Senin 02 Jan 2017 14:00 WIB

Umat, Jokowi, dan 2017

Red:

Sehari setelah aksi 2 Desember 2016, yang terkenal sebagai Aksi 212, sosok publik itu  menyatakan pendapatnya. Ia berjuang mendukung Jokowi, sebutan akrab Joko Widodo, menjadi presiden pada 2014, tetapi kemudian jadi korban aparat hukum pemerintahannya.

Aksi damai tersebut, termasuk kedatangan Presiden Jokowi untuk shalat Jumat bersama massa, menjadi bahasannya. Pertanyaan yang mengemuka, apakah setelah Jumatan itu hubungan Jokowi dengan aktivis Islam akan membaik? Ia menggeleng. "Gap perasaan yang ada sudah terlalu lebar," katanya.

Boleh jadi pandangan tersebut benar. Sejak masa pemilihan presiden itu, kesenjangan perasaan sebagian aktivis Islam dengan Jokowi memang sudah ada. Banyak aktivis Islam menganggap Jokowi "tidak dhemes sebagai presiden."

Ketaatan shalat lima waktu Jokowi yang relatif lebih baik dibandingkan banyak presiden sebelumnya dianggap belum memadai. Prabowo, yang para saudara kandungnya beragama Nasrani, dianggap "lebih Islam" karena berani melawan Benny Moerdani pada masa Soeharto.

Namun, ternyata kebanyakan umat Islam malah memilih Jokowi. Pilihan itu tidak keliru. Setidaknya pada saat awal. Presiden Jokowi membuat kebijakan yang menyenangkan hati umat. Jokowi menjadi presiden pertama yang tegas mengeksekusi mati bandar-bandar narkoba.

Melalui Rachmat Gobel, salah satu menteri terbaiknya, pemerintahan Jokowi menata ulang peredaran alkohol. Jokowi juga membubarkan Petral yang menjadi sumber rente ekonomi di pemerintahan sebelumnya.

Lebih dari semua itu, Jokowi pun mencanangkan gerakan revolusi mental. Namun, Presiden Jokowi memudarkan sendiri harapan umat itu. Hal tersebut diawali dengan mencopot Rachmat Gobel yang membuat peredaran minuman keras kembali bebas.

Waktu Jokowi untuk duduk menyelami suara hati rakyat pun berkurang. Padahal, menyelami suara hati rakyat itulah yang telah melambungkannya menjadi pemimpin seperti sekarang.

Jokowi membiarkan cara kasar Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dalam menggusur kawasan miskin. Puncaknya adalah saat Jokowi dinilai menyokong Ahok untuk maju lagi menjadi gubernur Jakarta dalam pemilihan kepala daerah 2017.

Ahok? Inilah pusat kontroversi pelecut kesenjangan umat dan Jokowi. Banyak kalangan umat sebenarnya respek dengan kerja Ahok. Namun, pendekatan kasarnya, terutama pada rakyat bawah, membuat mereka mulai tak memercayainya.

Penyebutan "maling" di depan publik oleh Ahok pada seorang ibu yang menanyakan Kartu Jakarta Pintar buat anaknya tak dilupakan orang. Pada satu sisi, dimaklumi karena sebagai "orang seberang" Ahok tentu tak paham nilai tepo sliro yang dijunjung tinggi Jokowi.

Namun, di sisi lainnya, pemimpin yang menyakiti hati rakyat tentu tidak ditoleransi. Kasus penistaan agama meneguhkan penolakan umat pada Ahok. Sedangkan, eksistensi Ahok dipandang umat tak terpisahkan dari Jokowi.

Kesenjangan jarak antara umat dan Jokowi itu tak menguntungkan siapa pun. Tak menguntungkan umat sebagai mayoritas rakyat, tak menguntungkan Presiden Jokowi, bahkan tak menguntungkan kalangan minoritas yang kini menguasai perekonomian Indonesia.

Bangsa ini hanya akan maju dan kalangan minoritas sungguh damai sejahtera, bila umat maju dan sejahtera. Untuk itu, jarak antara umat dan Presiden Jokowi perlu sangat dekat agar membuat Indonesia maju dan seluruh warganya makmur.

Tantangan Indonesia saat ini besar. Ketimpangan ekonomi belum pernah sebesar saat ini. Dari kepemilikan uang di bank saja, misalnya, kurang dari lima persen warga menguasai lebih dari 95 persen uang, sedangkan lebih dari 95 persen warga menguasai kurang dari lima persen uang.

Kehidupan masyarakat bawah pada era yang makin material saat ini memang sungguh sulit. Ketimpangan itu melegitimasi tudingan, Indonesia dikendalikan "Sembilan Naga."

Keterbatasan dana untuk memikul beban belanja yang sudah telanjur besar juga merupakan tantangan tersendiri. Apalagi, ini terjadi di tengah perekonomian dunia yang cenderung muram. Tinggal Cina yang relatif masih memiliki keleluasaan finansial untuk mewarnai dunia.

Keadaan yang membuat Jokowi sulit menghindari langkah pragmatis berpaling ke Cina. Tentu Cina menyambut agresif hal itu dengan berbagai cara, yang membuat umat makin waswas. Di sisi lain, hukum belum tegak dan korupsi sedemikian mengakar.

Politik yang semestinya mengatasi itu malah makin tercengkeram oligarki politik kepentingan model lama. Jokowi yang bukan pemimpin partai politik terpaksa mengalokasikan banyak perhatian buat mengakomodasi mereka.

Itu membuat alokasi perhatiannya pada rakyat, yang mayoritas adalah umat, tentu menipis. Jokowi lalu dipandang menjadi lebih "berpolitik" dibandingkan "memberdayakan rakyat" seperti yang dulu dilakukannya di Solo.

Situasi seperti itu mempersulit Indonesia keluar dari jebakan transisi peradaban saat ini. Secara alamiah, setiap bangsa bergerak dari tradisional ke modern, kemudian ke tahap pos-modern. Tahap yang juga disebut peradaban madani atau peradaban civil society.

Suatu peradaban yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW di Madinah pada abad 7 Masehi, di mana kearifan tradisional bertaut erat dengan rasionalitas modern. Negara-negara Islam umumnya belum mampu melewati jebakan transisi tradisional-modern.

Krisis Timur Tengah adalah produk kegagalan keluar dari jebakan itu. Alam tradisional tak lagi mampu menanggung beban ledakan jumlah penduduk, sedangkan alam modern belum cukup terbangun. Maka konflik pun pecah.

Di tempat lain, kemenangan Donald Trump menunjukkan Amerika Serikat pun masih terjebak pada fase modern. Belum mampu melangkah ke pos-modern. Seperti pada bangsa-bangsa Islam lain, transisi tradisional-modern yang tidak mulus itu menjebak Indonesia.

Benturan para agamais pembela umat dan para modernis-sekuler pembela Ahok adalah cerminannya. Para agamais setengah tradisional-setengah modern berhadapan dengan para modernis-sekuler yang bangga dengan kemodernan awalnya.

Alur perkembangan peradaban Indonesia pun berhenti di tahap itu. Situasi yang membuat Indonesia belum mampu keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah yang kini membelenggu. Tahun 2016 yang muram sudah berlalu, 2017 pun tiba.

Tahun yang akan cerah bila semua menatap jauh ke depan, ke peradaban madani atau pos-modern seperti yang telah dicapai Jepang dan negara-negara Skandinavia.

Untuk itu, semua perlu bergerak meninggalkan fase tradisional dan modern awal untuk menuju ke fase modern substantif, yang ditandai dengan masyarakatnya yang mengindustri.

Hanya dengan masuk ke tahap itu lebih dahulu, berbagai persoalan dapat terurai dan bangsa dapat melangkah ke peradaban lebih maju. Menjembatani kesenjangan yang ada, terutama kesenjangan perasaan antara Presiden Jokowi dan umat.

Jembatan itu sebenarnya sudah mulai terbangun. Kehadiran Presiden Jokowi di Aksi 212 merupakan salah satu fondasinya. Saat itu Presiden Jokowi meninggalkan sejenak "politik" untuk duduk bersama dan mendengarkan suara rakyatnya.

Sementara, para agamis pun hening mengkritik dan memilih bermunajat mengetuk langit. Itu yang perlu diperkuat pada 2017 ini. Yakni, Presiden Jokowi yang banyak meluangkan waktu bersama dan mendengar suara hati umat serta umat yang lebih hening bermunajat mengetuk langit.

Dengan cara itu, gap yang ada akan terjembatani dan Indonesia dapat keluar dari berbagai belitan persoalan untuk kemudian melaju kembali di lintasan maju peradaban. Menuju peradaban madani. 

Zaim Uchrowi,

Penulis

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement