Kamis 11 Feb 2016 16:00 WIB

Refleksi Jakarta, Paris, Istanbul

Red:

Sebagai wartawan asal Turki yang sudah lama hidup dan tinggal di Indonesia, saya sangat mencintai tanah ini seperti saya mencintai tanah kelahiran saya. Sebagai Muslim, saya juga mencintai saudara-saudara Muslim di sini, menyukai keramahan, dan ketulusan mereka. Ketaatan orang-orang Indonesia sudah teruji di tengah gerusan moral yang menyerangnya lewat maraknya media-media global.

Beberapa pekan lalu, hati saya kembali hancur. Kita diguncang teror, orang ramai-ramai mengatakan, itu perbuatan orang Muslim. Sebelum ini juga pemberitaan ramai membahas teror Paris dan teror Sultan Ahmet, Istanbul. Semua ini membuat hati saya sedih.

Jakarta pagi itu diguyur pilu. Langit cerah, sementara hati kami mendung. Di perempatan Sarinah kekacauan terjadi, massa menyemut. Mobil-mobil polisi menderu dengan sirine kencang. Tiba-tiba, gemuruh datang, bukan petir siang bolong, melainkan menggelegar menumpahkan duka. Kejadian yang tidak seharusnya terjadi di tanah yang cinta damai ini.

Di sekitar lingkungan kerja saya, orang-orang ramai mengatakan teroris itu Muslim dan Muslim itu teroris. Mata mereka kurang luas melihat betapa ramahnya Muslim Indonesia. Skema kejadian ini mengingatkan saya akan tulisan ulama intelektual Turki Fethullah Gulen yang diterbitkan di majalah Le Monde edisi 13 November 2015.

Ulama yang akrab disapa Hocaefendi (Hoja Efendi) itu mengatakan, kita harus mengutuk segala macam ideologi yang diberitakan dan dipromosikan oleh teroris. Di saat yang sama, mereka mengklaim diri mereka sebagai Muslim, kemudian menyebarkan ideologi sesat.

Kita sebagai umat Islam memiliki tanggung jawab untuk meluruskan kesesatan ini. Tidak hanya dengan bergandengan tangan untuk menyelamatkan dunia dari terorisme dan ekstremisme, tetapi mengembalikan citra atas keimanan kita yang telah ternoda. Kita harus melakukannya justru dengan cara sebaliknya, yaitu dengan kejelasan sikap dan kepercayaan diri sebagai Muslim. Kita juga harus mengedepankan semangat pluralistik dan saling menghargai antarsesama manusia.

Ini berarti, sebelum memperkenalkan diri dengan identitas etnis milik kita, baik itu identitas nasional, kesukuan, atau agama, ada hal paling utama untuk diperhatikan, yakni rasa kemanusiaan kita. Perasaan yang dibuat menderita setiap kali ada tindakan biadab dan penindasan yang dilakukan terhadap sesama.

Ini bukan berarti kita harus terputus dari tradisi Islam, melainkan pertanyaan cerdas yang dapat mengonfirmasi ajaran yang benar-benar berasal dari Alquran, hadis, dan tradisi kenabian dalam Islam. Pendahulu kita telah berusaha untuk mencapainya.

Hocaefendi mengingatkan kita untuk berlaku adil, bukan hanya karena kita Muslim, melainkan juga karena kita adalah bagian dari umat manusia. Berlaku adil terhadap sesama adalah poin dari silaturahim yang diajarkan Rasulullah Muhammad SAW. Dengan berlaku adil maka Allah menciptakan adanya kedamaian, cinta, dan kasih sayang di tengah-tengah umatnya.

Hocaefendi juga mengingatkan kita akan pentingnya ilmu pengetahuan. Pentinganya menjadi manusia unggul untuk kemudian dapat mengenalkan Islam seutuhnya. Dengan ilmu, kita bisa terlibat dalam diskusi-diskusi kontraterorisme dan berbagi ide bagi kepentingan bersama.

Menjadi perwakilan Muslim di kancah global bukan berati kita harus meninggalkan ajaran Islam, justru kita mengimplementasikannya. "Kabarkanlah walau satu ayat" dengan menjadi manusia modern yang berpegang teguh kepada Alquran dan hadis maka kita adalah Muslim yang memeluk Islam sebagai rahmatan lil 'alamin.

Wahai Muslim, wahai orang-orang yang bersinar hatinya. Saat ini, mungkin kita belum sadar, belum pernah berkontemplasi untuk bercermin Muslim seperti apakah kita. Sebagai seorang Turki, cucu dari Kekhalifahan Utsmaniyyah, saya merasakan betul bagaimana musuh-musuh Islam menggunakan berbagai cara untuk menjauhkan kita dari Alquran dan hadis.

Lalu, bagaimana kondisi Indonesia? Di sini, anak-anak masih berlomba-lomba mengaji menjelang Maghrib, orang tua akan menegur bila mereka tak meramaikan surau dan masjid-masjid. Muslim Indonesia adalah potret kolaborasi kehidupan modern yang dinamis dengan ketaatan terhadap ajaran agama.

Di sini, karyawan yang bekerja akan berduyun-duyun untuk pergi ke mushala tempat mereka bekerja, bahkan mereka bersedia menunda makan siangnya. Ada hal yang seimbang antara bekerja dan berdoa. Bila ditanya, biasanya mereka menjawab "cita-cita saya ingin pergi haji bersama keluarga". Subhanallah.

Saya mencintai kalian saudaraku, tetapi kejadian Sarinah membuat saya sedih. Betapa orang yang penuh kasih ini harus diganggu dengan perbuatan yang tidak manusiawi. Saat ada kejadian bom di Paris, semua mata memandang Muslim sebagai pelakunya, di Istanbul pun mereka bilang Muslimlah pelakunya, dan begitu pun sekarang di Sarinah, juga seperti itu.

Lebih dari itu, bagaimana bisa Muslim Indonesia yang dikenal ramah dan penuh kasih sayang itu menerima doktrin paham radikal? Bahkan, pondok pesantren pun dituding menjadi tempat berkembangnya ajaran ini. Bagaimana bisa mereka mengamini paham itu, sedangkan setiap saat masjid selalu menjadi pilar bagi berkembangnya peradaban di tanah ini.

Muslim menjadi kambing hitam atas segala teror yang terjadi. Semoga, Allah SWT menjadi pembimbing terbaik kita. Mari Kita mengutamakan ajaran Alquran dan hadis yang sempurna, mengedepankan dialog dalam mengatasi segala macam permasalahan. Membentengi generasi muda dengan ilmu pengetahuan dan ajaran agama yang sempurna.

Fethullah Gulen Hocaefendi mengatakan, jika kita ingin membela hak-hak dan kebebasan Muslim, perdamaian, dan ketenangan dari semua manusia juga harus dijaga. Terlepas apa pun keimanan mereka, kita perlu mempertimbangkan pula dimensi lainnya. Kita pasti bisa berjuang melawan kekerasan dan terorisme dan terhadap ideologi totaliter yang mengarah ke sana.

Salah satu caranya dengan berperilaku saleh dalam kehidupan kita sendiri dan menyingkirkan interpretasi ekstremis atas nama agama. Selain itu, tetap waspada pada dampak dari ideologi ekstrem yang bisa disebarkan kepada para pemuda generasi penerus bangsa. Kita harus mengajarkan pada para pemuda ini nilai-nilai demokrasi yang benar sejak dini.

Selim Caglayan

Cihan News Agency Reprensentative of Indonesia

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement