Ahad 07 Aug 2016 18:00 WIB

Buku-Buku tanpa Kata

Red:

Tanpa kata-kata, sebuah buku tetap menjadi buku. Memasuki toko buku akhir-akhir ini, kita bisa disapa oleh sekelompok buku tanpa kata-kata sebagai isian makna. Kata-kata barangkali hanya judul, pengantar, atau selingan, bukan kata-kata untuk dibaca.

Kata-kata diganti dengan gambar untuk diwarnai. Buku-buku itu dinamai Coloring Book for Adult. Tema flora, fauna, kain Nusantara, kartun, kota, pemandangan alam, dan tubuh manusia memberi ujian mewarna tanpa membaca.

Di beberapa toko buku yang saya datangi, buku mewarnai menempati rak bersama buku-buku berkata. Terkadang, buku-buku tanpa kata dan belum diwarna ini ditaruh di meja tersendiri dengan penampakan lebar dan nuansa putih.

Tidak dapat ditolak, saya bertemu buku puisi Sapardi Djoko Damono, Hujan Bulan Juni (2016) yang telah berubah format menjadi buku mewarnai meski puisi masih ada. Pegawai toko buku dengan sadar telah mengubah ekologi buku Sapardi tidak lagi berada di rak buku sastra.

Buku mewarnai - puisi Sapardi barangkali jadi pembalikan konsepsi mewarnai dari melihat menjadi mewarnai dari membaca. Di sela-sela visualitas atas kota, alam, taman, gunung, manusia, daun, sepatu, kata-kata masih ada dalam jelma puisi.

Pengalaman biografis mata belajar warna telah mengajari bahwa daun itu berwarna hijau, langit berwarna biru, tomat berwarna merah. Namun, warna seperti apa yang hendak diterakan saat menemu kata sembilu, sukma, tangis, kenangan, gelisah, bunyi, dan rindu. Apa warna yang pas memberi nyata pada perasaan.

Sedari awal pengajaran mewarnai, tangan kita memang diajar sering memberi warna benda yang tampak, diam, atau nyaris dianggap selalu mati. Hak mewarnai perasaan mungkin terlalu gaib dan magis hingga sering kali hanya menjadi urusan psikolog, paranormal, ahli cakra, atau dukun sekalipun.

Semakin dewasa, buku-buku penuh warna ditinggalkan dalam hening masa kecil, beralih ke masa depan penuh teks, huruf, angka, dan tanda baca. Tubuh seakan-akan tidak disempatkan memiliki persediaan memori mengingat warna yang bercerita suka dan lara mewaktu-memeristiwa.

Membaca dua jilid novel grafis Kim Dong Hwa berjudul Sepeda Merah 2 (2012), kita diperbolehkan merasa terpesona saat warna berpadu malu-malu dengan gambar dan cerita. Setiap musim, rumah-rumah di desa, peristiwa, dan perasaan jiwa manusia memiliki warna.

Setiap hari, sepeda merah si tukang pos menyapa kupu-kupu kuning putih, rumah kuning dalam kehijauan, rumah bergenting merah, dan bunga merah di tepi sungai. Ada tumpukan batu keabuan mewakili kerinduan lelaki tua pada istri yang telah tiada.

Di hadapan latar pegunungan dan langit senja, ada dua lelaki tua desa yang tengah berbincang mempertanyakan pada diri, Dan warna apakah ini yang tengah kita renungi? Apakah ini warna emas? Ataukah matahari terbenam? Umur mereka seperti warna langit sore.

Para orang tua telah berhasil melewati tahun-tahun kehidupan di tengah modernitas yang mendatangkan konflik batin; pencemaran sungai, bisnis properti menggusur tanah desa, urbanisasi, dan pendidikan modern.

Puisi Keluarga garapan Mardi Luhung (2016) pun mengingatkan pendar-pendar warna dalam lembaran peristiwa berkeluarga. Mengingat keluarga justru tidak terjadi lewat pengingatan atas sifat personal yang sering digunakan untuk mendefinisikan orang lain.

Kita cerap: Ibuku hijau. Ayahku kuning. Dan aku merah. Lalu aku menikah. Istriku putih. Maka anak-anakku campuran warna. Kadang kuning-merah. Kadang merah-hijau. Kadang hijau-putih. Dan kadang malah tak tersebut. Tapi tetap memberi arah. Dan mengarahkan jalan-jalan yang aku lalui.

Warna diimajinasikan sebagai permulaan biar ada cerita-cerita tercipta. Mardi Luhung melanjutkan, Jadinya, kami menduga, dulu, dulu sekali, si pertama yang menegak tidaklah membaca. Apalagi menulis. Tapi menggambar dengan warna: Hijau untuk pohon. Biru untuk laut. Kuning untuk matahari. Dan bening tak tersentuh untuk Yang Maha.

Buku mewarnai kekinian bagi orang dewasa memang lebih dibebani tugas menghilangkan frustasi. Harga memang mahal, namun kualitas kertas dipastikan bagus. Beberapa malah menampilkan pengantar berupa panduan psikologis atas warna sepaket dengan pensil warna merek terkenal.

Segala ruwet masalah entah jadwal kerja, mengurus rumah tangga, ujian, kemacetan, penghasilan, dialihkan kepada warna. Tidak masalah mendatangkan warna-warna tanpa kata di awal dan di akhir. Buku menjadi sekadar pelarian, sulit ada serumpun kata apalagi ilmu yang disakralkan dan melegakan kebodohan. Bahkan, sakral juga telah digagalkan menjadi milik warna.

Setyaningsih, Redaktur buletin resensi Bukulah (edisi online di bukulah.wordpress.com), bergiat di Bilik Literasi Solo,  Penulis buku kumpulan esai Bermula Buku, Berakhir Telepon (Jagat Abjad, 2016) 10 besar lomba mewarnai 45 Tahun Tempo.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement