Senin 09 Jun 2014 16:00 WIB

Amanat, Netralitas, dan Pilpres 2014

Red:

Tentara tidak boleh menjadi alat suatu golongan atau orang siapa pun juga! Demikianlah amanat Panglima Besar Jenderal Soedirman yang disampaikan pada saat Konferensi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), 12 November 1945, di Yogyakarta. Ketegasan Panglima Besar Jenderal Soedirman membawa prajurit negara (militer) menjauhi ranah politik tentu bukan tanpa sebab. Keterlibatan militer dalam politik hanya akan merusak kompetisi politik, mendistorsi kebijakan politik, serta menciptakan keresahan sosial dalam rangka bargaining politik keamanan (Ikrar Nusa Bhakti, 1999).

Argumen tersebut bukan tanpa bukti nyata. Pada era Orde Baru, militer mempunyai pengalaman yang cukup pahit imbas dari "dijerumuskan" oleh penguasa ke dalam pusaran kekuasaan. Kala itu, militer dikendalikan dan dikuasai sedemikian rupa sehingga turut aktif di dalam lembaga eksekutif, legislatif, bahkan yudikatif. Selain itu, militer juga kerap menjadi kuda tunggang pemerintah sipil untuk meloloskan kebijakan-kebijakannya. Akibatnya, terjadi apa yang disebut oleh Samuel Huntington dengan political decay (pembusukan politik), berwujud instabilisasi politik, inefisiensi perekonomian, inkonsistensi kebijakan, dan inkonsistensi penegakkan hukum. Bagi internal militer sendiri, baik di tubuh TNI (dulu ABRI) maupun Polri berakibat pada lemahnya internal institusi, rendahnya apresiasi masyarakat, dan juga impian menuju prajurit-prajurit TNI/Polri profesional menjadi semakin jauh dari harapan.

Harga mati

Petuah-petuah yang telah diamanatkan oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman menjadi harga mati bagi TNI/Polri untuk selalu ditegakkan bila tak ingin terjerumus oleh bujuk rayu elite politik di negara ini. Hanya saja, dalam pergelaran elektoral Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 kali ini, tantangan TNI/Polri untuk menjaga netralitas institusinya benar-benar sangat diuji. Terlebih lagi, dua kandidat calon presiden (capres), yakni Prabowo Subianto dan Joko Widodo (Jokowi), sama-sama telah memamerkan dukungan kalangan purnawiran TNI/Polri kepada publik beberapa waktu lalu.

Tindakan yang dilakukan kedua capres tersebut jelas adalah bentuk tantangan di depan mata bagi netralitas TNI/Polri. Bukan tidak mungkin tentunya para purnawirawan tersebut bisa menggaet petinggi-petinggi TNI/Polri yang masih aktif untuk memberikan dukungan secara diam-diam. Buktinya, di beberapa daerah telah ditemukan anggota bintara pembina desa (babinsa) yang mengarahkan masyarakat untuk memilih capres tertentu.

Pada hakikatnya, sikap netral TNI/Polri dalam setiap pergelaran elektoral telah dijamin oleh konstitusi. Netralitas TNI ditegaskan melalui UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Pada pasal 2 huruf (d) UU tersebut menyebutkan bahwa jati diri TNI adalah tentara profesional, yaitu tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi.

Sementara, netralitas Polri ditegaskan melalui UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri. Pasal 28 ayat 1 UU tersebut menyebutkan, Polri bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis. Maka, mau tak mau, secara konstitusi menjadi keharusan bagi TNI/Polri untuk tetap mengedepankan netralitas sikap politiknya di dalam setiap pergelaran elektoral.

Celah kerawanan

Meski netralitas TNI/Polri telah dinyatakan secara tegas dalam konstitusi, harus diakui bahwa konstitusi tetap tidak bisa menjamin bahwa TNI/Polri akan 100 persen bersikap netral dalam pilpres. Inkonsistensi penegakan hukum, terlebih lagi jika melibatkan orang-orang "berpangkat", masih menjadi kendala utama di negara ini. Selain itu, terdapat pula beberapa celah kerawanan yang secara nyata bisa dimanfaatkan oleh tim sukses masing-masing capres untuk "menjerumuskan" TNI/Polri agar mau bermain di belakang layar.

Pertama, pengalaman "terjerumus" politik praktis yang relatif lama pada era Orde Baru, yakni sekitar 30 tahun. Pengalaman historiografi yang cukup panjang tersebut jelas akan membawa pengaruh sikap politik pada tubuh TNI/Polri. Kedua, banyaknya purnawirawan TNI/Polri yang secara terang-terangan menyatakan dukungan politiknya kepada dua kandidat capres. Ketiga, masih minimnya alokasi anggaran bagi TNI/Polri, khususnya alokasi anggaran alutsista dan anggaran kesejahteraan personel. Tak heran jika kemudian isu peningkatan alokasi anggaran TNI/Polri selalu menjadi jualan yang menarik bagi para capres untuk menggoda netralitas TNI/Polri, tak terkecuali di Pilpres 2014 kali ini.

Karena itu, TNI/Polri harus mampu meletakkan netralitas sikap politik mereka sejalan dengan profesionalismenya. Dengan kata lain, netralitas sikap politik mutlak harus terintegrasi langsung dengan profesionalisme TNI/Polri. Dalam pandangan Samuel P Huntington, diartikan bahwa profesionalitas militer tidak hanya dalam konteks mahir dalam menggunakan senjata dan dilatih dalam tugasnya saja, tetapi juga harus dapat menggunakan kemampuan analisis, pandangan luas, imajinasi, dan pertimbangan.

Pergelaran Pilpres 2014 mendatang menjadi ajang pembuktian bagi TNI/Polri untuk bisa membuktikan netralitasnya dalam ranah politik. Bila kedua institusi militer tersebut berhasil mempertahankan netralitasnya dengan tidak bermain "di belakang layar", maka dapat dipastikan apresiasi dan kepercayaan publik pada kedua institusi tersebut akan meningkat. Waallahua'alam.

oleh: Pangki T Hidayat

Penulis adalah Direktur Eksekutif Research Center for Democratic Education, Yogyakarta

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement