Rabu 24 Jun 2015 14:00 WIB

Plus Minus Larangan Inden Properti

Red:

Kebijakan pemerintah dalam membangun bisnis properti di Tanah Air dinilai belum sepenuhnya memihak. Sejumlah peraturan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia (BI), seperti larangan inden, disebut justru memberatkan pengembang.

Namun, hal itu tidak sepenuhnya benar. Otoritas Jasa Keuangan menyatakan bahwa kebijakan "loan to value" (LTV) dan larangan inden tersebut sudah dipertimbangkan sehingga masyarakat tidak perlu khawatir terkait dampak negatifnya.

"Mengenai kemungkinan perlambatan sektor perumahan akibat kebijakan LTV dan larangan inden tersebut, kami dari OJK daerah memastikan hal itu tidak akan terjadi," kata Kepala Bagian Perizinan OJK Kantor Regional IV Jawa Tengah-Daerah Istimewa Yogyakarta Probo Sukesi di Semarang, pekan lalu.

Menurutnya, keputusan tersebut sudah diperhitungkan sejak awal oleh pemerintah dengan tujuan untuk meringankan beban masyarakat. Sebagai gambaran, dengan larangan inden, masyarakat diharapkan lebih dulu tahu dan memahami produk apa yang diinginkan sebelum memutuskan untuk membeli. Di sisi lain, pihaknya juga berharap ada keterbukaan dari pengembang untuk dapat menyampaikan kepada calon konsumen mengenai risiko, dampak, dan kriteria produk yang akan diberikan kepada konsumen.

"Dengan keterbukaan justru dapat meningkatkan daya beli dari masyarakat, termasuk larangan pemerintah mengenai inden," katanya seperti dikutip Antara.

Ketua Asosiasi Pengembang dan Permukiman Indonesia (Apersi) Eddy Ganefo menyatakan, hakikatnya kebijakan larangan inden memberatkan keuangan pengembang. Sebab, mayoritas pendanaan untuk membangun unit berasal dari dana KPR yang diajukan oleh pembeli. "Ini kan membuat bingung ketika hendak membangun properti," ujarnya.

Pelarangan itu membuat pengembang mau tidak mau harus mencari pendanaan dari sumber lain. Yakni, meminjam ke pihak perbankan. Ini tentunya akan merepotkan kalangan pengembang. Beda dengan KPR, di mana pengembang langsung mendapatkan dana segar tanpa bunga dari bank.

Namun, meski memberatkan developer, bukan berarti tidak ada sisi positifnya. Eddy mengakui, larangan inden rumah akan dapat mencegah mafia tanah dan spekulan. "Mereka ini jadi penghambat bagi pengembang rumah bersubsidi untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR)," katanya memaparkan.

Dia menjelaskan, mafia tanah dan spekulan membuat harga lahan menjadi mahal. Hal tersebut membuat pengembang rumah bersubsidi jadi kesulitan saat hendak membeli tanah. Sebab, ini berefek pada ongkos produksi rumah bersubsidi yang semakin mahal. Ujung-ujungnya MBR tak dapat membeli rumah lantaran harganya yang sudah tak terjangkau.

Corporate Secretary PT Intiland Teresia Rustandi menyatakan, perusahaannya juga keberatan terkait larangan inden pembelian rumah. Alasannya, terkait masalah working capital (pendanaan) bagi pengembang saat hendak memulai suatu proyek properti.

Teresia menjelaskan, mayoritas properti yang dibangun oleh Intiland, pendanaannya berasal dari KPR yang sifatnya inden. Dengan adanya kebijakan ini jelas membebani operasional perusahaan. "Kita jadi kelimpungan saat mau start jika ada proyek baru," katanya memaparkan.

Kebijakan tersebut, lanjut dia, seharusnya diimbangi dengan kompensasi lain yang sifatnya memudahkan bagi pengembang. Misal, pengembang dipermudah di sisi kredit modal kerja dan juga kredit konstruksi.

Teresia memahami alasan pemerintah mengeluarkan kebijakan larangan inden tersebut. Yakni, terkait beberapa kasus di mana adanya pengembang nakal. "Jadi konsumen sudah bayar, tapi propertinya tak jadi dibangun," ujarnya.

Sebenarnya, momentum sekarang adalah waktu yang tepat untuk mengkaji ulang kebijakan tersebut. Sebab, kondisi pasar properti di kuartal pertama mengalami penurunan hingga 40 persen. "Jadi kalau kebijakan ini dicabut, harapannya bisa membuat gairah pasar jadi meningkat," ujarnya.

Melindungi konsumen

Pengamat properti dari Jones Lang Lasalle, Anton Sitorus, menyatakan, hakikat kebijakan larangan inden via KPR bertujuan untuk melindungi konsumen. Hal ini akan dapat mencegah kaburnya pengembang di tengah-tengah pembangunan proyek. Ditambah lagi ini upaya untuk menekan spekulan properti.

Dengan adanya kebijakan ini, ungkap dia, pembeli akan lebih nyaman. Sebab, nantinya konsumen tidak akan tertipu dengan pengembang yang nakal. Di mana rumah harus sudah jadi terlebih dahulu ketika pembeli membayarnya.

Meski tujuannya baik, Anton menyatakan, penerapan larangan inden bukan tanpa sisi negatif. Kebijakan itu dapat membuat pengembang kesulitan pendanaan ketika hendak memulai proyeknya. "Sebab pengembang kan butuh dana di awal pembangunan."

Pengamat ekonomi Indef Enny Sri Hartati menyatakan, kebijakan LTV dan juga larangan inden memiliki keterkaitan. Di satu sisi, LTV bertujuan untuk merangsang pembelian di pasar properti. Lalu, tujuan larangan inden untuk mencegah terjadinya lonjakan pembelian properti besar besaran (bubble effect).

Dia menilai, pemerintah ingin menciptakan keseimbangan di pasar properti. Yakni, di satu sisi dengan stimulus LTV, di mana uang muka hanya 20 persen, namun di sisi lain, pemerintah tak ingin terjadi bubble effect. "Jadi kebijakan ini saya pikir saling melengkapi," ujarnya. C05 ed:khoirul azwar

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement