Rabu 22 Oct 2014 12:00 WIB

Sutiyoso: Balibo Pantas Dihentikan

Red:

JAKARTA - Kasus Balibo dinilai layak dihentikan untuk memperbaiki hubungan Indonesia-Australia. Mantan wakil komandan Jenderal Kopassus Letjen TNI (Purn) Sutiyoso mengatakan, kasus Balibo kerap menjadi batu sandungan hubungan kedua negara.

Dengan alasan itu, dia setuju keputusan Polisi Federal Australia (AFP) untuk menghentikan kasus tersebut. "Selama ini hubungan sering terganjal karena urusan itu," ujarnya kepada Republika, Selasa (21/10).  

Pria yang akrab disapa Bang Yos itu pernah dipanggil sebagai saksi pada Pengadilan Glebe Coroners New South Wales (NSW) di Sydnes pada 2007 dalam kasus Balibo. Namun, Sutiyoso yang saat itu menjabat sebagai gubernur DKI menolak hadir.

Dia menjelaskan, saat itu AFP mendapat informasi kalau dia termasuk pasukan yang ada di Balibo. Padahal, saat kejadian, dia bertugas di Batu Gede, kota di sebelah utara Balibo, sedangkan yang masuk ke Balibo adalah pasukan Letjen TNI (Purn) Yunus Yosfiah. Oleh sebab itu, dia menolak hadir dalam sidang.

Pengadilan Glebe Coroners New South Wales pun telah meminta maaf kepada dia. "Itu bukan masalah saya. Peristiwa di Australia saat itu murni kekeliruan, makanya mereka (Pengadilan Glebe Coroners New South Wales) minta maaf," ujarnya.

Pada 2007, polisi Australia memanfaatkan kedatangan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso ke Sydney untuk menyampaikan surat panggilan sidang perkara Balibo. Polisi menyerahkan surat itu  dengan cara masuk ke kamar hotel tempatnya menginap di Sydney menggunakan kunci master kamar hotel tersebut.

Akibat kejadian tersebut, Gubernur Sutiyoso dan rombongan pejabat pemerintah DKI Jakarta, yang mengunjungi Sydney sebagai tamu Pemerintah Negara Bagian New South Wales mempercepat kehadirannya di sana.

Sutiyoso mengaku, selama tiga kali ditugaskan ke Timor Timur, ia belum pernah ke Balibo. "Itu salah alamat, dikira saya Yunus Yosfiah," ujarnya menambahkan.

Menurut Sutiyoso, pada 1990 Bang Yos pernah sekolah di Australia. Saat itu dia tidak mendapat masalah apa pun. Lulusan Akademi Militer Nasional 1968 itu menilai, meninggalnya jurnalis dalam pertempuran tidak hanya di Balibo, melainkan juga di Timur Tengah dan Lebanon.

Sebelumnya, mantan perdana menteri Australia Gough Whitlam, yang memberikan keterangan di Pengadilan Sydney pada 8 Mei 2007, menyatakan tidak pernah melihat dokumen apa pun yang menunjukkan tentara Indonesia memerintahkan pembunuhan terhadap lima wartawan Australia di Balibo, Timor Timur, tahun 1975 itu.

Whitlam memenuhi panggilan pengadilan untuk memberikan bukti terkait dengan kematian Brian Peters, salah satu dari lima wartawan Australia, yang tewas dalam peliputan di Timor Timur tahun 1975.

Menurut mantan politikus yang ketika itu menjabat perdana menteri Australia, sebulan sebelum kejadian tersebut ia mengingatkan salah seorang dari lima wartawan itu bahwa pemerintah tidak punya cara untuk melindungi mereka saat  bepergian ke Timor Timur. Whitlam dilaporkan meninggal pada Selasa (21/10) pagi dalam usia 98 tahun. 

Timor Timur sempat bergabung dengan NKRI melalui suatu deklarasi Integrasi di Balibo pada 30 November 1975. Sejak itu, Indonesia menganggap Timor Timur sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari negara kesatuan Indonesia. Timor Timur berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 1976 ditetapkan sebagai propinsi ke-27.

Namun, PBB sejak awal tidak mengakui proses integrasi Timor Timur ke dalam NKRI itu dan tetap menganggap Portugal sebagai administrator teritori yang berbatasan langsung dengan Provinsi Nusa Tenggara Timur tersebut.

Setahun setelah Indonesia dilanda krisis ekonomi dan berujung pada penumbangan rezim Orde Baru, Indonesia dan Portugal di bawah payung PBB sepakat untuk menyelenggarakan jajak pendapat di Timor Timur pada 1999. Timor Timur pun lepas dari Indonesia.

n c87/antara ed: teguh firmansyah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement