Kamis 17 Nov 2016 17:00 WIB

Tuhan, Jangan Tinggalkan Aku (34)

Red:

"Suara Abah terdengar gemetar. Apakah Abah menahan tangis, ya?" gumam Fatin membatin. Airmatanya pun tak urung bercucuran, membasahi pipipipinya yang mulus, sama sekali tanpa polesan make up hanya bedak tipis seperti biasanya.

Usai upacara walimahan, Rieki pamitan hendak mendahului mereka terbang ke Jakarta. Sedangkan Rimbong mengajak Fatin untuk kembali ke Mataram.

"Kita akan melihat kemungkinan bisa tinggal di sini sejak sekarang," katanya mengejutkan Fatin yang sudah resmi menjadi Nyonya Rimbong.

"Maksud Bapak, eh…. Sebaiknya aku memanggil apa?"

"Para suami dalam keluarga besarku biasa dipanggil Papi. Tapi istriku memanggilku semaunya saja. Aku ingin kamu saja yang memanggilku Papi.

Berharap dari rahimmu akan terlahir keturunan Rimbong."

Fatin membiarkan lelaki itu menyentuhnya untuk pertama kali.

Hanya beberapa hari saja mereka menginap di sebuah hotel berbintang di Mataram. Kemudian Rimbong mengatakan bahwa ia telah mendapatkan sebuah bungalow di Senggigi.

"Rumah pantai yang kamu angankan tempohari," ujar lelaki itu, memapah Fatin yang ditutupi matanya. "Sekarang bukalah matamu, tralalala!"

Fatin membuka matanya perlahan. Sedetik ia bisa melihat mereka berdua berdiri di tepi pantai yang berpagar. Detik berikutnya adalah panorama elok dengan bulatan matahari yang memamerkan cahaya keemasan di permukaan laut.

Sunrise, sepotong matahari tenggelam terindah yang pernah dilihatnya!

Ketika ia menoleh ke belakang, masya Allah! Sebuah bangunan megah bernama bungalow tampak menjulang dan menantang siapapun untuk segera memasukinya. "Indah sekali pemandangannya….

Oh, apakah aku sedang bermimpi, Papi?" seru Fatin tertahan. Sepasang matanya berbinarbinar elok nian, seakan hendak membersamai keindahan di sekitar dirinya.

"Mimpiku adalah seorang anak, keturunanku yang harus terlahir dari rahimmu, Sayangku, " kata Rimbong seraya merengkuh bahu Fatin, memeluknya dengan mesra.

Seketika ada yang membuncah di kepala Fatin. Seperti ada sesuatu yang menderas, mengombak dan menggelombang dari ubun-ubun, terus menghajar telak benteng hatinya. Fatin terbuai tembang asmaradhana.

"Bagaimana? Apakah kamu mau memberiku seorang anak, Sayangku?" bisik lelaki itu mendesir di telinganya. "Insya Allah," sahut perempuan cantik itu terdengar mengambang. @@@

(Bersambung)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement