Rabu 23 Nov 2016 16:00 WIB

Memutus Rantai TKI Ilegal

Red:

Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) terus berbenah diri. Bukan hanya soal kemajuan pariwisata, melainkan juga tata kelola tenaga kerja Indonesia (TKI) di NTB. Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) mencatat, NTB tercatat sebagai provinsi penyumbang TKI terbanyak keempat di bawah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur dengan 34.206 TKI pada 2016 (Januari-Oktober). Jumlah tersebut mengalami penurunan dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu yang sebanyak 43.779 TKI.

Meski hanya menduduki peringkat keempat secara provinsi, tiga kabupaten di NTB masuk dalam 10 besar kabupaten yang mengirimkan TKI terbanyak. Bahkan, Kabupaten Lombok Timur menduduki peringkat teratas dari seluruh kabupaten yang ada di Indonesia dengan total 16.582 TKI pada 2016, disusul Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, sebanyak 13.723, dan Kabupaten Lombok Tengah di peringkat ketiga dengan 9.086 TKI. Sementara, Kabupaten Lombok Barat mengisi peringkat 10 dengan 4.381 TKI.

Sekretaris Utama BNP2TKI Hermono menilai, jasa TKI asal NTB tergolong unik dan berbeda dengan daerah lain. Ia mengatakan, mayoritas dari TKI asal NTB bekerja pada sektor perkebunan dan rumah tangga di Malaysia.

"Artinya, TKI NTB dari segi pendidikan agak rendah dibandingkan daerah lain," ujarnya dalam rapat koordinasi program poros sentra layanan TKI terintegrasi daerah asal di kantor Pemprov NTB, Jalan Pejanggik, Mataram, pekan lalu.

Dia menyebutkan, sebelum moratorium pengiriman TKI diterapkan pada Mei 2015, NTB menempati peringkat dua dalam provinsi terbanyak mengirim TKI. Adanya moratorium membuat posisi NTB turun ke peringkat tiga lantaran akses pengiriman jasa TKI ke Timur Tengah ditutup. Pada 2015 saja, TKI asal NTB tercatat ada sekitar 50 ribu yang berangkat ke Malaysia. Adapun yang mengejutkan, 33 ribu di antaranya tidak dilengkapi dokumen sebagaimana yang diperlukan atau TKI ilegal.

Staf khusus BNP2TKI Deddi Noor Cahyanto mengakui, belum maksimalnya pelayanan prosedur pengurusan jasa TKI mendorong munculnya para TKI ilegal. "Prosedur dokumen berbelit, duit banyak lari ke mana-mana. Saya mengakui karena prosedur internal kami. Itu yang akan dibenahi," ujarnya.

Sejatinya NTB telah memiliki Sistem Layanan Terpadu Satu Pintu (LTSP) untuk TKI yang diluncurkan 2008 lalu. Pendirian LTSP untuk TKI ini merupakan yang pertama dilakukan di Indonesia. LTSP NTB bekerja sama dengan semua instansi yang terkait dengan penanganan TKI, di antaranya Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans), Dinas Pendidikan, Dinas Kependudukan, Imigrasi, Dinas Kesehatan, kepolisian daerah (polda), perbankan, dan kantor wilayah pajak.

LTSP ini memberikan pelayanan kepada calon TKI dan TKI berupa penerbitan paspor, pengurusan bebas fiskal luar negeri (BFLN), kartu tanda kerja luar negeri (KTKLN), pembayaran dana pembinaan, penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia (DP3TKI), pengurusan asuransi TKI, serta premi dan klaim penanganan kasus TKI. Selain itu, pendaftaran keikutsertaan pembekalan akhir [emberangkatan (PAP), pengecekan persyaratan TKI yang akan diberangkatkan, meliputi identitas calon TKI, visa kerja, perjanjian penempatan, perjanjian kerja, sertifikat Balai Latihan Kerja (BLK), sertifikat kompetensi kerja, dan sertifikat kesehatan.

Kehadiran LTSP tersebut diharapkan mampu memutus rantai jasa pengiriman TKI ilegal. Tetapi, pada kenyataannya, kinerja LTSP mendapatkan sorotan tajam. Terlebih, usai meninggalnya sembilan TKI ilegal asal Lombok di Perairan Batam, Kepulauan Riau, dalam tragedi tenggelamnya kapal jenis speedboat yang mengangkut sekitar 101 penumpang. Di mana mayoritas penumpang berasal dari Lombok. Ke-26 TKI asal Lombok dinyatakan selamat dan telah dipulangkan ke kampung halaman secara bertahap. Desakan agar LTSP dibubarkan pun menguat.

Komisi V DPRD NTB yang membawahi urusan pendidikan dan kesejahteraan rakyat (kesra) memandang pemerintah daerah belum maksimal dalam membenahi tata kelola pelayanan TKI.

Anggota Komisi V DPRD NTB dari Fraksi Nasdem, Suryahartin, mengatakan, Pemprov NTB memiliki Perda Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan TKI yang telah mengatur dengan jelas proses rekrutmen dari daerah asal hingga ke wilayah penempatan kerja. Dalam perda tersebut juga disebutkan perusahaan yang tergabung dalam pelaksana penempatan tenaga kerja Indonesia swasta (PPTKIS) di NTB wajib memberangkatkan TKI secara resmi dengan memenuhi sejumlah syarat kemampuan yang dibutuhkan.

Ia menilai, banyaknya korban dari NTB terkait kecelakaan kapal di perairan Batam tak lepas dari kelalaian Pemprov NTB. "Kasus kecelakaan kapal TKI di Batam yang kebanyakan penumpanganya dari NTB merupakan bentuk kelalaian Pemda NTB, yang minim melakukan pengawasan. Kita sangat menyayangkan adanya insiden itu," katanya.

Gubernur NTB TGH Muhammad Zainul Majdi mengatakan, Pemprov NTB sejatinya telah berusaha keras membenahi persoalan tata kelola TKI dengan pembentukan LTSP TKI. Tetapi, kehadiran LTSP belum berjalan maksimal lantaran tidak semua kewenangan diserahkan kepada Pemprov NTB. Ia menyampaikan, sejumlah proses yang menyangkut dokumen legal berada di luar kewenangan pemda.

"Dalam perjalanan tidak semudah yang kita bayangkan ini tidak terkait dengan kompetensi, tetapi soal kemauan," ungkapnya.

Ia mengaku telah berulang kali mengirimkan surat kepada Kementerian Hukum dan HAM agar proses pengurusan paspor bisa terintegrasi dengan sistem LTSP. "Tetapi, tidak ada respons apa pun dan terus berlanjut," ujarnya.

Ia menerangkan, berdasarkan layanan SMS centre yang disediakan Pemprov NTB, cukup banyak aduan dari para CTKI terkait biaya yang sangat besar yang harus dikeluarkan dalam mengurus dokumen paspor di Imigrasi. 

Pria yang juga dikenal sebagai Tuan Guru Bajang (TGB) itu menegaskan, para TKI memiliki peran besar dalam mendukung perekonomian NTB. Berdasarkan data kuantitatif, rata-rata remitansi TKI ke NTB per tahun sekitar Rp 800 miliar hingga Rp 900 miliar melalui perbankan.

"Remitansi yang melalui sistem perbankan sekitar sepertiga dari keseluruhan uang yang masuk. Jadi, kalau Rp 800 miliar dikalikan tiga, sekitar Rp 2,4 triliun. Itulah kontribusi TKI untuk daerah dalam satu tahunnya," katanya memaparkan.

Apabila dikomparasikan dengan APBD murni NTB 2016 yang sebesar Rp 3,576 triliun, dana remitansi lebih dari 50 persen. Pun jika dibandingkan dengan APBD kabupaten/kota di NTB, kemungkinan ada yang jumlahnya di bawah dana remitansi TKI.

TGB berpandangan, apabila uang remintansi TKI masuk ke sektor produktif dan konsumtif, akan berkontribusi lebih besar untuk menggerakkan perekonomian. Pasalnya, pertama, ekonomi NTB terus mengundang decak kagum sejak 2015 hingga triwulan ketiga tahun ini yang tercatat sebagai salah satu pertumbuhan ekonomi tertinggi di Indonesia dengan 7,64 persen.

Adanya dugaan pungutan liar (pungli) diyakini membuat para CTKI memilih menggunakan jalan tak resmi. Hal ini, kata TGB, melahirkan sejumlah permasalahan di negara tujuan.

Ketua DPD Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (Apjati) NTB Muhammadun mendorong pemerintah pusat ataupun Pemprov NTB untuk memperhatikan lebih serius jasa pengiriman TKI. Menurutnya, banyak kebijakan pemerintah yang memicu suburnya praktik TKI ilegal, seperti lamanya proses perizinan atau biaya yang relatif tinggi. Apjati NTB juga mendorong adanya perbaikan pada sistem LTSP yang dinilai belum berjalan maksimal.

"Banyak TKI ilegal karena sulitnya sistem diberlakukan, bahkan TKI harus membayar biaya tinggi kalau melalui jalur resmi," ujarnya dalam jumpa pers, belum lama ini.        Oleh Muhammad Nursyamsyi, ed: Muhammad Hafil

 

***

Data dan Fakta

*Kedatangan TKI di Bandara Internasional Lombok (BIL)

Tahun I Jumlah Kepulangan

2009 I 9.332

2010 I 16.087

2011 I 6.677

2012 I 4.639

2013 I 15.049

2014 I 9.102

2015 I 15.388

2016 (Jan-Okt) I 4.251

* Kedatangan TKI bermasalah di BIL

Tahun I Total Kepulangan I TKI Bermasalah

2015 (Jan-Okt) I 13.174 I 0

2016 (Jan-Okt) I 4.251 I 162

Sumber: BNP2TKI

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement