Senin 09 Sep 2013 08:25 WIB
Pemindahan Ibu Kota

SBY Jangan Basa-basi Pindahkan Ibu Kota

Presiden SBY
Foto: biographypeople.info -
Presiden SBY

REPUBLIKA.CO.ID,

JAKARTA -- Kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Eropa Timur mengukuhkan tekadnya memindahkan ibu kota negara dari Jakarta. Sejumlah pihak memandang skeptis rencana yang diutarakan SBY tersebut. “Keseriusan Presiden mengenai rencana itu masih dipertanyakan,” kata pakar tata kota dari Universitas Trisakti, Yayat Supriyatna, Ahad (8/9).

Ia menuturkan, isu pemindahan ibu kota dari Jakarta ke daerah lain sudah lama diembuskan pemerintah. Hanya saja, hal itu sampai sekarang menurutnya masih berupa wacana. Jika pemerintah memang serius, kata Yayat, seyogianya rencana tersebut segera dibawa ke parlemen untuk memperoleh keputusan politisnya. Namun, sebelum itu dilakukan, Presiden mesti memiliki argumentasi dan pertimbangan yang benar-benar matang.

Baik dari sisi ekonomi, politik, maupun sosial budaya, Presiden juga harus dapat menjelaskan apa risikonya jika ibu kota tidak dipindahkan, juga bagaimana tindak lanjut rencana itu ke depan. “Kalau hanya sekadar berwacana tanpa ada tindak lanjutnya, semua orang juga bisa,” ujarnya.

Oleh karena itu, pemerintah harus sudah mempunyai pemikiran soal bagaimana membuat konsep perkotaan yang modern sebelum memindahkan ibu kota negara. Jangan sampai, kata Yayat lagi, pusat pemerintahan yang baru malah lebih amburadul dari Jakarta. “Jadi, tim yang sudah dibentuk presiden harus benar-benar berfungsi untuk merumuskan konsep ibu kota baru yang akan dibangun nantinya. Jangan hanya melemparkan wacana,” katanya.

Ia berpendapat, DKI Jakarta sebenarnya masih layak menjadi ibu kota negara. Alasannya, kota ini sudah memiliki masterplan alias rencana tata ruang kota yang mantap untuk 20 tahun ke depan. Termasuk juga rencana strategis terkait pengembangan wilayah urban DKI dan kota-kota satelit di sekitarnya yang dikenal dengan Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi). “Kendati demikian, perlu 'tangan kuat' untuk menjalankan masterplan tersebut,” akunya.

Tekad SBY memindahkan ibu kota ia utarakan dalam keterangan pers di Hotel Grand Emerald, St Petersburg, Rusia, Sabtu (7/9) pagi pukul 10.00 waktu setempat. Salah satu yang mendorong SBY membuka kembali wacana pemindahan ibu kota adalah kunjungannya ke Ibu Kota Kazakhstan, Angsana. Menurut SBY, tata kota Angsana sangat khas dengan arsitektur luar biasa, teratur, dan desain yang bagus. Angsana juga menurutnya adalah ibu kota yang ideal bagi sebuah negara.

Menurut SBY, sejatinya sudah sejak empat-lima tahun lalu ia mematangkan rencana pemindahan ibu kota. “Kami membentuk tim kecil untuk mulai memikirkan kemungkinan pemindahan ibu kota kita, dalam arti biar pusat ekonomi, perdagangan, dan lain-lain tetap di Jakarta, tetapi pusat pemerintahan kita pindahkan di tempat yang lain,” kata Presiden.

Waktu itu, kendati sudah muncul wacana pemindahan ibu kota, SBY memilih diam. Ia menyiratkan khawatir rencananya dicemooh. Menurut SBY, adalah kebiasaan di Indonesia memandang remeh ide baru. “Sebaliknya kalau saya mengatakan tidak perlulah kita memikirkan pusat pemerintahan yang baru, tetap disalahkan juga,” lanjutnya. Meski melontarkan ide, SBY mengatakan belum tentu pemindahan ibu kota bakal menjadi tanggung jawabnya. Ia menilai, pemindahan lebih kepada tugas penerus-penerusnya sebagai presiden.

Terlebih bila nanti Indonesia secara ekonomi sudah kuat, pertumbuhan, GDP, dan pendapatan per kapita juga meningkat. Sementara, jika pada masa datang tidak ada solusi yang baik untuk mengatasi permasalahan Jakarta dan ada urgensi yang tidak bisa ditunda-tunda lagi. “Tidak keliru kalau kita memikirkan suatu tempat yang kita bangun menjadi pusat pemerintahan yang baru,” SBY menerangkan.

Presiden SBY memberi contoh negara-negara yang sudah memisahkan pusat pemerintahan dengan pusat ekonomi. Di antaranya Turki, Australia, dan Malaysia. Ia menekankan, pemisahan ibu kota pemerintahan dan pusat perekonomian tak saling melemahkan.

Dalam pandangannya, Jakarta justru bisa jadi lebih baik jika tak lagi menajdi pusat pemerintahan. Ia kemudian mencontohkan pemindahan pusat pemerintahan Malaysia ke Putra Jaya yang tak menenggelamkan Kuala Lumpur sebagai pusat perekonomian. “Yang bisa kita petik adalah bahwa biayanya tentu tidak sedikit. Biaya ekonomi dan barangkali juga biaya politik, biaya sosial, dan sebagainya,” ujar Presiden menjelaskan. n ahmad islamy jamil ed: fitriyan zamzami

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement