Selasa 20 Oct 2015 11:00 WIB

Habib Abdurahman Assegaf Pendidik Umat di Kota Metropolitan

Red:

Nama Habib Abdurrahman as-Segaf tak asing bagi masyarakat di sekitar Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Pemilik sapaan lengkap al-Walid al-Habib Abdurrahman bin Ahmad bin Abdul Qodir Assegaf ini merupakan salah satu ulama penting yang berperan besar dalam perkembangan Islam di kawasan metropolitan tersebut.  

Tokoh kelahiran 1908 di Cimanggu Bogor ini dikenal sebagai pendidik yang tulus ikhlas. Ia mendedikasikan hidupnya untuk mengajarkan ilmunya kepada umat. Bahkan, sejak usianya masih muda, ia dipercaya mengajar di Madrasah Jami'at al-Khair, lembaga pendidikan Islam formal tertua yang ada di Batavia, ketika itu. 

Semangat untuk berjuang mengajarkan ilmu dari al-Walid, demikian ia akrab disapa, telah mengkristal saat usianya muda. Pada umur 20 tahun, ia hijrah ke Bukit Duri, Jakarta Selatan. Berbekal ilmu agama yang telah diperoleh selama menimba ilmu, ia mendirikan lembaga pendidikan sendiri yang diberi nama Tsaqafah Islamiyah. Lembaga yang fokus pada pengajaran ilmu agama itu masih tetap bertahan hingga kini di tengah-tengah hiruk pikuk Jakarta. 

Menariknya, lembaga ini mampu mandiri dalam penyusunan kurikulum. Kurikulum belajar-mengajar merupakan hasil karya langsung dari al-Walid. Tidak pernah merujuk kurikulum yang diberlakukan oleh pemerintah, kitab-kitab karya al-Walid mendominasi mata pelajaran di Madrasahnya itu. 

Kebijakan ini tak terlepas dari sosok al-Walid yang sangat produktif menulis. Di tengah-tengah kesibukannya mengajar, ia berhasil menuangkan sejumlah karyanya di berbagai bidang. Mulai dari tafsir, tauhid, akhlak, fikih, dan sastra. Di antaranya, Hilyat al-Jinan Fi Hady al-Quran, Safinat as-Sa'id, Mishbah az-Zaman, dan Bunyat al-Ummahat.

Kitab yang dikarang tak sebatas karya berbahasa Arab, ia juga mengarang kitab-kitab berbahasa Melayu dan Sunda dengan tulisan Arab pegon. Al-Walid juga memiliki untaian syair indah yang berisikan pujian untuk Allah SWT. Kumpulan pujian yang dirangkai pada 1960-an itu terangkum dalam Tawasul al-Walid Al-Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf. Menariknya, syair itu dirangkai saat al-Walid kehilangan penglihatan selama lima tahun.     

Cinta ilmu

Kecintaan terhadap ilmu agama telah membuncah dalam diri al-Walid sejak usia dini. Dia rela menempuh perjalanan sepanjang puluhan kilometer untuk menghadiri majelis ilmu, baik formal atau informal. Untuk urusan pendidikan formal, al-Walid memilih belajar kepada Habib Abdullah bin Muhsin al-Athas (Habib Empang Bogor). Sedangkan, Madrasah Jami'at al-Khair menjadi pilihan pendidikan formalnya.

Keinginan dan hasrat belajar yang kuat itu, bukan berasal dari dorongan atau bahkan 'paksaan' kedua orang tuanya. Semangat menimba ilmu itu murni dari kemauan yang kuat dalam diri al-Walid, terutama setelah kepergian sang ayah, Habib Ahmad bin Abdul Qadir as-Segaf.

Hidup dalam keterbatasan tak mengurangi ghirah belajar al-Walid. Bahkan, sepeninggal sang ayah, kondisi ekonomi keluarganya tengah terpuruk. Ia hidup sebagai anak yatim yang miskin. "Waktu Lebaran, anak-anak mengenakan sandal atau sepatu, tapi saya tidak punya sandal apalagi sepatu," kata al-Walid, seperti dikisahkan putranya Habib Ali bin Abdurahman Assegaf.

Kendati demikian, al-Walid tidak patah asa, ia bahkan mencatat prestasi gemilang selama menuntut ilmu, baik formal atau nonformal. Ia tercatat sebagai murid yang cerdas, selalu menduduki peringat pertama di Madrasah Jami'at al-Khair. Kecerdasan itu diimbangi dengan kematangan spiritual dan emosional.

Akhlaknya yang mulia menjadi teladan bagi teman-temannya. Para guru juga menaruh perhatian besar terhadap murid kebanggaan mereka itu. Tak jarang, al-Walid mendapatkan jam pengajaran khusus, seperti ilmu gramatikal Arab secara intensif. Bekal berharga itu menempatkannya sebagai sosok yang ahli bahasa sekaligus penulis dan orator yang andal.  Keteladanan al-Walid itu dijadikan contoh dan cerminan oleh para guru ketika mendidik murid-murid yang lain.

Pada Senin 26 Maret 2007, Allah SWT menjemput pendidik umat di kota metropolitan, Jakarta ini. Masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam di Jabodetabek, kehilangan salah satu guru yang karismatik, berilmu, dan berakhlak mulia. Ribuan jamaah mengiringi pemakaman almarhum ke peristirahatan terakhir, Kompleks Pemakaman Kampung Lolongok, tepatnya di belakang Kramat Empang, Bogor.

Habib Abdurrahman meninggalkan keturunan-keturunan pilihan, yakni para penyebar ilmu dan pendakwah. Sembilan dari 22 keturunannya yang masih hidup saat ini (lima putra dan tiga putri) sukses berdakwah di daerahnya masing-masing.

Mereka adalah Habib Muhammad (pemimpin pesantren di kawasan Ceger, Jakarta Timur), Habib Ali (pemimpin Majelis Taklim Al-Affaf di wilayah Tebet, Jakarta Selatan), Habib Alwi (pemimpin Majelis Taklim Zaadul Muslim di Bukit Duri, Jakarta Selatan), Habib Umar (pemimpin Pesantren dan Majelis Taklim Al-Kifahi Ats-Tsaqafi di Bukit Duri, Jakarta Selatan), dan Habib Abu Bakar (pemimpin Pesantren Al-Busyo di Citayam, Bogor). Sementara itu, tiga putrinya pun mempunyai jamaah tersendiri. c62ed: nashih nashrullah 

          

***

Karamah Air 'Zamzam Al-Busyro'

Semasa al-Walid hidup, Allah SWT menampakkan sejumlah karamah dalam diri al-Walid. Ini tak terlepas dari sosok al-Walid yang alim dan saleh. Salah satunya, ketika hendak Majlis Taklim al-Busyro di Bogor sekira 1990. Di daerah tersebut, sebelumnya sangat sulit mencari sumber air bersih. Namun ketika membuka majelis taklim itulah, Habib Abdurrahman bermunajat kepada Allah SWT selama 40 hari 40 malam guna memohon petunjuk lokasi sumber air.

Pada hari ke-41, sumber air belum juga ditemukan. Maka, Habib Abdurrahman pun meneruskan munajatnya. Berdasarkan cerita dari keluarga al-Walid mengenai kisah tentang "Zamzam al-Busyro", tak lama kemudian, datanglah seorang lelaki misterius membawa cangkul dari tempat yang tidak diketahui asalnya.

Tanpa ada komando dari siapa pun, lelaki tadi dengan serta-merta mencangkul tanah di dekat rumah Habib Abdurrahman. Setelah selesai mencangkul, kemudian ia berlalu dan tanah bekas cangkulan tadi ditinggal serta dibiarkan begitu saja, tidak lama kemudian, merembeslah air dari tanah bekas cangkulan tersebut. Sampai kini, sumber air bersih itu dimanfaatkan oleh warga Parung Banteng, terutama untuk keperluan Majelis Taklim al-Busyro. c62ed: nashih nashrullah 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement