunda, tampan rupawan. Kini tampak kuyu dengan sorot mata melembut, penuh dengan luka dan kepedihan yang dalam.

Fatin tak pernah mengira jika peristiwa ini kelak akan sangat mempengaruhi kehidupan anaknya, membekaskan traumatis jiwa yang sangat dalam.

Hingga bertahun-tahun kemudian!

Fatin memeluknya lebih erat lagi, menciumi wajah rupawan dan tanpa sadar air bening mengalir dari sudut-sudut matanya. Ridho kecil menikmati kehangatan dekapan sang ibu.

Air matanya pun menitik. Lihatlah, kini air mata ibu dan anak menyatu bak aliran sungai kecil yang menebah laju, terus menuju hulu, menuju samudera luas.

@@@

Pintu digedor dari luar. Fatin telah menguncinya dari dalam.

Ia tak peduli dengan rasa lapar, asalkan terhindar dari penganiayaan.

Biarlah, lapar masih bisa mereka tanggung.

Ada kulkas kecil di ruangan ini, beberapa kotak roti kering dan biskuit serta keju masih layak makan. Ada juga sejumlah minuman dingin dan beralkohol, ini sama sekali tak bisa dikonsumsi oleh Fatin dan anaknya.

Setelah tiga hari tiga malam makanan yang layak konsumsi itupun sudah licin tandas. Sesekali Frankie meninggalkan makanan alakadarnya di depan pintu. Makanan berupa sisa-sisa makanannya sendiri.

Sepertinya makanan anjing peliharaan tetangga jauh lebih bagus daripada makanan sisa si jahanam.

"Makan ini, he, betina tak tahu diuntung!" teriaknya lantang dari balik pintu.

Fatin terlonjak dari lamunannya. Dihampirinya pintu, mencoba mengintip dari lubang kunci. Sia-sia, tidak tampak apapun.

"Kalau tidak dimakan, kamu yang berdosa! Karena sudah membiarkan anjing kecil itu mampus!"

Dada Fatin bergemuruh mendengar teriakan iblis dari luar.

Rasanya ingin saja menghambur dan menikamkan pisau tjam yang selalu dikantongi di saku roknya ini ke mulut si jahnam.

Merobek-robek mulut busuk yang dagingnya pantas dikerkah, lantas dibuang ke comberan!

(Bersambung)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement