Selasa 18 Jun 2013 08:45 WIB
PKS vs Setgab

Menteri PKS Terkunci

Gedung DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Jakarta.
Foto: Republika/Aditya Pradana Putra
Gedung DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Posisi menteri yang berasal dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di kabinet belum menemui kejelasan. PKS menyatakan hak mencabut jabatan menteri ada di tangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sedangkan pihak Istana Negara menilai PKS mestinya menarik para menteri.

Ketua Fraksi PKS DPR Hidayat Nur Wahid menegaskan pencopotan kader PKS yang menjabat sebagai menteri sepenuhnya menjadi kewenangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Keputusan tersebut bukan tergantung partai, apalagi jika disangkutkan sengan sikap PKS menolak kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM).

Penolakan atas kenaikan harga BBM menurutnya telah disepakati Majelis Syuro PKS. Namun, tiga orang kader PKS yang menjabat menteri menyatakan mendukung kebijakan pemerintah SBY. Tiga kader tersebut adalah Tifatul Sembiring sebagai menteri komunikasi dan informatika, Suswono sebagai menteri pertanian, dan Salim Segaf Al Jufri sebagai menteri sosial.

Sebagai pembantu SBY dalam kabinet, kata Hidayat, sudah sewajarnya bila mereka membantu menjalankan kebijakan SBY. Karena itu, ketegasan PKS menolak kenaikan harga BBM dan pencopotan menteri terkait sikap itu menurut Hidayat tak tepat dilemparkan kepada partai.

"Undang-Undang tidak memberikan kewenangan partai untuk menarik para menteri. Di UU dan code of conduct juga disebutkan itu hak prerogatif presiden," kata Hidayat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (17/6).

Hidayat menyadari, sikap PKS menolak kenaikan harga BBM akan membuat posisi mereka di koalisi diabaikan. Indikasinya, dalam beberapa kali pertemuan Setgab, PKS sengaja tidak diundang. Meski demikian, ia menegaskan, soal pencopotan menteri adalah wewenang presiden. Bila Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merasa menteri dari PKS tak bisa bekerja optimal, adalah haknya untuk memberhentikan.

Di pihak lain, Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi dan Informasi Heru Lelono menilai ucapan Hidayat tak tepat. "Apakah mereka lupa bahwa nama ketiga menteri tersebut PKS sendiri yang mengusulkan?" kata Heru Lelono, di Jakarta, kemarin. Ia menegaskan, SBY tidak pernah membedakan atau mempermasalahkan lagi dari mana dan partai apa seorang menteri berasal. Seluruh anggota kabinet diperlakukan SBY sebagai sebuah tim.

Heru menambahkan bahwa setelah duduk di dalam kabinet, tidak boleh lagi anggota kabinet tersebut hanya bekerja untuk kelompoknya, apalagi partainya, kecuali untuk seluruh rakyat. Menurutnya, secara etika politik, apabila ketiga menteri PKS tak sejalan dengan kebijakan partai, mestinya mereka diputus keanggotaannya sebagai kader.

Bahwa pencabutan menteri oleh parpol tak ada dalam undang-undang dan code of conduct, kata Heru, tak masalah. Para menteri bisa ditarik PKS dengan alasan etika berpolitik.

Ia menambahkan, penyesuaian harga BBM berkaitan dengan membengkaknya anggaran subsidi sudah terkotori oleh masalah yang berbau serbapolitik. "Akibatnya, hal yang lebih besar terabaikan. Ini memang pilihan kebijakan yang sulit dan tidak populer, namun menjadi semakin rumit kalau rasionalitas cara berpikir semakin ditinggalkan," katanya.

Sikap saing kunci antara PKS dan Demokrat dinilai belum akan berakhir segera. Pengamat politik dari UGM, Hanta Yudha, mengatakan, baik Demokrat maupun PKS sama-sama bersikap seperti macan ompong. Demokrat hanya berani menggertak PKS untuk segera mundur dari koalisi tanpa berani mengeluarkannya. Sedangkan, PKS juga hanya menunggu dikeluarkan dari koalisi karena menolak kenaikan harga BBM. “Baik Demokrat maupun PKS akan saling menunggu satu sama lain,” kata Hanta.

Menurut Hanta, daripada saling menunggu, lebih baik PKS keluar dari koalisi. PKS segera menarik menterinya dari koalisi dan fokus memenuhi keinginan konstituennya yang menolak kenaikan harga BBM. “Keuntungan keluar dari koalisi, PKS mempunyai ruang manuver yang lebih luas,” kata dia.

 

Jika PKS terus melakukan politik dua kaki, terang Hanta, yakni tetap menjadi bagian dari koalisi namun menentang kenaikan harga BBM, secara persepsi politik, sikapnya dinilai kurang baik. Terlebih lagi, sebagian besar simpatisan PKS ingin partai tersebut berada di luar pemerintahan.

Hanta mengamini, pilihan keluar dari koalisi tidak bisa menguntungkan atau merugikan PKS  secara mutlak. Jika PKS keluar dari koalisi, aksesnya terhadap kekuasaan akan terputus. “Namun, itu malah memperbaiki citra PKS,” katanya. n ira sasmita/diah ratna meta novia/antara ed: fitriyan zamzami

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement