Sabtu 12 Mar 2016 20:34 WIB

Gerhana Matahari Total, Dulu dan Sekarang

Red: operator

Jefri baru berusia enam tahun saat itu. Di antara anak-anak lain, ia termasuk anak nakal yang susah diatur. Tidak mau sekolah dan tidak bisa membaca. Namun, itu justru membuatnya menjadi salah satu anak yang beruntung. Satu dari sedikit anak Indonesia yang menyaksikan fenomena alam yang luar biasa.

Ketika gerhana Matahari total melintasi Indonesia pada 1983, suasana begitu mencekam.

Anak-anak dan orang dewasa takut keluar rumah.

Bukan apa-apa, khawatir kalau tergoda melihat ke atas dan mata menjadi buta.

Sedetik pun jangan melihat Matahari atau buta! Jangan melihat dengan kacamata gelap!

Jangan melihat dengan film negatif polos, apalagi dengan mata telanjang! Nanti buta. Berulang-ulang setiap hari disiarkan di televisi.

Saya termasuk salah satu dari jutaan anak dan orang tua yang percaya pada informasi yang ditayangkan satu-satunya stasiun televisi ketika itu.

Daripada berisiko, saya memilih tetap di rumah, menyaksikan gerhana dari televisi.

Pemerintah ketika itu memusnahkan lebih dari 18 ribu kacamata gerhana yang belum sempat diedarkan. Nasib buku berisi panduan membuat alat sederhana untuk melihat gerhana Matahari pun tidak kalah malangnya.

Ditarik dari peredaran dan dihancurkan. Pejabat daerah menyalakan sirene, masyarakat diminta menutup jendela, genteng, dan segala lubang yang memungkinkan sinar Matahari masuk.

Beberapa orang menyikapinya berlebihan.

Ada yang menyuruh anak-anaknya bersembunyi di kolong tempat tidur. Di beberapa daerah, peternak menutup mata hewan mereka agar tidak buta.

Untung saja, Jefri tidak menggubris propaganda pemerintah. Pada usia yang masih belia, ia meloloskan diri keluar rumah menikmati indahnya pemandangan gerhana. Ia menjadi sedikit dari anak Indonesia yang bisa menikmati pemandangan gerhana Matahari total yang berlangsung selama enam menit, dua kali lebih lama dari gerhana pada 2016 yang hanya terjadi sekitar tiga menit.

Saya percaya, pemerintahan Orde Baru saat itu, Pak Harto, tidak berniat membodohi rakyat.

Namun, secara pribadi, presiden sepertinya juga memercayai bahaya gerhana yang dapat menyebabkan kebutaan. Bersama keluarga, pemimpin Orde Baru itu melewati fenomena gerhana di dalam rumah. Entah siapa yang salah.

Apakah pakar yang memberi nasihat salah kepada sang presiden? Atau, mungkin ia percaya dan pakar tidak berani mengungkapkan pendapat yang berbeda dan justru memberi pembenaran?

Tentu saja sekarang bukan waktunya bicara siapa yang benar atau salah. Ini saatnya seluruh pihak mengambil pelajaran.

Ketika sebuah kekuasaan berdiri sendiri tanpa ada kekuatan penyeimbang, semua kebenaran hanya bersumber pada satu pintu. Akibatnya, ketika pemerintahan memercayai pendapat yang salah, semua harus menyetujui pendapat yang salah.

Ketika pemerintah memilih posisi yang salah, semua ikut terjebak dalam posisi yang salah.

Untung saja kealpaan pemerintah saat itu hanya dalam menyikapi gerhana.

Kerugian yang saya derita dan juga rakyat lainnya terkait ini hanyalah kehilangan kesempatan melihat fenomena alam yang luar biasa.

Saat turis justru sengaja berdatangan ke Indonesia untuk menyaksikan gerhana yang berlangsung lama enam menit, bangsa Indonesia justru bersembunyi di dalam rumah karena ketakutan.

Bayangkan, jika kesalahan pendapat penguasa terjadi ketika memutuskan apakah menjual aset negara ke tangan asing atau tidak? Berperang atau damai? Tentu saja sangat berbahaya.

Patut kita syukuri periode kekuasaan terpusat sudah berakhir.

Salah satu pencapaian terbesar dalam reformasi adalah kebebasan. Kebenaran tidak lagi milik penguasa semata. Setiap orang punya hak berbicara.

Terlepas segala kekurangannya, kekuasaan parlemen dan yudikatif bukan lagi sekadar simbol, melainkan mempunyai kekuasaan kontrol terhadap pemerintahan. Ketika gerhana datang, kini rakyat bisa menyambutnya dengan sukacita.

Berkumpul bersama menikmati pemandangan yang fenomenal.

Saya termasuk yang iri tidak bisa menyaksikannya secara langsung karena tinggal di daerah yang tidak dilewati. Seandainya saja dulu tidak ketakutan, saya mungkin seberuntung Jefri menyaksikan gerhana Matahari total yang berlangsung cukup lama.

Dari gerhana, setidaknya kini kita belajar, termasuk bahwa ini bukan sekadar fenomena alam, melainkan tentang kebebasan, buruknya kekuasaan tunggal dan terpusat, serta kesetaraan.  Oleh Asma Nadia

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement