Senin 18 Jul 2016 13:00 WIB

Dari Sumber Waras ke Cengkareng

Red:

Belum selesai kasus pengadaan tanah Yayasan Kesehatan Sumber Waras (YKSW), Pemprov DKI Jakarta kembali tersandung masalah tanah di Cengkareng. Jika pengadaan tanah YKSW diperkirakan menimbulkan kerugian negara Rp 173 miliar, di Cengkareng kerugian negara lebih besar hingga Rp 600 miliar.

Akar masalah kasus ini karena banyak penyelenggara negara, termasuk di Pemprov DKI Jakarta yang tidak paham ketentuan pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Akibatnya, timbul polemik mengenai legalitas pembelian tanah tersebut.

Dalam kasus tanah YKSW, muncul perdebatan mengenai dasar hukum pembelian tanah apakah berdasarkan Peraturan Presiden No 71 Tahun 2012 atau Perpres No 40 Tahun 2014. Perdebatan muncul karena persepsi yang keliru bahwa perpres tersebut adalah dua perpres yang berbeda. Keberadaan UU No 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang menjadi dasar pembentukan perpres itu pun luput dari perhatian.

Sesuai Pasal 59 UU 2/2012, Pemerintah menetapkan Perpres 71/2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Perpres itu mengalami empat kali perubahan, yaitu dengan Perpres 40/2014, Perpres 99/2014, Perpres 30/2015, dan terakhir Perpres 148/2015. Perpres 71/2012 dan Perpres 40/2014 merupakan satu peraturan, bukan dua peraturan berbeda. Perpres ini disebut dengan Perpres Pengadaan Tanah.

Salah satu ketentuan Perpres 71/2012 yang diubah dengan Perpres 40/2014 adalah soal luas tanah yang pelaksanaan pengadaannya dapat dilakukan langsung oleh instansi yang memerlukan tanah. Batas maksimal yang awalnya seluas satu hektare diubah menjadi maksimal lima hektare. Ketentuan lain di Perpres 71/2012 yang tidak berubah tetap berlaku.

Masalah lainnya adalah mengenai makna pengadaan tanah secara langsung oleh instansi yang memerlukan tanah. Ada yang memahami Pasal 121 Perpres sebagai pengecualian atas pelaksanaan empat tahapan pengadaan tanah yang diatur UU 2/2012 dan Perpres Pengadaan Tanah. Tahapan itu meliputi perencanaan, persiapan, pelaksanaan, dan penyerahan hasil. Sebagian lainnya berpendapat, ketentuan ini pengecualian hanya bagi tahapan pelaksanaan.

Untuk mengetahui mana yang benar, harus dipahami dahulu wewenang pemerintah dan proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Pasal 6 UU 2/2012 mengatur wewenang pengadaan tanah untuk kepentingan umum diselenggarakan oleh pemerintah. Pemerintah di sini adalah pemerintah pusat, yaitu Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan.

Jadi, prinsipnya, pengadaan tanah untuk kepentingan umum hanya boleh dilakukan oleh pemerintah pusat. Pelaksanaannya dilakukan oleh lembaga pemerintah yang mengurus bidang pertanahan, yaitu Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Kepala BPN dapat menugaskan pelaksanaan pengadaan tanah kepada Kepala Kantor Wilayah Pertanahan. Kepala Kantor Wilayah Pertanahan dapat menugaskan Kepala Kantor Pertanahan sebagai Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah. Penugasan ini mempertimbangkan efisiensi, efektivitas, kondisi geografis, dan sumber daya manusia.

Di luar pemerintah pusat, tidak satu pun instansi (lembaga negara, kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian, pemerintah daerah, dan BHMN/BUMN) dapat menyelenggarakan sendiri pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Untuk memenuhi kebutuhan tanah, instansi yang memerlukan mengajukan pelaksanaan pengadaan tanah kepada lembaga pertanahan (BPN) sebagai pelaksana wewenang pemerintah pusat di bidang pertanahan.

Sesuai UU dan perpres, ada empat tahapan pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Masing-masing tahapan memuat tanggung jawab pihak terkait. Tahap perencanaan; instansi yang memerlukan tanah membuat rencana pengadaan tanah dalam bentuk dokumen perencanaan yang paling sedikit memuat: kesesuaian dengan rencana tata ruang wilayah dan prioritas pembangunan, letak dan luas tanah, gambaran umum status tanah, perkiraan nilai tanah, dan rencana penganggaran.

Tahap persiapan; gubernur melaksanakan tahapan persiapan setelah menerima dokumen perencanaan pengadaan tanah dengan membentuk tim persiapan beranggotakan bupati/wali kota, satuan kerja perangkat daerah provinsi terkait, instansi yang memerlukan tanah, dan instansi terkait lainnya. Tim bertugas; pendataan awal lokasi, menyiapkan dan mengumumkan penetapan lokasi pembangunan.

Tahap pelaksanaan dilakukan pemerintah pusat, yaitu lembaga pemerintah yang mengurusi bidang pertanahan (BPN). Tahap ini berdasarkan permintaan instansi yang memerlukan tanah. Dalam tahap ini, dilakukan kegiatan penetapan penilai yang bertugas melakukan penilaian besarnya ganti kerugian per bidang tanah, musyawarah penetapan bentuk ganti kerugian dan pemberian ganti kerugian.

Tahap penyerahan hasil; ketua pelaksana pengadaan tanah (BPN) menyerahkan hasil pengadaan tanah berupa bidang tanah dan dokumen pengadaan tanah kepada instansi yang memerlukan tanah disertai data pengadaan tanah.

Seluruh tahapan ini merupakan prosedur bagi setiap pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Tapi, pelaksanaannya disadari dapat menimbulkan ketidakefektifan dan ketidakefisienan.

Untuk itu, Pasal 121 Perpres Pengadaan Tanah memberikan pengecualian dalam rangka efisiensi dan efektivitas, pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang luasnya tidak lebih dari lima hektare, dapat langsung oleh instansi yang memerlukan tanah dengan para pemegang hak atas tanah, dengan cara jual beli atau tukar menukar atau cara lain yang disepakati kedua pihak.

Ketentuan ini pengecualian dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang penerapannya dilakukan untuk luas tanah yang diadakan tidak lebih dari lima hektare. Sesuai pasal ini, instansi yang memerlukan tanah dibolehkan langsung melakukan transaksi pengadaan tanah dengan para pemegang hak atas tanah tanpa melalui pemerintah pusat, dalam hal ini BPN.

Pertanyaannya, apakah untuk pengadaan tanah yang luasnya tidak lebih dari lima hektare tidak memerlukan tahap perencanaan, persiapan, dan pelaksanaan sebagaimana diatur dalam Perpres Pengadaan Tanah? Apakah instansi yang memerlukan tanah tidak perlu membuat perencanaan pengadaan tanah yang antara lain memuat kesesuaian rencana pembangunan dengan rencana tata ruang wilayah, rencana penganggaran, letak dan luas tanah, serta status tanah? Apakah gubernur tidak perlu melaksanakan tahapan persiapan pengadaan tanah, seperti pendataan awal dan penetapan lokasi pembangunan?

Jawabannya, tentu saja tidak! Dari tahapan pengadaan tanah, pengecualian diberikan hanya khusus untuk tahapan pelaksanaan dan penyerahan hasil. Sedangkan, tahap perencanaan dan persiapan harus tetap dilaksanakan.

Jika pengadaan tanah YKSW dan Cengkareng oleh Pemprov DKI tidak mengikuti ketentuan itu, sudah pasti pengadaannya menyimpang. 

Hendar Ristriawan

Pemerhati Hukum Keuangan Negara

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement