Senin 09 Jan 2017 18:15 WIB

Mengawal Pengelolaan Fiskal

Red:
Menteri Keuangan Sri Mulyani berbicara saat konferensi pers terkait pengesahan asumsi makro dan postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017 di kantor Kemenkeu, Jakarta, Kamis (27\10)
Foto: Tahta Aidilla/Republika
Menteri Keuangan Sri Mulyani berbicara saat konferensi pers terkait pengesahan asumsi makro dan postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017 di kantor Kemenkeu, Jakarta, Kamis (27\10)

Tahun 2016 merupakan tahun penuh tantangan bagi pemerintah dalam menge lola fiskal secara kredibel. Bagaimana tidak, per ma salahan kredibilitas fiskal kembali menjadi permasalahan utama. Su sutnya kredibilitas pengelolaan fiskal pe merintah dinilai berimbas kepada mele set nya target penerimaan negara. Pemerintah juga dianggap tak belajar dari pengalaman tahun 2015 saat kondisi serupa terjadi. Tahun lalu, pemerintah menetapkan target penerimaan naik 23,6 persen dibandingkan total realisasi penerimaan pada 2015.

Menyadari penerimaan negara yang bakal meleset dan adanya kekurangan penerimaan perpajakan, pemerintah di tengah jalan memangkas target penerima an pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2016 menjadi Rp 1.786,2 triliun atau turun menjadi 16,3 persen.

Implikasinya pun tak sederhana. Kre dibilitas pemerintah dalam mengelola fiskal diragukan. Belum lagi, ancaman de fisit yang membuat pemerintah seakan ber lomba menerbitkan surat utang yang justru memicu perang suku bunga per bank an.

Tak hanya itu, pemotongan ang garan di tengah tahun anggaran juga menimbulkan keresahan cash management, baik di tingkat pusat maupun daerah.

Namun, di balik berbagai risiko dan konsekuensi kurang cermatnya pengelo laan fiskal di masa lalu, barangkali tak ada salahnya kalau apresiasi dilontarkan ke pada Menteri Keuangan Sri Mulyani. Sejak ia didaulat kembali ke Tanah Air untuk mengurus keuangan negara yang ser barumit, berbagai langkah perbaikan, dan antisipatif dimunculkan.

Peneliti Institute for Developments of Economic and Finance (INDEF), Imaduddin Abdullah, menyatakan, kebijakan fiskal sejatinya merupakan penggerak ekonomi utama. Kebijakan fiskal, kata dia, bisa menggerakkan siklus permintaan dan penawaran yang menghidupkan pasar. Bahkan, pengelolaan fiskal yang mumpuni bisa menekan ketimpangan atau kesen jangan ekonomi di Indonesia.

Imaduddin merangkum, selama 2016, setidaknya ada tiga catatan merah dalam pengelolaan fiskal. Pertama adalah penge lolaan fiskal yang tidak kredibel. Sedang kan catatan kedua dan ketiga adalah prog ram amnesti pajak yang belum ber ja lan sesuai dengan harapan awal dan fis kal dae rah yang belum optimal dalam me la kukan pembangunan ekonomi di daerah.

Imad, panggilan akrab Imaduddin, menilai, nyaris seluruh tantangan fiskal pada 2016 sebetulnya merupakan 'bawaan' dari masalah yang sudah muncul sejak 2015.

"Tapi kenapa pemerintah kembali ulangi kesalahan yang sama dengan m e netapkan penerimaan yang tak realistis?" katanya, di kantor dalam sebuah diskusi di pengujung 2016.

Menurut dia, meski pemerintah me mangkas anggaran sebanyak dua kali, implikasi dari pengelolaan fiskal yang telanjur kurang cermat membuat peringkat kredit Indonesia ikut tertahan. Imad juga menyoroti ancaman defisit hingga akhir 2016 yang membuat pemerintah harus mencari sumber pembiayaan defisit.

Kementerian Keuangan mencatat, realisasi penerimaan bea dan cukai hingga November 2016 saja sebesar Rp 133,5 triliun atau 72,55 persen dari target APBNP 2016. Meski pada akhirnya, pemerintah meyakini penerimaan bisa digenjot oleh jatuh tempo pembayaran cukai tembakau yang bisa menambah penerimaan menjadi 97 persen. Ditambah dengan realisasi penerimaan pajak yang masih Rp 965 triliun per akhir November 2016 atau 73 persen dari target.

Senada dengan Imad, Ekonom senior Universitas Indonesia, Lana Soelistia ning sih, menilai, kondisi over budgeting atau penyusunan anggaran belanja berlebih yang terjadi tahun lalu, tak lepas dari am bisi pemerintah untuk mengebut pem bangunan proyek infrastruktur.

Sayangnya, target belanja anggaran yang tinggi tidak sejalan dengan pene rimaan negara. Menurut Lana, pemerintah harus lebih cermat dalam merencanakan belanja agar tidak ada lagi keputusan untuk memangkas anggaran.

"Ada perbedaan antara butuh dan perlu. Kalau butuh ya semua dianggap bu tuh. Hanya saja, perlu atau tidak? Tahun 2014-2015 kan pemerintah ingin keber adaannya terlihat. Artinya, proyek-proyek ingin segera terealisasi," ujarnya.

Lana yakin masih ada ruang penghe mat an dalam APBN 2017. Menurut dia, dengan penerimaan pajak yang diproyeksikan be lum akan melonjak tajam pada tahun ini, maka menyusun anggaran belanja yang realistis harus dilakukan agar tak ada lagi pemotongan anggaran.

"Bu Sri Mulyani (Menkeu) barangkali lebih berani untuk putuskan belanja mana yang perlu dan tidak," ujarnya.

Sri mengakui, ada indikasi ketidak akuratan dalam penyusunan anggaran pemerintah. Hal tersebut yang membuat serapan anggaran pada 2016 tidak mak simal. Sri sudah meminta jajarannya termasuk Ditjen Perbendaharaan dan Dit jen Anggaran untuk duduk bersama dan melihat proses penganggaran yang sudah dilakukan. Evaluasi yang bisa diambil, kata dia, bisa digunakan sebagai dasar penyu sunan dan pelaksanaan penyerapan ang garan yang lebih baik.

"Bagi kami dari sisi manajemen ang gara n, suatu over budgeting atau kurang akuratnya estimasi ini menggambarkan ang garan belanja yang terlalu besar," kata nya.

Sri mencontohkan, dalam suatu pe nyusunan anggaran belanja sebesar Rp 2 ribu triliun, kecermatan untuk menghemat anggaran sebesar lima persen atau Rp 100 triliun saja sudah memberikan kredibilitas anggaran yang lebih baik. Pemerintah, kata dia, menjanjikan adanya perbaikan dalam penyusunan anggaran dan menggunakan data dari sisi perbaikan pelayanan.

"Soalnya ini pengaruhnya ke defisit anggaran. Artinya, kita enggak perlu defisit sebesar yang kita rancang. Dan, tak perlu terbitkan surat utang sebesar itu," ujarnya.

Membahas soal penerbitan surat utang atau surat berharga negara (SBN), INDEF juga mewanti-wanti pemerintah agar tidak ketagihan dalam menerbitkan SBN. Direk tur Eksekutif INDEF Enny Sri Hartati menilai, untuk membiayai defisit APBN pe merintah terus mengeluarkan SBN, se hingga dalam dua tahun belakangan nilai nya terus melonjak.

Pada dasarnya, kata dia, SBN memang cenderung lebih fleksibel dibandingkan pinjaman. Namun, hal ini dapat mem berikan implikasi negatif, seperti perang su ku bunga.

"Akhirnya suku bunga yang diharap kan turun gagal tercapai. Ini akhirnya men jadi masalah," katanya.

Berdasarkan catatan Kementerian Ke uang an, realisasi pembayaran bunga utang pemerintah hingga Oktober 2016 masih le bih rendah dibandingkan periode yang sa ma ta hun 2015. Hingga Oktober 2016, realisasi pembayaran bunga utang pe merintah sebesar Rp 157 triliun atau 82,1 persen dari target. Sedangkan pada 2015, sebesar Rp 133,4 triliun atau 85,6 persen dari target.      rep: Sapto Andika Candra, ed: Satria Kartika Yudha

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement