Sabtu 12 Dec 2015 15:02 WIB

Saudagar Muhammadiyah

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Pada 11-13 Desember 2015, Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan (MEK) PP Muhammadiyah menggelar temu Jaringan Saudagar Muhammadiyah (JSM) di Surabaya, Jawa Timur. Pertemuan ini tak sekadar membangkitan nostalgia terhadap masa kebangkitan saudagar Muhammadiyah di awal berdirinya.

Bukan sekadar amanat Muktamar ke-47 Muhammadiyah di Makassar yang di-tanfidZkan dalam visi, yakni bangkitnya etos dan kreativitas ekonomi dalam menguatkan kemandirian Muhammadiyah sebagai wujud kontribusi persyarikatan bagi kebangkitan ekonomi umat dan bangsa. Namun, pertemuan ini momentum dari kesadaran baru bahwa saudagar Muhammadiyah harus bergerak dan berjamaah dalam membangun etos dan praksis ta'awun warga.

Romantisme sejarah membuktikan, pada periode awal pergerakan, Muhammadiyah selalu diinisiasi oleh kaum saudagar. Mereka ini berfungsi ganda, selain sebagai juru dakwah, juga sebagai saudagar dalam mensyiarkan Islam di mana mereka berkunjung. Periode awal, para saudagar Muhammadiyah sukses membangun kemandirian organisasinya. Figur Kiai Dahlan sebagai tokoh sentral dan merupakan prototipe saudagar sejati kerap berdagang di berbagai kota.

Bahkan, Kiai Dahlan selalu mengajarkan murid-muridnya untuk menjadi orang yang mandiri secara ekonomi. Hasilnya, cukup mencengangkan. Pada 1916, kaum saudagar yang menjadi anggota persyarikatan Muhammadiyah tercatat dalam sejarah mencapai 47 persen dari total anggota Muhammadiyah.

Dalam aspek momentum, saatnya sekarang saudagar Muhammadiyah bangkit berjamaah. Di tengah rendahnya jumlah saudagar yang hanya 0,8 persen dibanding negara tetangga. Penduduk Singapura yang menjadi saudagar mencapai 7,2 persen, Malaysia 2,1 persen, Thailand 4,1 persen, Korea Selatan empat persen, Cina dan Jepang 10 persen, dan yang tertinggi AS 11,5-12 persen.

Teringat kembali uraian David McClelland (1961), suatu negara akan menjadi makmur jika jumlah saudagar mencapai dua persen dari penduduknya. Jumlah penduduk Indonesia saat ini 215 juta jiwa, negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat setelah Cina, India, dan AS. Namun, di balik jumlah penduduk tersebut, potensi ini belum diimbangi dengan jumlah saudagar.

Dengan angka di bawah satu persen, di - khawatirkan kualitas angka makroekonomi Indonesia masih disangsikan nasibnya ke depan. Data Bank Dunia (2013), produk domestik bruto (PDB) Indonesia di atas 706,558 miliar dolar AS atau posisi 17 besar ekonomi dunia. Bahkan, diprediksi pada 2025, PDB Indonesia mencapai 3,8 triliun ? 4,5 trilun dolar AS atau pendapatan per kapita 13 ribu dolar AS -16.100 dolar AS. Dalam kondisi ini, Indonesia di posisi 12 sebagai kekuatan "episentrum" ekonomi besar dunia.

Sejatinya, kualitas pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita tinggi harus paralel dengan berkurangnya jumlah rakyat miskin, tereduksinya disparitas ekonomi, dan tertekannya angka pengangguran. Data BPS 2013 mengonfirmasi, sekitar 20 persen atau 47,6 juta penduduk Indonesia--dua kali penduduk Malaysia--hidup makmur dengan pendapatan di atas Rp 120 juta atau 13 ribu dolar AS per tahun.

Mereka inilah yang memacetkan jalan raya dengan mobil dan sepeda motor, memenuhi bandara untuk bepergian dengan pesawat terbang, meramaikan mal dan pusat perbelanjaan, serta membeli produk properti.

Di atas itu ada lima persen atau 12 juta penduduk Indonesia hidup dengan penda patan di atas Rp 500 juta atau 55 ribu dolar AS setahun. Kelompok inilah yang memiliki portofolio investasi di saham, obligasi, dan reksa dana. Sisanya, 75 persen adalah rakyat miskin yang pengeluarannya Rp 7.000 per hari.

Dalam piramida pendapatan penduduk Indonesia, sekitar 40 persen penduduk ada di tengah dan 40 persen lainnya di bagian terbawah. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita Indonesia diiringi melebarnya angka disparitas atau kesenjangan ekonomi antarpenduduk dan wilayah mengindikasikan, dinamika ekonomi Indonesia pada strata bawah dalam piramida ekonomi tak ditopang jumlah dan kualitas saudagar di level menengah-bawah.

Data itu mengonfirmasi, ekonomi Indonesia ternyata hanya dihela segelintir kekuatan strata atas piramida penduduk atau dimaknakan kekuatan ekonomi Indonesia kurang melibatkan strata bawah masyarakat.

Konsekuensinya, pertumbuhan ekonomi dan kenaikan pendapatan perkapita tidak berkualitas (semu). Maka, untuk meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi, tidak ada jalan lain kecuali meningkatkan kualitas kekuatan ekonomi strata menengah-bawah piramida ekonomi. Jika ingin membangun etos saudagar, tidak ada jalan lain, mentransformasikan sesuatu yang "kurang bernilai" yang letaknya dalam level bawah (bottom of the pyrramid) menjadi sesuatu bernilai tinggi, bahkan bernilai tambah yang luar biasa (Prahalad, CK, 2011).

Dengan peta kondisi ekonomi ini, Muham madiyah perlu merumuskan pola gerakan ekonomi yang mampu melibatkan bottom of the pyrramid. Dengan demikian, temu Jaringan Saudagar Muhammadiyah (JSM) tak sekadar pertemuan paguyuban dan membangun bisnis pribadi antarwarga, tapi harus memiliki misi pemberdayaan. Karena itu, JSM harus mampu merumuskan berikut.

Pertama, membangun usaha ekonomi masyarakat rentan (mikro). Berdasarkan data Kemenkop dan UKM (2014), jumlah usaha mikro dan kecil di Indonesia 55,162 juta unit usaha atau 99,91 persen dari total unit usaha di Indonesia. Usaha mikro dan kecil ini menyerap 98,877 juta pekerja atau 94,52 persen dari total pekerja di Indonesia.

Mereka ini dicitrakan sebagai small is beautiful. Usaha mikro seperti ini masih lebih kuat dicirikan pada "zona nyaman" yang kerap sulit dipacu menjadi besar. Dalam krisis finansial global dewasa ini agaknya penguatan terhadap kelompok ini memerlu - kan dukungan karena di tangan merekalah denyut sektor riil berputar setiap hari.

Karena itulah, konsep one village one BMT/BTM yang digulirkan Asosiasi Baitul Maal Wat Tamwil (Absindo) perlu mendapat sambutan. Hanya persoalan, sejauh mana fungsi pemberdayaan BMT/BTM di masya - rakat dalam mengangkat derajat usaha small is beautiful ini?

Kedua, membangun jejaring usaha yang memiliki manfaat sosial tinggi. Usaha yang bergerak di bidang pertanian, perikanan, usaha kerajinan rakyat, usaha padat karya, usaha yang menyerap konsumen masyarakat menengah ke bawah (usaha ritel, distribusi, ekonomi kreatif, dan lainnya) perlu banyak difokuskan.

Karena itu, JSM perlu memetakan usaha yang mampu memproduksi jenis substitusi impor. Serbuan produk asing terutama dari Cina dapat mengakibatkan kehancuran sektor usaha mikro jika saudagar Muhammadiyah tidak segera mengantisipasi.

MUKHAER PAKKANNA

Wakil Ketua Majelis Ekonomi PP Muhammadiyah, Ketua STIE Ahmad Dahlan Jakarta

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement