Kamis 07 Apr 2016 14:00 WIB

Muhammadiyah, Deradikalisasi, dan Gerakan Ekonomi

Red:

Mengapa Muhammadiyah begitu getol mengadvokasi kasus tewasnya almarhum Siyono, warga Dukuh Brengkungan, Desa Pogung, Cawas, Klaten, dari tangan "salah tangkap" Detasemen Khusus 88 (Densus 88) Antiteror Mabes Polri? Bahkan, Muhammadiyah "berani" melakukan autopsi dengan menurunkan sembilan dokter ahli forensik.

Kematian Siyono sejatinya tidak terlepas dari fragmen proyek (program) deradikalisme yang digelar pemerintah melalui instrumen Densus 88. Bagi Muhammadiyah, program deradikalisme seperti itu sama halnya mengakui dan mencitrakanbahwa Indonesia sebagai negara yang dipenuhi oleh kaum radikal dan kaum teroris (Suara Muhammadiyah, 16-31/3).

Lantas, apa solusi Muhammadiyah untuk mengurangi tensi radikalisme? Untuk menyentuh akar masalah radikalisme dan terorisme, gerakan moderasi adalah jawabannya. Yakni, penanganan hanya pada kelompok atau wilayah yang diasumsikan sebagai pelaku dan atau area radikalisme.

Dengan pendekatan blocking area, menurut Muhammadiyah, radikalisme dapat diselesaikan secara bijaksana dan mengurangi efek lahirnya radikalisme baru. Nilai-nilai Islam yang damai dan universal dapat dijadikan sebagai cohesive force (kekuatan pemersatu) untuk menangani radikalisme.

Gerakan moderasi merupakan gerakan pemersatu yang mengidealisasikan kerukunan, kebersamaan, dan kegotong-royongan sesama warga di Tanah Air. Gerakan ini mengurangi tensi saling curiga yang memojokkan satu kelompok tertentu. Gerakan moderasi adalah gerakan merangkul tanpa memukul.

Dalam bidang ekonomi, gerakan moderasi adalah program memberi ruang partisipasi dan aksesibilitas warga negara ke sumber daya ekonomi yang didasarkan pada prinsip keadilan dan pemerataan bagi semua.

Untuk mengurangi tensi radikalisme, kekecewaan pelaku radikalisme harus dikurangi. Dalam konteks gerakan ekonomi, kekecewaan bisa diminimalisasi tentu melalui gerakan mengurangi ketimpangan ekonomi dan gerakan merangkul melalui "aliansi ekonomi".

Maka, ketimpangan ekonomi--sebagai biang radikalisme, terjadi tidak sekadar karena rakusnya kekuatan pasar, tapi lebih dipicu keputusan politik. Joseph E Stiglitz dalam The Price of Inequality (2005) menyatakan, ketimpangan dalam aset dan pendapatan lebih sering terjadi sebagai akibat keputusan politik ketimbang konsekuensi dari bekerjanya kekuatan pasar (makro ekonomi). Itu artinya, ketimpangan adalah buah dari kebijakan pemerintah sendiri.

Tidak mengherankan, jika ketimpangan penguasaan tanah, misalnya, seperti yang disampaikan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), lebih dilatari kebijakan sektoral yang sangat akomodatif terhadap korporasi, tetapi tidak pada rakyat. Makanya, mengonfirmasi data BPN (2014), ketimpangan lahan berada di kisaran 0,64 (Gini ratio).

Sekitar 70 persen aset ekonomi berupa tanah, tambak, kebun, dan properti hanya dikuasi oleh 0,2 persen penduduk. Tentunya, ketimpangan yang makin akut seperti itu telah menjadi biang pemantik lahirnya kekecewaan yang pada gilirannya melahirkan reproduksi radikalisme.

Selain mengurangi tensi ketimpangan ekonomi, "aliansi ekonomi" antara pelaku radikalisme dan negara melalui badan usaha milik negara (BUMN) perlu digelar sebagai manifestasi gerakan moderasi. Seperti yang ditawarkan Fachry Ali (2016) bahwa BUMN berpeluang menjadi sarana deradikalisasi pandangan keagamaan melalui penciptaan "aliansi ekonomi" dengan rakyat. Jalannya adalah mendorong aktivitas ekonomi yang terjangkau penduduk kebanyakan melalui pembentukan dan mengorporasikan badan usaha milik rakyat (BUMR) di bawah koordinasi BUMN.

BUMR, menurut Fachry, diharapkan menjadi sarana moderasi dan praktis yang terinstitusionalisasi, di mana rakyat terlibat dan berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi nyata, sehingga ujungnya menghilangkan alienasi rakyat terhadap fakta ketimpangan ekonomi dan mengurangi tensi the millinneal beliefs yang kerap menyulut aksi-aksi radikal (terorisme).

Selain melalui BUMR, ormas keagamaan semacam Muhammadiyah juga perlu menawarkan program pelibatan "pelaku" dalam gerakan-gerakan ekonomi. Melalui amal usaha Muhammadiyah (AUM), pelibatan aliansi itu dimulai dari keterlibatan publik dalam keanggotaan koperasi, BTM/BMT Muhammadiyah, dan gerakan ekonomi Muhammadiyah lain yang tentu didasarkan pada kompetensi dan idealisme Muhammadiyah.

Aliansi ekonomi dengan rakyat hanya bisa dilakukan jika prasyarat ketimpangan ekonomi sebagai biang pemantik radikalisasi bisa dienyahkan. Jika fakta itu secara struktural masih masif dan belum bisa diminimalisasi, sangatlah sulit memberi ruang BUMR untuk dijadikan solusi moderasi mengurangi radikalisme.

Untuk menciptakan "aliansi ekonomi" dengan rakyat, tidak mesti menggunakan entitas korporasi (BUMR), tapi diperlukan entitas pemberdayaan. Tentu, entitas ini memberikan ruang partisipatif bagi rakyat dalam memberdayakan dirinya dengan penuh kesadaran terlembaga. Sehingga, ujungnya bukan secara politik dijadikan proyek deradikalisme melalui BUMR.

Maka, merujuk William et al (1994) dan the Human Development Report (2005), pemberdayaan rakyat memiliki tiga elemen, yakni enabling, empowering, dan advocation. Tiga elemen ini menjadi pilar moderasi gerakan ekonomi rakyat untuk mengurangi tensi radikalisme degan pendekatan blocking area.

Dengan elemen enabling, berarti ekonomi rakyat diberi suasana dan lingkungan dalam mengembangkan potensi dirinya. Yang paling tahu tentang potensi usahanya, rakyat itu sendiri. Karena itu, berikan ruang partsipatif dan aksesibilitas ke sumber daya ekonomi. Mereka adalah the fortune at the bottom of the pyramid dalam teori CK Prahalad (2009).

Untuk elemen empowering, ekonomi rakyat diberi ruang melalui dukungan usaha, pelatihan, penguatan kelembagaan usaha, dan jaringan. Gerakan moderasi seperti ini tentu membutuhkan treatment usaha, sehingga membutuhkan keterampilan teknikal, organisatoris, dan jiwa entrepreneurship.

Sementara, elemen advocation memberi ruang ekonomi rakyat untuk memperoleh pendampingan, kebijakan pemihakan, dan perlindungan. Kekuatan pelaku ekonomi tidaklah simetris. Maka, perlu pembelaan bagi pelaku ekonomi rakyat yang bergerak dalam skala mikro dan kecil.

Intinya, gerakan moderasi untuk mengurangi tensi radikalisasi melalui "aliansi ekonomi" dengan rakyat berarti memberi ruang, aksesibilitas, dan pemihakan. Institusionalisasi aliansi ekonomi diperlukan dalam konteks penguatan kapasitas dan kapablitas ekononomi rakyat seperti yang diungkap Amartya Sen (1992) di tingkat lokal. Gerakan moderasi seperti ini tidak akan melahirkan Siyono-Siyono baru sebagai korban proyek radikalisme. 

Mukhaer Pakkanna

Wakil Ketua MEK PP Muhammadiyah, Ketua STIE Ahmad Dahlan Jakarta

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement