Senin 02 Jan 2017 15:00 WIB

Hambatan Menjalankan Harga Acuan

Red:

Foto : Republika/Agung Supriyanto  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Upaya pemerintah mengeluarkan harga acuan pangan belum efektif menjaga stabilitas harga. Ada banyak tantangan dan hambatan yang membuat harga pangan tidak sesuai dengan harga acuan.

Harga acuan pangan telah diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 63/M-DAG/ PER/ 2016 Tentang Penetapan Harga Acuan Pembelian Di Petani dan Harga Acuan Penjualan Di Konsumen. Dalam peraturan yang diterbitkan 9 September 2016 tersebut, Kementerian Perdagangan (Kemendag) menetapkan harga acuan di petani dan konsumen untuk tujuh komoditas pangan yang selama ini banyak dikonsumsi masyarakat. Tujuh bahan pokok tersebut adalah beras, jagung, kedelai, gula, bawang merah, cabai,  dan daging (sapi dan kerbau).

 

Harga acuan pembelian di tingkat petani dibuat agar pengepul yang biasa mengambil hasil pertanian untuk dijual kembali, tidak menekan harga serendah mungkin. Hal serupa  dilakukan ketika barang akan dijual kepada masyarakat. Pengepul, distributor, dan pedagang diharapkan tidak menarik untung terlalu besar sehingga para konsumen masih mampu  membeli bahan pokok sesuai Permendag tersebut.

Dalam prosesnya, harga acuan tersebut hanyalah sebatas acuan. Harga-harga bahan pokok tetap lebih tinggi dari harga yang ditetapkan. Penyebabnya banyak, salah satunya karena kurangnya stok di perusahaan pemerintah atau Badan Usaha Milik Pemerintah (BUMN), seperti Bulog.

Sebab, ketika ada harga ditingkat pengecer melonjak jauh dari harga acuan, pemerintah tidak bisa mengintervensi pasar. Pemerintah hanya bisa mengingatkan kepada pelaku usaha agar berjualan secara "benar" tanpa menimbun bahan pokok.

Dari tujuh komoditas pangan yang diatur dalam harga acuan, cabai dan bawang merah menjadi komoditas yang sulit dikendalikan harganya. Harga cabai sudah melonjak tinggi dari harga acuan. Harga cabai bisa mencapai dua kali lipat dari harga acuan yang ditetapkan. Cabai merah yang dipatok dengan harga maksimal Rp 28.500 per kg, tapi harganya di pasar bisa mencapai Rp 60 ribu per kg. Hal serupa terjadi pada cabai rawit merah yang seharusnya bisa berada di harga Rp 28.500, tapi sekarang bisa mencapai Rp 55.000 per kg.

Harga bawang merah juga melenceng jauh. Bawang merah rogol askip misalnya, meski Kemendag telah mengimbau agar harga di tingkat pengecer maksimal sebesar Rp 32 ribu  per kg, kenyataanya harganya sering kali mencapai Rp 40.000 per kg.

Melihat keberadaan Permendag yang belum memberikan dampak besar untuk menjaga lonjakan harga, Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution mengumpulkan petinggi kementerian dan lembaga terkait yang berhubugan dengan kebutuhan pokok untuk membahas peraturan tersebut.

"Cabai memang menjadi komoditas yang cukup sulit dikendalikan harganya. Cuaca hujan bikin produksi cabai susah, kualitasnya juga turun," kata Darmin, belum lama ini. Semakin sedikitnya produksi dan turunnya kualitas dari cabai membuat harga cabai dengan kualitas bagus sangat mahal di pasaran.

 

Selain cabai, intensitas hujan yang besar dan berlangsung lama juga membuat komoditas bahan pokok lainnya, seperti bawang merah ikut menurun. Walaupun harganya tidak  meroket seperti cabai, stok yang tidak banyak membuat bawang merah pun dikhawatirkan bisa terus naik. Padahal, dalam mengintervensi harga, pemerintah membutuhkan stok  banyak untuk membanjiri pasar.

Deputi Koordinasi Bidang Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Musdalifah Machmud mengatakan, harga acuan cabai di semua level memang  agak sulit dijalankan. Untuk masyarakat di pedesaan misalnya, mereka tidak mungkin harus membeli harga cabai dengan kisaran Rp 25 - 30 ribu per Kg.

Apalagi, para pedagang di pedesaan lebih banyak yang menanam sendiri dan langsung menjualnya kepada masyarakat. Jika harga cabai di pedesaan harus mengikuti harga di kota,  masyarakat desa akan sulit membeli cabai. "Pendapatan mereka saja berapa. Tidak mungkin harganya harus disamakan," ujar Musdhalifah.

 

Selain itu, banyak masyarakat di desa yang sudah menanam pohon cabai sendiri di pekarangan rumah. Sehingga, kalau penjual cabai harus mematok harga jual tinggi, mereka justru  bisa kesulitan menjualnya karena masyrakat lebih memilih menanam sendiri cabainya.

 

Berdasarkan hasil evaluasi, Kementerian Perdagangan mengakui, pemerintah belum bisa menjalankan dengan baik harga acuan. Selain cabai, kedelai juga menjadi komoditas pangan akan sulit dikendalikan harganya karena mayoritas didatangkan melalui skema impor. Sementara, meski bawang merah produksinya cukup terganggu  karena faktor cuaca,  pemerintah memastikan bahwa komoditas tersebut masih bisa dikendalikan harganya.

 

Cabai dan bawang merah menjadi komoditas yang sangat rentan terhadap faktor cuaca. Saat musim hujan, produktivitas dan kualitas kedua bahan pokok tersebut pasti terganggu.   Hasilnya, harganya pun melonjak tinggi.

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengaku kesulitan menjaga komoditas yang rentan terhadap musim hujan, terutama cabai. Menurut dia,  komoditas yang memiliki cita rasa pedas ini produksinya sangat minim di tengah guyuran hujan yang tak kunjung berhenti. Ketika curah hujan tinggi, produksi cabai tidak bisa maksimal dan malah banyak produksi cabai yang terserang penyakit.

 

"Cabai sekarang jadi sorotan. Saya belum ketemu ilmunya. Saya sudah diskusi dengan Mentan (Menteri Pertanian), jadi sudah menanam saja di pot. Karena kita tidak bisa melawan  iklim," ujar Enggar.

 

Pemerintah akhirnya berencana mengeluarkan komoditas cabai dan kedelai dari daftar harga acuan. Lima komoditas lainnya yang dipertahankan adalah beras, bawang merah,  daging sapi, jagung, dan gula. Enggar menegaskan Kemendag telah berkoodinasi dengan kementerian dan lembaga lain, terutama Bulog untuk memastikan lima bahan pokok  tersebut bisa sesuai dengan harga acuan yang dikeluarkan.

Musim penghujan tak selamanya berdampak buruk pada produktivitas pertanian. Untuk beras misalnya, musim hujan yang datang sepanjang tahun membuat produksi beras nasional  terjaga. Hal ini terlihat dari stok beras di sejumlah gudang serta yang dimiliki Bulog bisa mencukupi hingga lima bulan ke depan. Jumlah stok di gudang pedagang ataupun Bulog  bisa bertambah karena pada awal 2017 akan ada panen raya.

 

Kemungkinan dihilangkannya cabai dan kedelai dari daftar harga acuan belum final. Kemendag masih menakar barang pokok mana saja yang akan lenyap karena komoditas  tersebut sulit dikendalikan meski menggunakan peraturan harga acuan.

 

Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Oke Nurwan menjelaskan, masih ada sekitar satu bulan hingga 9 januari 2017 untuk memberikan hasil evaluasi atas Permendag  Nomor 63 tahun 2016. Kemedag bukan hanya akan mengintervensi dan mengubah tujuh bahan pokok yang sudah tertuang dalam peraturan, melainkan akan ada penambahan produk  bahan pokok yang akan dimasukan dalam revisi Permendag tersebut. "Kami sedang bahas penambahan komoditas lain, jadi mungkin akan lebih dari tujuh," ujar Oke.

 

Oke belum berani menyebutkan barang pokok mana saja yang akan masuk dalam harga acuan terbaru. Kemendag masih melakukan kajian dan akan dibahas bersama pihak terkait  lainnya. Namun, dari pembahasan yang telah dilakukan, terdapat lima komoditas yang masuk dalam kategori bahan pokok. Artinya, jika semua disetujui dan tidak melenceng dari hasil rapat belum lama ini, kemungkinan akan ada 11 bahan pokok yang terdapat revisi kebijakan Harga Acuan.

"Pokoknya kami akan fokus dulu untuk bahan pokok saja. Alasan kenapa ada yang tidak masuk, itu nanti saja," ujarnya. rep: Debbie Sutrisno  ed: Satria Kartika Yudha

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement