Selasa 29 Nov 2016 13:00 WIB

Tuhan, Jangan Tinggalkan Aku (44)

Red:

"Bisakah Anda mengusahakan dokumen perjalanan kami berdua?" tanya Fatin pada tengah malam itu.

"Take it easy! Ada orang penting di Jakarta yang kenal dekat denganku. Aku akan minta tolong dia untuk bantu mengurus dokumen perjalanan kalian," janji Frankie.

Benar saja, selang beberapa hari kemudian Fatin dihubungi seseorang di Mataram. Lelaki itu, keturunan Tionghoa yang mengaku kenalan Frankie, menyerahkan dokumen yang diperlukan Fatin.

"Tiket dan visa kalian sudah diurus. Kalian terbang dari Bandara Mataram, transit di Singapura. Ganti pesawat, lanjut ke Bandara Schiphol," katanya dalam bahasa Inggris dialek khas Singapura.

Fatin diminta sejumlah dana. Menurut pikirannya, tidak seberapa jika dibandingkan dengan dokumen perjalanan yang bisa diperoleh dalam tempo singkat. "Ya, aku paham, terima kasih untuk semuanya," kata Fatin menyetujui.

@@@

Subuh itu, hujan turun dengan lebat, keluarga Samawa melepas keberangkatan Fatin dan si kecil. Mereka bercucuran air mata menyaksikan kekerasan hati Fatin meninggalkan Tanah Air, menuju Negeri Kincir Angin.

Fatin hanya meminta Samawa mendampinginya sampai Bandara Mataram. Ia tidak mengizinkan Mini ikut bersama mereka. Si kecil Ridho bisa sulit dipisahkan dari sosok yang selama itu telah mengasuhnya dengan baik sekali.

"Mama, kita pergi ke mana?" tanya si kecil, menatap wajah ibunya kebingungan.

Mereka sudah berada di atas kendaraan menuju Bandara. "Kita akan terbang jauh, Nak, tenanglah," bisik Fatin mendesir di telinganya.

"Ada yang mengikuti kita, Mbak Fatin," kata Samawa tibatiba saat mereka memasuki kawasan Mataram.

"Siapa kira-kira?"

"Bukankah itu bertiga?

Sepertinya istrinya Pak Rimbong dan tukang pukulnya."

"Hindari mereka, Bang Sam!"

pinta Fatin, cemas sekali.

"Pagi buta begini, mengapa mereka sudah tahu keberadaan kita, ya?"

Tak urung Samawa pun terheran- heran sekaligus terkejut bukan main.

"Mungkin saja mereka punya mata-mata di Mataram," lanjutnya coba menerka.

"Sebenarnya apa yang diinginkan mereka selain si kecil?" bisik Fatin.

"Hanya Ridho yang mereka inginkan," jawab Samawa tegas.

"Tapi demi apa, coba?"

"Tentu saja demi seluruh warisan yang akan diberikan ayahnya kepada si kecil. Begitulah menurut adat sukunya Pak Rimbong yang aku tahu…."

"Ah, omong kosong!" seru Fatin geram sekali.

Beberapa saat lamanya mobil yang dikemudikan Samawa melesat menjauhi kendaraan para pemburu.

(Bersambung)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement