Sabtu 01 Jun 2013 09:11 WIB
Nilai Tukar Uang

Permintaan Dolar AS Tinggi

Dolar AS (ilustrasi)
Foto: Reuters
Dolar AS (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Permintaan dolar Amerika Serikat (AS) yang terus meningkat menjadi penyebab turunnya nilai tukar rupiah. Bank Indonesia (BI) pun berancang-ancang mengambil langkah strategis untuk menahan pelemahan rupiah ini.

Bank Indonesia (BI) menyatakan siap mengintervensi pasar untuk menjaga pasokan dolar AS. "Kebetulan, kebutuhan dolar memang tinggi," kata Gubernur BI Agus Martowardojo di Jakarta, Jumat (31/5).

Permintaan dolar yang tinggi terutama berasal dari korporasi yang membayar utang dan pembelian dengan menggunakan dolar. Meski begitu, Agus meminta pelemahan rupiah tidak ditanggapi tendensius karena merupakan respons dari sentimen global yang menimpa sejumlah mata uang regional.

BI meminta pasar tidak perlu takut kekurangan likuiditas. Regulator akan menjaga nilai tukar ini agar tetap mencerminkan fundamental ekonomi negara.

Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo menambahkan, BI melakukan dua intervensi, yakni intervensi di pasar valuta asing dan pembelian surat berharga negara (SBN) di pasar sekunder. Menurut dia, BI memasok dolar dan menstabilkan nilai tukar agar dampak yang terjadi adalah likuiditas valas. Nilai tukar rupiah saat ini sesuai dengan kondisi fundamental.

Rupiah terus melemah terhadap dolar sejak pekan lalu hingga menembus level psikologis Rp 10 ribu per dolar AS. Pada Jumat (31/5) pagi menguat tipis, namun kembali melemah pada petang hari pada angka Rp 9.882. Nilai tukar itu jauh melampaui asumsi dalam RAPBNP 2013 sebesar Rp 9.600.

Dolar AS belakangan menguat atas sejumlah mata uang seperti yen dan euro. Situasi ekonomi Eropa yang masih riskan dan diberlakukannya kebijakan suku bunga rendah mendorong investor beralih ke dolar AS. Sementara, Jepang membiarkan yen melemah untuk memperkuat ekspor negeri sakura itu.

Dari internal, untuk impor BBM saja, Pertamina harus membayar 6,7 miliar dolar AS (Rp 69 triliun) selama triwulan I 2013. Rata-rata kebutuhan dolar untuk impor BBM dan minyak mentah ini mencapai 2,3 miliar dolar AS atau sekitar Rp 23 triliun. Kebutuhan ini belum memasukkan utang jatuh tempo korporat dan pemerintah.

BI mencatat sepanjang April-Desember 2013 ada 28 miliar dolar utang luar negeri jatuh tempo, yaitu bank 7,5 miliar dolar AS dan nonbank 20,76 miliar dolar AS. Utang jangka pendek yang akan jatuh tempo kurang dari satu tahun per Maret 2013 mencapai 39,163 miliar dolar AS.

Menteri Keuangan M Chatib Basri menilai, penguatan rupiah bisa dilakukan apabila ada kepastian harga BBM bersubsidi. "Saya percaya jika (harga) BBM-nya dinaikkan, pressure terhadap impor migasnya turun. Itu akan membuat rupiah kembali menguat," katanya.

Keputusan menaikkan harga BBM bersubsidi menjadi penting karena selain dapat mengalihkan subsidi kepada yang membutuhkan, kesehatan fiskal dapat lebih terjaga dan defisit neraca pembayaran dapat ditekan. Di sisi lain, kata Chatib, pelemahan rupiah membuat harga ekspor Indonesia jadi lebih kompetitif.

Menko Perekonomian Hatta Rajasa tak khawatir dengan pelemahan rupiah. Dia yakin rupiah menguat ketika RAPBNP 2013 disahkan DPR. "Ketok palu, langsung rupiah membaik," kata Hatta.

Dia mengatakan, besarnya utang luar negeri yang jatuh tempo berbarengan juga tak berpengaruh besar terhadap rupiah dan cadangan devisa negara. Hatta beralasan masih banyak eksportir yang melepas dolar ke pasar.

Selain itu, simpanan dolar para pengutang pun cukup. Semua utang sudah terjadwal dan pihak-pihak swasta siap membayar utangnya. Menurut Hatta, semua utang managable. n friska yolandha/aldian wahyu ramadhan/antara ed: m ikhsan shiddieqy

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement