Senin 29 Feb 2016 15:00 WIB

Waspada Bencana

Red:

Bencana banjir, longsor, dan angin puting beliung masih menjadi ancaman yang perlu diwaspadai di musim hujan ini. Pemerintah dan masyarakat tak boleh lengah karena bencana bisa terjadi setiap saat.

Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sejak 1 Januari 2016 hingga 12 Februari 2016, bencana banjir, longsor, dan puting beliung telah melanda 290 kabupaten dan kota di Indonesia. Bencana hidrometerorologi itu menyebabkan 45 orang meninggal, 48 orang luka-luka, hampir satu juta jiwa mengungsi, dan ribuan rumah rusak.

Sejatinya, hujan adalah rahmat. Namun, perilaku masyarakat dan abainya pemerintah penyebab hujan berubah menjadi bencana. BNPB menyebut, faktor penyebab banjir dan longsor adalah antropogenik, yakni ulah manusia. Tengok saja lingkungan di sekitar kita. Lahan kritis kian meluas, daerah aliran sungai mengenaskan, ruang hijau pun kian menyusut.

Kondisi yang buruk itu masih ditambah pelanggaran tata ruang, pengelolaan sampah yang buruk, serta merebaknya izin usaha yang tak bersahabat dengan lingkungan. Inilah yang harus segera dibenahi. Sikap abai kita terhadap lingkungan yang menyebabkan hujan ini sebagai bencana.

Jumlah korban dan kerugian akibat bencana di musim penghujan ini akan terus bertambah, jika pemerintah daerah dan masyarakat lengah. Maka, kewaspadaan adalah antisipasi terbaik.

BNPB menyebut, banjir dan longsor tak seperti gempa bumi yang terjadi tiba-tiba. Seharusnya, banjir dan longsor sudah bisa diantisipasi sebelum terjadi. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo meminta sistem peringatan dini bencana dapat terintegrasi dalam sistem jaringan guna mengetahui daerah yang berpotensi bencana alam saat musim hujan, sehingga bisa meminimalkan kerugian dan korban jiwa.

Ide itu tak boleh berhenti sebagai wacana. Bila ada kemauan keras, pemerintah pusat dan daerah pasti bisa menciptakan sistem peringatan dini seperti yang diinginkan tersebut. Teknologi memang sudah seharusnya bisa dimanfaatkan untuk mendeteksi bencana. Tinggal, pemerintah mendukung para ahli untuk menciptakan teknologi tersebut.

Yang tak kalah pentingnya, pemerintah daerah harus memiliki peta daerah rawan bencana. Tak hanya itu, pemerintah daerah yang wilayahnya rawan banjir dan longsor mengedukasi masyarakatnya mengenai cara menghadapi dan menangani bencana. Upaya ini diharapkan bisa mengurangi jumlah korban jiwa akibat bencana. Sosialisasinya tentu harus dilakukan secara gencar.

Selain bencana banjir dan longsor, pemerintah pusat dan daerah di Sumatra dan Kalimantan juga tak boleh abai dengan temuan BMKG. BMKG Stasiun Pekanbaru melaporkan jumlah hot spot (titik api) di Pulau Sumatra meningkat tajam pada akhir pekan lalu.

Satelit Terra dan Aqua pada Jumat (26/2) memantau 47 hot spot berada di Sumatra. Sebanyak 47 titik panas tersebut tersebar pada lima provinsi di Sumatra. Di Aceh terdapat 16 hot spot. Riau 15 titik panas, Sumatra Utara 12 titik, Bengkulu dan Lampung dua titik panas.

Menurut BMKG, dari 15 titik panas di Riau, terdapat confidence atau tingkat kepercayaan di atas 70 persen sebagai pertanda titik api atau terbakarnya lahan dan hutan wilayah tersebut sebanyak 13 titik.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kalimantan Timur melaporkan, pada Jumat (26/2) terpantau 10 hotspot atau titik panas yang tersebar di tiga kabupaten di daerah itu. Kita tentu berharap, bencana kebakaran hutan yang menyebabkan kabut asap pada 2015 lalu tak terulang.

Munculnya, titik api yang masih berjumlah puluhan ini tak boleh diabaikan. Jangan sampai hutan kita terbakar lagi. Sebagaimana kita mengetahui hujan lebat berpotensi menyebabkan banjir. Tinggal bagaimana kita mencegahnya secara dini, memitigasi agar tak memakan korban jiwa yang semestinya bisa dihindari.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement