Rabu 01 Jul 2015 15:00 WIB

Menyoal Kepemilikan Properti Oleh Asing

Red:

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) sedang menggodok revisi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996  terkait kepemilikan asing terhadap properti di Indonesia. Revisi ini tampaknya tetap tidak akan memberi hak kepemilikan   kepada warga asing yang tinggal di Indonesia.

Menteri ATR/BPN Ferry Mursyidan Baldan menjelaskan, dalam PP yang baru, hal yang diubah adalah durasi terkait kepemilikan properti bagi warga asing. Sebelumnya, hak pakai bagi warga asing hanya 25 tahun dan dapat diperpanjang 20 tahun. "Aturan yang baru nanti, hak pakai bisa seumur hidup, dapat diwariskan, dan dapat dijual," ujarnya.

Aturan itu kemungkinan akan diberlakukan bagi pembelian apartemen yang harganya Rp 5 miliar ke atas. Poin lainnya, ungkap Ferry, juga terkait rumah tapak. Penggunaan rumah tapak hanya bisa dilakukan dengan sistem menyewa oleh pihak asing.

Menyikapi hal ini, Ketua Asosiasi Pengembang dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi), Eddy Ganefo menyatakan keheranannya. Sebab, kata dia, PP Nomor 41 Tahun 1996 sejauh ini masih relevan untuk diterapkan. "Lah ini kok tiba tiba ada wacana ingin direvisi," ujarnya, Senin (29/6).

Eddy menilai, beberapa poin yang hendak diterapkan dalam PP yang baru tersebut cenderung kurang tepat. Misalnya hak pakai oleh asing pada apartemen dengan waktu seumur hidup. Itu, kata dia, sama saja seperti hak milik.

Ditambah lagi, meski statusnya nanti hak pakai, pemilik asing bisa menjual dan mewariskan apartemennya. "Ini casing-nya saja hak pakai, tapi substansinya tetap hak milik," papar dia.

Ia menyarankan pemerintah tidak latah dengan mengkopi regulasi properti yang ada di Malaysia, Australia, dan Singapura. Sebab, bagi dia, kondisi di negeri jiran itu tidak sama  dengan di Indonesia.

Ambil contoh, ungkap dia, seperti di Singapura. Pemerintahnya memang memperbolehkan asing membeli properti di sana, tetapi Singapura menerapkan kebijakan itu saat warganya 80 persen sudah memiliki hunian. "Indonesia kalau meniru Singapura tidak tepat. Backlog (kebutuhan) kita saja masih tinggi."

Selain itu, sekarang tren di Singapura, regulasi kepemilikan properti oleh asing justru dipersulit, seperti adanya pengenaan pajak 18 persen jika properti dijual dalam kurun waktu satu tahun. Strategi ini juga sekaligus untuk  mencegah bubble effect.

Meski cenderung tak sepakat dalam beberapa hal, Eddy mendukung  kebijakan pemerintah untuk merevisi PP tersebut. Misalnya terkait apartemen berharga premium yang dapat dibeli pihak asing. "Ini saya pikir tak masalah, asalkan hak pakainya tetap mengacu pada aturan yang lama," ujarnya.

Sementara itu, Ketua Real Estate Indonesia (REI) Eddy Hussy menyambut baik revisi PP tersebut. Sebab, dengan orang asing boleh membeli properti, ini akan menggairahkan pasar properti nasional.

Dia menyatakan, saat ini jumlah pekerja asing di Indonesia semakin meningkat. Hal tersebut membuat permintaan perumahan dan apartemen oleh asing juga kian tinggi. "Ini sebenarnya peluang bagi Indonesia."

Eddy menjelaskan, transaksi kepemilikan properti oleh asing saat ini sudah terjadi. Namun, negara tidak menikmati lantaran terkendala aturan. Padahal, jika aturan direvisi, orang asing bisa dikenakan pajak lebih tinggi sehingga negara diuntungkan karena mendapat tambahan devisa.

Sejauh ini, ungkap Eddy, REI memiliki dua poin untuk bahan pertimbangan pemerintah dalam kepemilikan properti asing. Pertama, terkait jenis properti yang boleh dijual ke asing, dan  kedua, regulasi pembatasan persentase kepemilikan.

Untuk asing, properti yang boleh dijual adalah tipe kelas premium, misalnya apartemen dengan harga Rp 10 miliar ke atas. Kalau rumah tapak dan apartemen kelas menengah dan bawah tidak boleh. "Ini agar segmentasi pasarnya sesuai dan tidak merusak daya beli masyarakat bawah," paparnya.

Sementara, untuk regulasi pembatasan, kata dia, misalnya satu menara apartemen hanya boleh dibeli oleh orang asing sebanyak 49 persen. Ini agar tak ada dominasi asing secara berlebihan.

Aturan harus jelas

Pengamat properti Jones Lang Lasalle, Anton Sitorus, menyatakan, harus ada aturan jelas terkait kepemilikan properti oleh asing. Sebab, hal ini berpotensi merusak pasar properti kelas menengah dan bawah. Misalnya terkait lokasi dan juga segmen harga bagi peruntukan orang asing.

Selain itu,  jangan sampai pemerintah terkesan hanya mengejar penerimaan target pajak. Lebih baik, kata dia, penerapan UU Agraria diperbaiki dulu. "Soalnya, di beberapa daerah seperti Bali dan Batam banyak orang asing sudah memiliki properti dengan prosedur di bawah tangan," ujarnya.

Hal senada juga diungkapkan pengamat properti Indonesia Property Watch Ali Tranghanda. Dia menyatakan, aturannya harus diperjelas, misalnya segmen properti apa yang diperbolehkan dijual ke orang asing. Jangan sampai aturannya tidak jelas dan mengambang. Sebab, ini akan menciptakan bubble effect, di mana nantinya orang asing akan memborong properti.

Selain itu, hal lain yang dikhawatirkannya adalah akan terjadi lonjakan harga tanah. Dengan daya beli orang asing yang lebih tinggi, membuat demand properti akan meningkat tajam, sementara instrumen penjaga harga tanah, seperti bank tanah belum  dibuat.C05 ed:khoirul azwar

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement