Rabu 14 Dec 2016 14:00 WIB

Jangan Kembali ke Masa Lalu

Red:

 

Republika/Raisan Al Farisi       

 

 

 

 

 

 

 

 

Pada Kamis (1/12) malam lalu beberapa orang pejabat Polda Metro Jaya dan Kodam Jaya menggelar rapat. Rapat tersebut dilakukan berdasarkan informasi dari intelijen yang menyatakan bahwa ada beberapa orang diduga melakukan perencanaan berbuat makar.

Setelah selesai rapat, pada Jumat (2/12) dini hari tim  Polda dan Kodam pun langsung berangkat ke rumah Kivlan Zein dan Adityawarman, dua orang purnawirawan jenderal TNI untuk melakukan penangkapan. Dua orang ini dituding ingin melakukan makar dengan mendompleng Aksi Damai Bela Islam III 212. Mereka adalah Ketua Solidaritas Sahabat Cendana Firza Huzein.

Kemudian, seniman dan aktivis politik, Ratna Sarumpaet; pentolan Dewa 19 sekaligus calon wakil bupati Bekasi, Ahmad Dhani; putri Presiden pertama Indonesia Soekarno, Rachmawati Soerkarnoputri; Sri Bintang Pamungkas; dan Eko.

Sementara, ada dua orang yang ditangkap dan dijerat Pasal 28 UU ITE, yakni Jamran dan Rizal Kobar. Total, 10 orang diamankan dalam operasi senyap menjelang aksi damai 212. Semuanya ditetapkan sebagai tersangka.

Namun, belum sampai sehari penuh, tujuh orang dilepaskan kecuali Jamran, Rizal Kobar, dan Sri Bintang Pamungkas. Belakangan, pada 9 Desember 2016 polisi juga menahan Hatta Taliwang terkait UU ITE yang terkait makar.

Tudingan makar ini memunculkan kontroversi di ranah publik karena hal tersebut disangkutpautkan dengan Aksi Damai Bela Islam III 212. Banyak yang mengecam, tapi polisi bersikeras dengan tindakannya tersebut sebagai upaya menyelamatkan pemerintahan yang sah.

Mantan  aktivis mahasiswa yang juga politikus Partai Gerindra Ferry Juliantono mengecam istilah percobaan makar yang dituduhkan polisi terhadap para aktivis yang ditangkap. Menurutnya, istilah makar tidak tepat digunakan untuk para aktivis mengingat makar merupakan upaya yang dilakukan, tetapi gagal.

Menurutnya, para aktivis hanya hendak ikut dalam aksi damai Bela Islam di Monumen Nasional yang berkaitan dengan penuntutan kasus dugaan penistaan agama dan bukan untuk menggulingkan pemerintahan.

"Kan nggak ada yang minta (penggulingan) itu. Makanya, ini belum dilakukan sudah dituduh makar. bukti yang jelas dulu. Kita jangan ikut dalam persepsi yang terbangun pihak kepolisian terkait makar ini," ujar Ferry.

Ia menyebut, kalaupun para aktivis kritis terhadap pemerintahan, bukan berarti mereka berupaya melakukan makar. Pasalnya, kebebasan untuk menyuarakan pendapat kepada pemerintah juga dijamin oleh Undang-Undang.

Ia pun menyebut, jika ketegori tersebut dikatakan sebagai percobaan makar maka hal itu sama saja dengan pembungkaman terhadap suara rakyat.

"Ya, jangan kemudian kritis dianggap makar. Lalu, kita tidak bisa menilai sikap kritis dengan makar. Ini proses pembungkaman dengan tuduhan makar ini," ujarnya.

Ferry yang juga mantan tahanan politik ini saat menjadi aktivis terdahulu mengatakan, pasal makar yang dikenakan terhadap para aktivis juga sangat berlebihan. Hal ini karena pasal makar paling langka digunakan di negara demokrasi.

"Terakhir, saya ditangkap pada era SBY, pasal paling tinggi itu soal penghasutan, tapi ini pasal makar itu paling langka dipakai dalam pemerintahan demokrasi," ujarnya.

 

Sedangkan, Komnas HAM  menyarankan agar aparat kepolisian mengedepankan proses hukum sesuai prosedurnya. "Tentu, tidak boleh represif. Sebagai negara hukum, kita tidak boleh melakukan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan prosesnya," ujar Komisioner Komnas HAM Maneger Nasution.

Menurutnya, menyampaikan pendapat adalah hak konstitusional setiap warga negara dan negara berkewajiban menjamin pemenuhan hak itu berjalan dengan baik. Meskipun, pada penerapannya untuk pemenuhan hak tersebut ada batasan-batasan agar tidak mengganggu hak-hak orang lain.

Namun demikian, bukan berarti hal tersebut dapat mengekang kebebasan berpendapat setiap warga. Ia pun menilai, penangkapan terhadap 11 orang tokoh yang diduga makar tersebut justru menebar ketakutan kepada publik.

Pasalnya, masyarakat dapat menganggap kebebasan menyampaikan pendapat bisa dipidana dan dituduh melakukan percobaan makar.

"Nanti, kemudian orang menyampaikan pendapat takut ditangkap dengan tuduhan makar. Ini justru mengkhawatirkan, ini harus diwaspadai," ungkapnya.

Karenanya, ia pun mengingatkan pemerintah untuk saat ini kembali ke semangat reformasi dan menghindari menggunakan kekuasaan secara absolut. Pasalnya, periode saat ini merupakan demokrasi dengan kebebasan orang menyatakan aspirasi dan pendapat di depan umum serta dilindungi.

"Lalu, ada penangkapan dengan alasan makar itu bagi masyarakat alasan yang luar biasa dan serius. maka, kita imbau kemudian, rezim ini kembali ke semangat reformasi. Kan rezim ini anak kandung reformasi. Kita imbau itu. Tidak boleh jangan kembali ke zaman masa lalu dengan mudah menggunakan kekuasaan tanpa melalui proses hukum yang benar," kata dia.

Menanggapi hal tersebut, Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Boy Rafli Amar mengatakan, perbuatan makar memang belum dilakukan oleh para tersangka yang telah diamankan. Tapi, karena tujuan mereka akan memanfaatkan massa demo untuk upaya menduduki DPR dan menggulingkan pemerintahan, sehingga segara dilakukan penangkapan tersebut.

"Nggak harus jadi kenyataan dulu (makar) baru dilakukan penangkapan, artinya walaupun makar belum terlaksana, sudah bisa dilakukan penegakan hukum," kata Boy.

Sedangkan, Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengatakan, tidak menutup kemungkinan apabila tidak ada penangkapan, mereka (terduga makar) bakal melancarkan aksinya pada Aksi Damai Bela Islam III.

"Pastinya, kita tidak ingin ada pihak lain yang mengganggu kesucian ini. GNPF sendiri yang  bilang, 'Pak, tolong jaga supaya nggak ada yang ganggu massa," ungkap Tito di tengah Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Senin (5/12).

Walhasil, aksi untuk menuntut penegakan hukum terhadap penista agama berjalan tertib hingga kesucian Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI pun tetap terjaga. Apalagi, yang hadir adalah jutaan manusia. Artinya, sangat gampang para aktor makar memprovokasinya. Karena, apabila kericuhan kembali terjadi yang dirugikan adalah umat Islam.

Dari informasi yang diperolehnya dari intelijen, para terduga makar itu akan membajak massa yang mengikut Aksi Damai Bela Islam III untuk menduduki gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI. Kemudian, tujannya adalah untuk menggulingkan pemerintahan sah Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla melalui sidang istimewa MPR.  "Kalau memang demo-demo biasa depan DPR, silakan saja. Tapi, kalau memaksa menduduki, itu inkonstitusional," tegas Tito.

Para tersangka makar itu juga telah membantah tudingan Polri. Ketua Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) Krist Ibnu mengungkap, ACTA bersama tim kuasa hukum para tokoh yang diduga makar tengah membahas langkah yang akan dilakukan untuk membela kliennya, salah satunya, praperadilan. Krist meyakini, para tokoh tersebut tidak melakukan sebagaimana yang dituduhkan Mabes Polri, yakni pemufakatan jahat untuk makar.

"Kita saat ini sedang rapatkan, praperadilan. Kemudian, kita juga akan berkirim surat ke Komnas HAM," ujar Krist.

Ia mengatakan, timnya juga akan membuktikan bahwa tuduhan percobaan makar tersebut tidak dilakukan kliennya tersebut. Salah satunya, menghadirkan para ahli guna membantah tuduhan para penyidik Polri.

"Nanti, kita uji dalam sidang praperadilan. Kami kan juga menghadirkan ahli. Ahli kan bernilai keterangannya. Penyidik berkata, itu silakan. Nanti tinggal masing-masing diuji di Pengadilan," ujar Krist.        Oleh Mabruroh, Fauziah Mursid, Eko Supriyadi, Ali Mansur, ed: Muhammad Hafil

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement