Kamis 23 Oct 2014 12:00 WIB

Survei: Warga Jabodetabek Paling Doyan Makan Gorengan

Red:

Rosyid (45 tahun) memberikan uang kembalian kepada pelanggannya, Reni Sari (27), seorang karyawati. Rosyid merupakan penjual gorengan di Gambir, Jakarta Pusat. Petang menjadi momen yang dia nantikan setiap harinya. "Orang pada pulang kantor," ujarnya singkat, Rabu (22/10).

Gorengan yang dijualnya tidak jauh-jauh dari tempe goreng, bakwan, tahu goreng, atau pisang goreng. Namanya juga gorengan, semuanya dimasak dengan cara digoreng menggunakan minyak goreng. Namun, ketika ditanya berapa kali minyak itu digunakan untuk menggoreng, Rosyid malu-malu menjawabnya. "Ya, pokoknya buat goreng semua," ujarnya.

Meski kebanyakan pecinta gorengan seperti Reni tahu hal tersebut, mereka seolah menutup mata. "Gorengan tetap di hati," kata Reni.

Reni tidak sendiri. Penduduk Jakarta dan kota-kota penunjang, seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, ternyata memiliki tingkat konsumsi gorengan (makanan yang digoreng) dengan angka yang tinggi. Hal ini terungkap dari hasil survei yang dilakukan Lila Muliani dari Sinarmas Agri (PT Smart) terhadap 100 responden berusia 24 hingga 45 tahun yang tinggal di Jabodetabek.

"Dari sepuluh pilihan menu yang disodorkan, masakan yang digoreng masih paling favorit," ujar Lila dalam orasi ilmiah yang ia sampaikan. Sepuluh menu yang ditawarkan juga termasuk beberapa jenis masakan berbahan dasar sayuran.

Ia menambahkan, hasil survei menunjukkan masyarakat masih memilih makanan berat; seperti nasi uduk, nasi goreng, atau bubur; untuk menu sarapan mereka. Untuk menu gorengan, responden masih memfavoritkan ayam goreng, ikan goreng, tempe, dan tahu goreng. "Sebanyak 46 persen dari mereka menyadari kalau minyak yang terkandung merupakan sumber kolesterol," kata Lila.

Padahal, gorengan atau hampir semua jenis makanan yang digoreng pada dasarnya tidak baik bila dikonsumsi terlalu banyak. Dr Marzuki, ahli gizi dari Poltekkes Jakarta, mengungkapkan alasannya.

"Gorengan itu kan dimasak dengan digoreng. Untuk menggoreng, butuh suhu tinggi yang bisa menghasilkan peroksida," ujarnya kepada Republika.

Senyawa peroksida ini, Marzuki melanjutkan, bila dibiarkan terpapar suhu tinggi dalam waktu yang lama, dapat berubah menjadi karsinogen. Karsinogen inilah yang bila dikonsumsi sangat berbahaya bagi kesehatan. "Risiko kanker meningkat bagi siapa pun yang mengonsumsinya," katanya.

Untuk itu, Marzuki mengingatkan kepada konsumen agar berhati-hati dalam pemanfaatan minyak goreng. Berdasarkan penjelasannya, minyak goreng hanya boleh digunakan untuk dua hingga tiga kali penggorengan. "Selebihnya, tidak sehat," ujarnya.

Demikian juga, dengan konsumsi makanan berminyak yang idealnya hanya dilakukan dua kali dalam seminggu. Marzuki menyarankan agar masyarakat mulai beralih pada metode memasak tanpa minyak, seperti mengukus atau merebus.

Penelitian ini juga menunjukkan bahwa total konsumsi rata-rata masyarakat Jabodetabek masih di atas kebutuhan kalori harian yang disarankan (AKG, 2013). "Kebutuhan kalori harian manusia normal, rata-rata 2.000 kilo kalori (kkal)," kata Marzuki.

Meskipun lemak memang dibutuhkan oleh tubuh sebagai sumber energi dan fungsi biologis dari tubuh, Marzuki mengingatkan untuk tetap membatasi jumlah lemak yang dikonsumsi.

"Masyarakat harus diberikan pendidikan kesehatan terkait kebutuhan gizi harian. Ilmu diet ini demi membangun manusia Indonesia yang sehat," ujarnya.

Kebutuhan lemak yang baik, menurut Marzuki, dapat diperoleh dari ikan. "Jadi, tidak harus makanan berlemak yang enak-enak, tapi malah sakit-sakitan di kemudian hari," katanya.

Belum lagi kandungan kolesterol yang terkandung dalam gorengan juga mampu meningkatkan risiko penyakit. Menurutnya, kandungan kolesterol sehat, yaitu antara 100 dan 150 mg/ desiliter darah tubuh. "Kolesterol itu harus ada dalam tubuh. Tapi, jangan kebanyakan," ujar Marzuki menambahkan.

Kebutuan gizi seimbang adalah proporsi diet yang tepat dengan rasio: 50 persen karbohidrat, 30 persen protein, dan 20 persen lemak.

Fakta bahwa angka konsumsi gorengan di Jakarta masih tinggi, menurut Marzuki, bukanlah hal yang aneh. Menurutnya, pemerintah memang kurang melakukan sosialisasi terkait pola hidup sehat dan gizi seimbang.

"Promosi dari pemerintah masih minim sekali. Khususnya, kampanye untuk makan sayur dan buah," katanya.

Untuk itu, ia mendesak agar pemerintah ke depannya bisa memasukkan hal ini ke prioritas kampanye kesehatan. "Hasil survei ini kan bisa jadi gambaran bahwa masyarakat kita masih jauh dari diet sehat," ujar Marzuki. n c85 ed: karta raharja ucu

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement