Rabu 21 May 2014 13:00 WIB
tajuk

Tantangan Ekonomi

Red:

Ini bukan tentang kelemahan bangsa Indonesia. Kita menyebutnya sebagai tantangan-tantangan yang harus dijawab para pemimpin terpilih. Jujur, kita menghadapi persoalan ekonomi serius mulai dari sektor keuangan, fiskal, moneter, infrastruktur, sektor riil, ekonomi kebangsaan, dan masih tingginya peran asing dalam cawe-cawe kebijakan ekonomi nasional.

Jangan sampai, karena kita tidak bisa menjawab persoalan-persoalan di atas, Indonesia yang kita cintai ini terjerembap ke dalam kelompok negara gagal. Apa itu negara gagal? Dua ekonom Amerika Serikat (AS), Daron Acemoglu dan James A Robinson, menggambarkannya secara jelas dalam bukunya berjudul, Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty.

Ringkasnya, seperti kata ekonom dari MIT dan Universitas Harvard ini, negara gagal muncul karena mereka tidak mampu menjawab kebutuhan-kebutuhan rakyatnya. Negara gagal lahir karena penguasa sibuk memperkaya kelompoknya, memperkuat kekuasaannya, dan menutup keterbukaan institusi politik dan ekonomi. Kreativitas dan kepentingan rakyat diabaikan.

Sebaliknya, negara tidak gagal membutuhkan satu syarat prinsip: adanya pemimpin yang memiliki visi kuat (strong leader). Pemimpin yang mengetahui pasti apa yang dibutuhkan dan diinginkan kebanyakan rakyat. Pemimpin yang sadar betul bahwa kekuasaan merupakan jembatan untuk menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran bagi segenap bangsa.

Mengapa Mesir dan Meksiko, misalnya, dianggap sebagai negara gagal oleh kedua penulis ini, karena mereka tidak memiliki pemimpin yang bervisi kuat, terbuka, dan luas. Kedua pemimpin negara ini gagal menjawab persoalan-persoalan bangsa, mulai dari masalah keuangan, infrastruktur, politik, kebebasan, hingga keterbukaan ekonomi.

Dua pasang calon presiden dan calon wakil presiden sudah mendeklarasikan kesiapannya mengikuti Pilpres 2014. Kita tidak menyangsikan kredibilitas dan kapabilitas pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo-Hatta Rajasa. Bagi kami, kedua pasang capres-cawapres ini merupakan orang-orang terpilih yang siap memimpin negeri ini dengan cita rasa demokrasi inklusif.

Strong leader bertanggung jawab untuk mengatasi masalah ketimpangan distribusi kekayaan dan pendapatan yang jurangnya semakin dalam. Jurang kemiskinan kita semakin gelap dan kebanyakan kaum menengah terjebak ke dalam pendapatan menengah bawah. Artinya, jika gelombang ekonomi bergerak negatif, kaum ini pun masuk ke dalam pendapatan rendah.

Persoalan ekonomi mendasar lainnya pun masih akut. Lihat saja masalah infrastruktur. Kita bercita-cita ingin meratakan kue pembangunan, tetapi jalan-jalan tidak dibangun. Rel-rel kereta api tidak diperbanyak dan kota-kota baru tidak didirikan. Kawasan-kawasan industri berakhir pada rencana saja. Dalam isu ini, jelas kita berada pada fase krisis.

Kita juga menghadapi cobaan berat pada politik anggaran belanja. Dengan komposisi belanja subsidi dan pegawai di atas modal pembangunan, biaya kesehatan, dana pendidikan, dan kesejahteraan sosial, APBN menjadi cermin betapa bangsa ini masih sakit. Kita lebih rela membakar minyak jadi asap hingga Rp 300 triliun setahun, sementara hanya menyisakan Rp 100 triliun untuk mengatasi pengangguran dan kemiskinan.

Lembaga-lembaga internasional, seperti Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF), pun selalu mengingatkan Indonesia untuk memperbaiki layanan investasi, kemudahan berbisnis, perbaikan indeks produktivitas, hingga memperkuat industri keuangan. Jelas, ini bukan pekerjaan mudah. Banyak ranjau, lubang, dan bukit-bukit terjal dan jurang menganga yang mengadang.

Presiden yang tidak memiliki strong leadership tidak akan mampu merangkai benang kusut ini menjadi terurai. Presiden yang "kosong" hanya membiarkan konflik-konflik ini terus terjadi tanpa ada solusi. Sebaliknya, presiden yang kuat dengan segala daya upayanya, bisa berperan sebagai inti rantai dari rangkaian-rangkaian puzzle yang berserakan ini.

Strong leader tidak hanya menciptakan pertumbuhan ekonomi tinggi, tetapi seiring itu mampu merapatkan dan menipiskan jurang ketimpangan ekonomi. Ekonomi tidak hanya tumbuh biasa-biasa saja, tetapi dengan tangan seorang presiden yang "berisi", pertumbuhan itu berjalan penuh kualitas.

Pemimpin seperti ini yang dibutuhkan bangsa Indonesia. Pemimpin yang memberikan tempat luas bagi terciptanya institusi politik dan ekonomi yang eksklusif. Pada akhirnya, kita semakin jauh dari cap negara gagal.

sumber : http://pusatdata.republika.co.id/detail.asp?id=737328
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement