Selasa 14 Jun 2016 13:00 WIB

Gerakan Neo-Nazi di Jerman

Red:

Dua hari sebelum memasuki bulan Ramadhan tahun ini, ribuan warga Jerman yang tergabung dalam gerakan Neo-Nazi kembali berdemonstrasi besar-besaran di Kota Dortmund, Jerman Barat, pada Sabtu, 4 Juni 2016. Misi mereka sama, yaitu menghidupkan kembali semangat Nationalsozialismus (Nazi) bentukan Adolf Hitler dengan sasaran baru: antikaum imigran dan umat Muslim, yang selama ini dianggap telah menginfiltrasi dan merusak budaya Jerman.

Sebenarnya, demonstrasi ini merupakan aksi mereka untuk yang kesekian kalinya setelah serangkaian aksi besar menentang Islamisasi Eropa terjadi pada 6 Februari 2016 di 14 negara Eropa. Meski gerakan mereka tidak begitu masif dan tidak didukung oleh pemerintahan Angela Merkel, mereka tetap konsisten melakukan aksi di berbagai kota, termasuk Dresden, Jerman bagian Timur, sebagai salah satu basis gerakan ini. Sejak Pemerintah Jerman memutuskan untuk menerima sekitar lebih dari satu juta imigran, yang berasal dari Syiria dan negara Timur Tengah lainnya, gejolak Islamofobia mencuat kembali di kalangan warga Jerman.

Tulisan Michael Ley di Harian Austria, Die Presse, pada 19 Juni 2015 berjudul "The Islamization in Europe: No, I Do Not Have Visions" bisa membantu kita menyelami alam pikir warga Eropa yang begitu takut pada Islam. Ley secara tegas menyebutkan Islam adalah sumber derita umat manusia dan syariat Islam adalah bahaya terbesar bagi demokrasi dan hak asasi manusia abad ke-21. Sangkaan ini didukung oleh tulisan Hank Berger di portal ufppc.org (01.08.2015) berjudul "Analysis: The Concept of Islamophobia in Europe". Berger mengungkapkan, 59-70 persen warga di berbagai negara Eropa meyakini, kerja sama dengan dunia Islam adalah suatu ancaman.

Sangkaan-sangkaan tersebut kemudian didukung dengan bukti riil, seperti serangan pelecehan seksual terhadap seorang perempuan yang terjadi di Kota Köln, Jerman, pada malam tahun baru 2016. Pelakunya diduga adalah pemuda asal Timur Tengah. Kemudian, pada 15 Maret 2016, terjadi sebuah ledakan di Kota Berlin yang menewaskan seorang sopir. Meskipun tidak ada tanda-tanda menyudutkan Islam, sangkaan warga Jerman lagi-lagi mengalamatkan pelaku pada umat Muslim.

Entah ada apa dengan alam pikir orang Jerman. Bahkan, ketika penulis ditanya oleh pemilik apartemen, tempat penulis pernah tinggal, "Agama Anda apa?" Lalu, saya jawab, "Muslim." Dengan spontan, dia mengatakan, "Saya harap Anda tidak seperti teroris-teroris keji itu." Meski dengan tetap menunjukkan wajah penuh senyum kepadanya, pernyataan tersebut sempat menyelimuti pikiran penulis beberapa hari ke depan, sebegitu burukkah sangkaan warga Jerman terhadap umat Muslim.

Selain itu, sebuah frasa dalam bahasa Jerman, "Turkey Raus… Turkey Raus." (Turki keluar, Turki keluar) pun tertulis di tembok-tembok gedung atau kamar mandi yang tersebar di sekitar Dortmund. Tulisan tersebut mengindikasikan kebencian warga Jerman terhadap orang-orang Turki yang mayoritas Muslim.

Meskipun masih banyak warga Jerman lain yang berpikir rasional dan tidak selalu menyudutkan Islam, penutupan sejumlah mushala atau tempat masjid di tiga universitas Jerman menjadi bukti penguat bahwa alam bawah sadar warga Jerman adalah negatif terhadap Islam. Penutupan mushala tersebut terjadi pada tahun ini juga di TU Berlin University, Duisburg-Essen University, dan TU Dortmund University.

Fenomena ini harus menjadi bahan evaluasi dan refleksi kita sebagai umat Muslim, terutama pada momentum Ramadhan ini. Sebagai Muslim di salah satu negara yang memiliki durasi puasa cukup panjang di tahun ini, kurang lebih antara 18 sampai 19 jam setiap harinya, kita seharusnya menjadikan bulan ini sebagai madrasah untuk menyucikan diri atas apa yang telah kita lakukan untuk menuju derajat muttaqin.

Namun, perkembangan positif Islam di Jerman tak kalah menariknya untuk diungkap di sini. Walau saat ini jumlah Muslim Jerman kurang lebih masih sekitar lima juta (lima persen dari total penduduk kurang lebih 80 jutaan), kuantitasnya terus meningkat. Hal ini terlihat dari terus bertambahnya jumlah mualaf yang bersyahadat dan menyatakan masuk Islam setelah shalat Jumat. Jumlah masjid di berbagai kota di Jerman juga terus meningkat, bahkan sebuah masjid yang cukup megah di Köln sempat menimbulkan kontroversi dan penolakan dari warga Jerman sehingga pembangunannya belum selesai hingga saat ini.

Selain itu, jumlah generasi baru Islam di Jerman saat ini juga bertambah seiring berkurangnya jumlah penduduk lokal Jerman. Alasan tidak inginnya pasangan pribumi Jerman memiliki jumlah anak yang banyak, atau bahkan tidak ingin memiliki anak satu pun serta banyaknya anak yang lahir dari kalangan Muslim Jerman menjadi salah satu penyebabnya. Sebagai bukti riil adalah jumlah siswa di salah satu taman kanak-kanak (TK) Dortmund, tempat putri dari penulis bersekolah, yang mayoritas dari keturunan Muslim, bahkan salah seorang gurunya berjilbab/Muslimah.

Tren ini sepertinya akan terus berkembang. Karena itu, maju dan mundurnya peradaban Islam adalah sesuai dengan ungkapan cendekiawan Mesir Muhammad Abduh, al-Islamu mahjubun bil-muslimin, Islam mundur karena perilaku umat Islam itu sendiri. Ajaran Islam tentang kebersihan, kedisiplinan, dan moralitas masih jauh dari perilaku umatnya, bahkan tak ada satu pun negara mayoritas Muslim menerapkan ajaran tersebut, termasuk Indonesia. Sebaliknya, negara-negara Barat, seperti Norwegia, Swedia, Selandia Baru, dan Jerman justru menjadi benchmark (tolok ukur) dari ajaran Islam tersebut. Viele Grüße.

Ridho Al-Hamdi

Kandidat Doktor Ilmu Politik TU Dortmund University Jerman

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement