Ahad 20 Nov 2016 17:00 WIB

Abu Al-Hasan Ali Hasani Nadwi Sang Revivalis Abad ke-20 yang Mendunia

Red:

Kiprah dan kontribusi besarnya terhadap dunia Islam mengantarkannya menyabet perhargaan internasional dari Faisal International Award pada 1980, Brunei Award, dan UEA Award pada 1999.

Cendekiawan Muslim asal India Sayid Abu al-Hasan Ali Nadwi adalah tokoh penting gerakan revivalis abad ke-20. Nadwi adalah salah satu eksponen terbesar Islam pada paruh kedua abad tersebut.

Melalui tulisan dan pidato-pidatonya, ia memiliki wilayah yang luas dan pengaruh yang membentang jauh melampaui subbenua, khususnya di dunia Arab. Nadwi pernah tercatat sebagai anggota Kehormatan Akademi Seni dan Sastra, Damaskus, dan Akademi Bahasa Arab, Amman, serta menjabat sebagai dosen tamu di sejumlah universitas Arab.

Secara internasional, Nadwi diakui sebagai salah satu anggota Pendiri Rabitah al-Alam al-Islami (Liga Dunia Islam) Makkah pada 1963 dan bertugas di Dewan Tinggi Universitas Islam, Madinah.

Selain itu, ia juga pernah dipercaya sebagai Komite Eksekutif Federasi Universitas Islam, Rabat, dan sebagai Ketua Dewan untuk Pusat Studi Islam dari Universitas Oxford.

Ceramah yang disampaikan di India, Arab, dan Barat sangat dihargai sebagai kontribusi asli untuk mempelajari  Islam dan relevansi Islam untuk zaman modern. Wajar bila atas dedikasinya itu, ia mendapat anugerah Faisal International Award pada 1980 dan Brunei Award dan UEA Award pada 1999.

Tokoh kelahiran 24 November 1914 ini juga dikenal sebagai sosok yang produktif menulis. Nadwi menulis lebih dari 50 buku dalam berbagai bahasa. Buku yang ia tulis tentang sejarah, teologi, dan biografi. Nadwi juga menulis ribuan makalah, artikel, dan pidato.

Karyanya yang terkenal, Madza Khasir al-'Alam bi Inhithath al-Muslimin, tidak hanya diakui secara luas, tetapi juga mengukir tempat di kalangan sastra dunia Arab. Karya ini juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa, Inggris, Turki, Indonesia, Persia, Tamil, dan beberapa bahasa lain.

Selain itu, ada pula yang berjudul Karvaan-e-Zindagi. Karya ini terdiri atas delapan volume dan Purane-Chiragh (sketsa kehidupan kepribadian kontemporer), biografi Sayid Ahmad Shaheed, dan Tarikh-e-Dawat-o-Azimat adalah kontribusi permanen Nadwi untuk sastra Urdu.

Skolastik

Nadwi terlahir dari keluarga skolastik. Ayahnya, Hakim Sayid Abd al- Hai, merupakan seorang penulis. Ia menulis  ensiklopedi bahasa Arab hingga delapan volume yang disebut Nuzhat al-Khawatir. Buku itu berisi biografi lebih dari 5.000 teolog dan ahli hukum dari berbagai negara.

Nadwi menerima bekal agama dari rumahnya, di Takia, Raebareli, Uttar Pradesh, India. Ibunya yang memulai pelatihan awal dalam studi Alquran. Nadwi kemudian masuk pendidikan formal dalam bahasa Arab, Persia, dan Urdu.

Setelah kehilangan ayahnya pada usia sembilan tahun, Nadwi dibesarkan oleh kakaknya, Sayid Abu al-Ali Hasani, yang berpraktik kedokteran di Lucknow. Di Lucknow, Nadwi mengkhususkan diri belajar sastra Arab di Nadwatul Ulama, Lucknow.

Ia juga belajar hadis di bawah asuhan Syekh Husain Ahmed Madani di Darul Uloom, Deoband, dan belajar tafsir di bawah bimbingan Maulana Ahmad Ali dari Lahore.

Selain studi sastra dan teologis, Nadwi juga mengembangkan minatnya dalam ilmu sejarah Islam. Setelah menyelesaikan studi, Nadwi mengajar sastra Arab dan tafsir di Nadwatul Ulama selama sepuluh tahun. Setelah kematian kakaknya, ia menjadi sekretaris Nadwatul Ulama dan kemudian didaulat sebagai rektor.

Terlepas dari hubungan yang panjang dengan Nadwa (sebagai mahasiswa, guru, sekretaris, dan pemimpin), ia juga bertugas di Syura di Darul Uloom, Deoband, memimpin Divisi Karya Tulis (Dar al-Musannefin), Azamgarh, dan mendirikan Akademi Penelitian dan Publikasi Islam di Lucknow. Selain keluarga dan sekolah, Nadwi juga memiliki beberapa guru yang memengaruhi pemikiran spiritualnya. Yakni, Shah Alamullah Naqshbandi dan Syed Ahmad Shaheed.

Dalam tahun-tahun formatif, Nadwi dikaitkan dengan Jamaat-e-Islami selama beberapa tahun setelah didirikan oleh Maulana Abu al-Ala al-Maududi. Lalu, ia berpindah ke Jamaah Tabligh yang didirikan oleh Maulana Ilyasi. ed: nashih nashrullah

Islam Faktor Positif dan Kreatif Sejarah Manusia

Sebagai tokoh yang terkenal moderat, bagi Nadwi, eksposisi Islam ditandai dengan moderasi. Ia tidak fanatik dalam arti istilah, tetapi memercayai Islam sebagai rahmat bagi umat manusia.

Menurut Nadwi, Islam merupakan faktor positif dan kreatif dalam sejarah manusia. Islam dirasakan sebagai kekuatan peradaban yang mempertahankan relevansi pada era modern sebagai tandingan yang layak untuk peradaban Barat dengan segala eksesnya.

Keahlian Nadwi adalah pemahaman yang luar biasa tentang sejarah Islam. Ia begitu memahami pasang surut kejayaan Islam dari zaman ke zaman. Dengan keahliannya ini, Nadwi sering berhadapan dengan pemikiran masyarakat kontemporer.

Kecintaannya terhadap tanah kelahiran begitu besar. Ia tidak pernah melakukan jihad dengan kekerasan untuk mengembalikan dominasi Muslim. Ia hadir untuk saling menghormati, hidup berdampingan secara damai untuk nilai-nilai kemanusiaan dan membangun suasana sosial berdasarkan toleransi dan kerukunan di India dan di dunia pada umumnya.

Nadwi sangat memahami semangat perubahan zaman. Dia menghargai peran demokrasi dan nasionalisme. Dengan wawasan mendalam di bidang ilmu Alquran dan sirah Nabi SAW, ia memahami implikasi dari multiagama di dunia.

Nadwi tidak terlibat dalam politik aktif, ia tidak pernah ikut serta dalam pesta pemilihan atau politik elektoral. Ia bahkan tidak bergabung dengan organisasi All India Muslim Majlis yang didirikan oleh anak didiknya Dr  A J Faridi pada 1967.

Untuk mempromosikan kerukunan, Nadwi menjadi salah satu pendiri dari FOCUS yang kemudian diubah menjadi Society for Communal Harmony. Ia juga mendirikan gerakan Pyam-e-Insaniyat untuk menyebarkan ajaran kebenaran dan persaudaraan.

Nadwi menghargai konstitusi dan tatanan sekuler sebagai penjamin identitas Islam dari komunitas Muslim dan tidak berperilaku diskriminasi terhadap muslim dalam berbagai bidang kehidupan.

Dalam dekade terakhir hidupnya, Nadwi menjabat sebagai penengah atau juru pisah pada setiap perbedaan intrakomunal. Nadwi menasihati para pihak yang memiliki pandangan berbeda dengan kesabaran dan kebijaksanaan, gerakan dalam kerangka demokrasi dan supremasi hukum, dan bermartabat.

Dengan komitmen kepada prinsip-prinsip demokrasi, sekularisme dan nonkekerasan sebagai satu-satunya dasar yang layak untuk pemerintahan India, ia berusaha secara konstan melakukan dialog antaragama dan untuk rekonsiliasi dan terciptanya kehidupan harmoni. Tokoh kebanggaan Muslim India ini wafat pada 23 Ramadhan 1420 H bertepatan dengan 31 Desember 1999 di Raebareli, India, pada usia 85 tahun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement